Pengembangan Model Dakwah Masyarakat Perkotaan

PENGEMBANGAN MODEL DAKWAH MASYARAKAT PERKOTAAN 
(Studi Kasus di Perumnas Bukit Beringin Lestari Ngaliyan Kota Semarang)
 Oleh : Ahmad Faqih, S.Ag, M.Si
         A. Problematika Dakwah
Para da’i, muballigh, dan penggerak dakwah sering tidak sabar, ingin segera melihat keberhasilan dakwahnya. Dakwah diibaratkan menawarkan “mie instan, cepat saji dan cepat kenyang”. Salah satu indikatornya, adanya perubahan pemahaman, sikap, dan perilaku mad’u setelah mengikuti proses dakwah. Secara instan terlihat grafik yang meningkat dari yang tidak tahu menjadi faham, dari sikap yang buruk berubah menjadi sikap yang baik, selanjutnya ada peningkatan amal ibadahnya. Sikap semacam itu akan membawa  pada kesalahan formulasi, pendekatan atau metodologi dakwah yang bernuansa interventif. Para da’i lebih menempatkan diri sebagai orang asing, tidak terkait dengan apa yang dirasakan dan dibutuhkan masyarakat. Dalam sejarah, keberhasilan da’i mengenalkan dan menanamkan nilai-nilai Islam, salah satunya disebabkan oleh positioning da’i yang tepat sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan mitra dakwah. Rosulullah sendiri melakukan dakwah dengan kontekstual sesuai dengan kondisi sosial mad’u. Dakwah yang tidak berorientasi kepada persoalan-persoalan lokal, hanya akan menjadi tontonan yang lucu dan membosankan.
Berdasarkan observasi penulis, problem seperti itu tampak menggejala pada kalangan juru dakwah di lingkungan Perumnas Bukit Beringin Lestari Ngaliyan, Kota Semarang. Jika ditilik dari jenis kegiatan dakwahnya yang didominasi dakwah bil lisan dengan metode ceramahnya, gejala semacam itu dapat dimaklumi. Hasil penelitian Thohir Yuli Kusmanto (2007) menemukan, kegiatan dakwah di lingkungan perumnas masih diwarnai bentuk dakwah tersebut, antara lain: pengajian rutin di masjid dan musholla, pengajian rutin yang diikuti bapak-bapak, pengajian rutin yang diikuti ibu-ibu, dan pengajian umum pada event hari-hari besar Islam.
Selain itu ada kecenderungan, kegiatan dakwah yang dilakukan para da’i secara individual, tanpa terikat dengan para da’i lainnya atau dengan lembaga dakwah lainnya untuk melakukan secara bersama-sama. Akibatnya, dakwah yang dilakukan terbatas pada tabligh, mungkin juga tanpa perencanaan yang matang dan evaluasi yang terukur. Dan lebih berbahaya lagi, jika para da’i dalam melakukan dakwahnya berusaha menyesuaikan dengan hobi dan kesenangan mad’unya. Misalnya, da’i yang menonjolkan suasana humor lebih disukai jama’ah daripada da’i yang tidak memiliki selera humor. Sehingga meskipun sering mengikuti ceramah, perubahan yang diharapkan (secara instan) oleh terpaan tabligh tetap nihil.
Dari hasil pengamatan dan penelitian sebelumnya, ditemukan juga ada gejala kurang optimalnya kehadiran pada sebagian jama’ah yang diakibatkan oleh perbedaan jam kerja dan tempat kegiatan dakwah yang jauh. Artinya, para penyelanggara dakwah kurang memperhatikan kondisi sosial mad’u, sehingga efektivitas dakwahnya secara kuantitas tidak dapat tercapai. Agar dakwah dapat mencapai hasil optimal, perlu dipersiapkan berbagai macam pola dakwah yang disesuaikan dengan obyek dakwahnya. Apakah yang menjadi sasaran dakwah kelompok masyarakat di pedesaan, berbagai organisasi pengajian di kota, kelompok kanak-kanak, pelajar, mahasiswa, dan berbagai kelompok profesi merupakan obyek sasaran yang masing-masing membutuhkan pemilihan materi, metode dan da’i yang sesuai untuk melaksanakan dakwah tersebut (Wibisono, 1992:2).
Secara antropologis, umat Islam di perumnas cukup heterogen dari sisi etnik. Sebagai tempat tinggal kaum urban, mereka mayoritas merupakan penduduk pendatang dari berbagai daerah dalam propinsi dan luar propinsi. Misalnya etnik jawa, etnik sunda, etnik madura, etnik bugis, etnik minang. Keragaman etnik memang tidak dapat ditolak, persoalannya apakah hal itu dapat dikelola secara positif untuk kemajuan bersama, atau justru tidak dapat dikontrol akibatnya menjadi hambatan bagi setiap usaha untuk menciptakan sebuah sistem yang dapat diterima semua etnik.
Kemajemukan budaya menjadi suatu hal yang menjelma dalam setiap kehidupan masyarakat. Apalagi pada masyarakat moderen, pluralitas itu terlihat sangat jelas karena tiap-tiap penghuni budaya saling menunjukkan eksistensinya. Problem yang akan muncul dapat bersumber dari perbenturan masing-masing penghuni budaya, jika secara internal prajudice, etnosentrisme, dan sterotip yang berlebihan dan tidak dikelola secara baik. Selain itu problem akan mucul, jika masing-masing pemilik budaya punya keinginan dan aksi untuk menguasai atau mendominasi budaya lain yang hidup berdampingan.
Keragaman lain umat Islam di perumnas adalah dari aspek pendidikan dan pekerjaan. Jika dilihat dari aspek pendidikan, secara umum dapat diperkirakan seperti piramida. Posisi teratas adalah mereka yang berpendidikan tinggi (sarjana dan pasca sarjana) yang jumlahnya relatif paling sedikit. Level di bawahnya adalah golongan umat Islam yang berpendidikan dasar (Madrasah Tsanawiyah/SMP) secara kuantitas jumlah lebih banyak daripada mereka yang berpendidikan tinggi. Sedangkan evel paling bawah adalah umat Islam yang berpendidikan menengah (Madrasah Aliyah / SMU/SMK), pada level ini jumlahnya paling banyak jika dibandingkan level 1 dan level 2.
Umat Islam di perumahan, jika dilihat dari aspek pekerjaan, secara kasar dapat disimpulkan, untuk laki-laki mayoritas dari mereka adalah pekerja karena dari sisi usia termasuk dalam usia produktif. Hal ini berbeda dengan kaum perempuan, sebagian besar dari mereka adalah ibu rumah tangga, hanya sebagian kecil yang bekerja. Secara ekonomi mereka mengandalkan kepala rumah tangga untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Profesi yang mereka tekuni cukup beragam antara lain dosen, guru, karyawan, buruh, pedagang, wiraswasta, polisi, dan prajurit TNI.
Pendek kata, sedikitnya ada dua problem utama dalam penyelenggaraan dakwah di lingkungan perumahan, yaitu problem subyek dakwah, dan problem pendekatan dakwah. Maka untuk keberhasilan penyelenggaraan dakwah di lingkungan perumnas, sudah mendesak untuk dilakukan usaha pengembangan model dakwah yang lebih relevan dengan kondisi sosial umat Islam yang semakin cepat berubah (tidak sekedar meningkatkan kualitas da’i pada satu sisi, dan memperbaiki pendekatan dakwahnya). Hal ini terutama dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti kemajuan IPTEK, globalisasi, perubahan sistem pemerintahan di tanah air, berkembangnya faham-faham keagamaan baru dan segala ekses negatif dari krisis global pada saat ini. 
         B.   Telaah Teoritik
Kata dakwah secara terminologis menurut para ahli dakwah, jika ditelaah  terdapat perbedaan antara satu dengan lainnya, misalnya: menurut Muhammad Sulthon, dakwah diartikan sebagai seluruh aktivitas muslim dalam rangka mengaktualisasikan keimanannya, baik secara individu atau kolektif, untuk menkonstruksi tatanan soaial yang lebih baik dan tidak bertentangan dengan ajaran Illahi. Sedangkan menurut A.Qodry Azizy, Dakwah Islam berarti ajakan kepada orang-orang (individu, kelompok, masyarakat, bangsa) ke jalan Allah atau untuk berbuat kebaikan dan menghindari keburukan. Dengan kata lain dakwah Islam berarti menyampaikan pesan atau ajaran Islam kepada masyarakat, sebagaimana telah disunnahkan oleh Nabi Muhammad saw pada jamannya (Agus Wahyu.T, dkk, 2003: 90). Berbeda dengan definisi menurut Syekh Ali Mahfud dalam kitabnya Hidayatul Mursyidin, ia mengartikan dakwah adalah mendorong manusia agar berbuat kebaikan dan menurut petunjuk, menyeru mereka berbuat kebajikan dan melarang mereka dari perbuatan munkar, agar mereka mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Meskipun beberapa denifisi dakwah memperlihatkan perbedaan dalam perumusan kalimat dan bahasa yang berbeda, tetapi kandungan isinya tetap sama bahwa dakwah dipahami sebagai seruan, ajakan dan panggilan dalam rangka membangun masyarakat Islami berdasarkan kebenaran ajaran Islam yang hakiki. Dengan kata lain dakwah merupakan upaya atau perjuangan untuk menyampaikan ajaran agama Islam yang benar kepada umat manusia dengan cara simpatik, jujur, adil, tabah dan terbuka, serta menghidupkan jiwa mereka dengan janji-janji Allah Swt tentang kehidupan yang membahagiakan serta menggetarkan hati mereka dengan ancaman-ancaman-Nya (Pimay, 2006: 7).
Dalam perspektif sistem, dakwah merupakan suatu sistem yang terdiri dari sub sistem – sub sistem yang saling berkaitan antara satu sub sistem dengan sub sistem lainnya. Sub sistem dakwah antara lain terdiri dari sub sistem da’i (pelaku dakwah), sub sistem mad’u (obyek dakwah), sub sistem maddatut da’wah (materi dakwah), sub sistem wasilatut da’wah (media dakwah), dan sub sistem thariqatut da’wah (metode dakwah).
Jalinan hubungan antar sub sub sistem dalam dakwah, harus dipelihara agar selalu fungsional antara sub sub sistem satu dengan sub sub sistem lainnya untuk mencapai keseimbangan dan keteraturan (social order). Dakwah juga sebagai sub sistem dari sistem sosial masyarakat di sekitarnya. Untuk menjaga keberlangsungan dan keseimbangan dalam masyarakat, dakwah dengan status yang dimilikinya harus mampu memainkan peranan untuk keteraturan sosial.
Dakwah menjadi kata kunci, untuk melakukan transformasi masyarakat, karena dakwah merupakan agen perubahan sosial (agent of change), dakwah mengandung makna melakukan upaya sistematis untuk mengubah perubahan dalam segala aspek kehidupan guna disesuaikan dengan ideal-moral Islam (Amrullah, 2008:25). Kegiatan dakwah diarahkan minimal ke dalam tiga hal:
1)         Mensosialisasikan nilai-nilai ideal (dakwah ilal-khair).
2)         Memajukan tatanan masyarakat yang sudah baik menjadi lebih baik (amar ma’ruf).
3)         Merubah tatanan masyarakat yang dianggap destruktif (nahi munkar).
Ketiga fokus tersebut tidak bisa dipisah-pisahkan, apalagi diambil salah satu saja. Sebab jika yang pertama diambil tanpa kedua dan ketiga, maka dakwah yang dilakukan hanya bersifat normatif, tidak realistis, sehingga tidak ada efek berarti secara sosial. Jika yang kedua saja tanpa yang pertama dan ketiga, seorang da’i atau muballigh akan terlalu pragmatis, hal mana tidak menjamin keselamatan kebijaksanaannya. Yang paling kurang tepat jika hanya mengambil bagian ketiga saja, tanpa pertama dan kedua. Akibatnya dakwah hanya berisi melarang tanpa memberi jalan keluar, bahkan mungkin hanya berisi maki-makian dan kutukan-kutukan (Madjid, 1993:200-201).
Seharusnya para da’i  jangan terfokus pada aktivitas dakwah bil-lisan, tanpa mau memanfaatkan media dakwah seperti: radio, televisi, internet, koran, majalah, bulletin, poster, pamflet,dan buku. Sejumlah media dakwah tersebut dapat mempercepat dan memperluas target-target utama dari dakwah Islam (Arif, 2001:61). Umat Islam semakin menyadari, dakwah yang dilaksanakan dengan hanya memanfaatkan media tradisional, pada segmen masyarakat tertentu tidak efektif lagi untuk merespons akselerasi perubahan sosial masyarakat. Pola hidup, gaya hidup, pengaturan waktu dan problem-problem masyarakat akibat modernisasi, telah merubah pola-pola lama yang selama ini dianut. Maka pemanfaatan media moderen menjadi pilihan atas tuntutan perubahan di atas (Sholihati, 1998:19). Pemanfaatan media moderen dapat dilakukan dalam dua model, pertama  dependent model. Artinya dakwah dilakukan dengan cara membuat jaringan ke sejumlah pengelola media massa, untuk menyiarkan atau menerbitkan pesan-pesan Islam. Model pertama ini menempatkan dakwah pada posisi dependent dan lemah, sehingga produk-produk dakwah yang dihasilkan harus mengikuti aturan main pemilik media. Kedua, independent model. Adalah usaha dakwah yang dilakukan dengan cara mendirikan media yang dikelola secara mandiri oleh aktivis dakwah. Model ini memberikan kebebasan untuk menyajikan materi-materi dan variasi dakwah, sesuai dengan keingingan para pengelolanya (Faqih, 2000: 4).
Di dalam sistem dakwah, sub sistem da’i merupakan sub sistem yang paling menentukan untuk mencapai keberhasilan dakwah. Sub sistem da’i menjadi motor penggerak bagi sub sistem – sub sistem lainnya. Pada sisi lain sistem di luar sistem dakwah yakni masyarakat senantiasa mengalami perubahan, baik perubahan yang direncanakan maupun yag tidak direncanakan. Maka tuntutan kemampuan da’i secara terus-menerus harus ditingkatkan, jika kegiatan dakwah yang dilakukan ingin memperoleh kesuksesan. Dalam kaitan ini, Koento Wibisono (1992) menuntut kepada para da’i, atau muballigh agar memiliki dua kesiapan yaitu kesiapan intelektual dan kesiapan moral. Kesiapan intelektual diartikan sebagai penguasaan materi dan wawasan luas yang harus dimiliki. Sebab pandangan yang semakin rasionalistik disertai sikap kritis dari para mad’u merupakan tantangan yang harus diantisipasi dengan kemampuan untuk menyajikan materi dakwah yang tepat dan menyentuh dengan permasalahan yang dihadapi penerima dakwah (mad’u). Meminjam istilah Van Peursen, agama bagi manusia masa kini tidak cukup dijelaskan sebagai “kata benda” melainkan harus ditenkankan sebagai “kata kerja”; tidak cukup hanya diterangkan aspek ontologiknya, melainkan lebih ditekankan pada aspek fungsionalnya. Sehingga agama menjadi lebih dihayati oleh manusia masa kini yang kesehariannya sudah dipenuhi oleh peran canggihnya teknologi. Para da’i atau muballigh harus menggunakan metode yang tidak hanya menyentuh pada segi logos dan ethosnya saja, melainkan juga pada segi pathosnya (mood atau stemming). Sehingga tidak hanya landasan rasional dan kesusilaan saja, tetapi juga hati nurani akan menjadi daya dorong dalam mengamalkan agama sebagai sesuatu yang wajib dalam ikut membangun masyarakatnya.
Dengan menyimak berbagai macam pandangan tentang dakwah tersebut, ternyata ada elemen-elemen baru dalam dakwah. Disamping unsur komunikasi, dakwah juga sangat mementingkan unsur institusionalisasi, dan aksi. Dakwah bil-lisan sering hanya berhenti pada komunikasi, sedangkan dakwah pembangunan memerlukan ketiganya (Koentowijoyo, 1992: 76). Untuk melaksanakan santunan, misalnya santunan anak-anak, tidak hanya diperlukan penjelasan-penjelasan mengenai kesehatan, pendidikan, dan lingkungan, tetapi termasuk melembagakannya dalam sebuah organisasi yang secara berkelanjutan dapat menangani masalah tersebut. Dakwah dalam konteks ini, bukan hanya penyadaran, tetapi juga pelembagaan dari kegiatan-kegiatannya. Oleh karena itu dakwah memerlukan personil yang tidak hanya ahli dalam berceramah, juga ahli dalam organisasi, dan ahli pada bidang persoalan yang sedang ditangani. Memanggil orang ke jalan Allah menjadi pekerjaan yang penuh tantangan, karena itu dalam dakwah perlu mendapat perhatian pula dari sisi management-nya.
Untuk melakukan dakwah pembangunan diperlukan kemampuan analisis  sosial budaya, termasuk di dalamnya psikologi umat Islam. Pertama, analisis etno-psikologi yang akan memberikan gambaran bagaimana psikologi umat Islam dari sebuah lingkungan etnis tertentu. Psikologi seseorang atau kelompok sangat dipengaruhi oleh lingkungan budayanya. Orang Jawa mempunyai psikologi etnis yang berbeda dengan orang Padang, sehingga dakwah di lingkungan orang Jawa harus pula berbeda dengan dakwah di lingkungan orang Padang. Kedua, analisis sosiologi akan memberikan sumbangan dalam menganalisis pelapisan sosial. Para juru dakwah harus dapat membedakan lapisan elit dan lapisan bawahnya. Lapisan atas akan mempunyai akses yang lebih luas pada informasi dan lebih cepat dalam menerima perubahan. Demikian juga lingkungan sosial sangat menentukan psiko budaya masyarakat. Masyarakat desa akan sangat berbeda dengan masyarakat kota. Dengan kata lain, dakwah pada orang Jawa dari lapisan bawah yang tinggal di pedesaan berbeda dengan dakwah pada kelompok lainnya( Kuntowijoyo, 1992: 77).
Dalam masyarakat moderen, sering dibedakan antara masyarakat pedesaan (rural community) dengan masyarakat perkotaan (urban community). Perbedaan tersebut tidak berhubungan dengan pengertian masyarakat sederhana, karena dalam masyarakat moderen, suatu desa betapa pun kecilnya tetap ada pengaruh dari kota. Perbedaan tersebut sebenarnya pada pandangan hidup, gaya hidup, dan nilai-nilai yang dijunjung tinggi. Orang kota sudah memandang penggunaan kebutuhan hidup, sehubungan dengan pandangan masyarakat sekitarnya. Kalau menghidangkan makanan, yang diperhatikan bahwa makanan tersebut akan memberikan kesan bahwa yang menghidangkan mempunyai kedudukan sosial yang tinggi. Sehingga makanan dan tempat menghidangkannya harus kelihatan mewah dan terhormat.
Ada beberapa ciri masyarakat kota, yang dapat dibedakan dengan masyarakat desa, antara lain (Soerjono Soekanto, 1990: 166-171):
1.         Pembagian kerja diantara warga kota lebih tegas dan memiliki batas-batas yang nyata.
2.         Jalan fikirannya rasional yang menyebabkan interaksi yang terjalin lebih didasarkan pada faktor kepentingan daripada faktor pribadi
3.         Jalan kehidupan yang cepat di kota, mengakibatkan pentingnya faktor waktu.
4.         Kehidupan keagamaan orang kota cenderung rasional (secular trend).
5.         Perubahan sosial tampak lebih nyata, karena masyarakat kota lebih terbuka dalam menerima hal-hal yang baru.
Secara antropologis, masyarakat perkotaan cenderung heterogen, terlebih pada sejumlah kota besar yang menjadi tujuan urbanisasi seperti: Jakarta, Medan, Surabaya, Semarang. Kota yang disebut terakhir, tercermin dalam sejarahnya memiliki karakteristik majemuk. Corak kemajemukan masyarakat Semarang sebagaimana dimaksud, menjadi jelas  dengan adanya heterogenitas suku bangsa. Heterogenitas kesukuan tersebut tampaknya juga tercermin dalam hunian yang mengelompok masing-masing suku bangsa yang ada. Perbedaan agama dan ciri kebudayaan masing-masing suku bangsa tampaknya terus bertahan berjalan, dan berkembang secara linear sepanjang abad 19. Walaupun demikian ada pola-pola yang menunjukkan adanya persinggungan budaya dan agama yang muncul dalam berbagai bentuk kebudayaan, meskipun pola-pola tersebut belum dapat diketahui kapan di mulai.
Sedangkan secara vertikal, struktur dasar masyarakat Semarang pada masa kolonial menggambarkan elit penguasa, berada ditangan orang-orang Eropa. Menurut Sartono Kartodirjo (1969) hubungan sosial kolonial didasarkan pada sistim kelas, mirip seperti masyarakat berkasta
Data cukup menarik adalah yang terjadi pada etnis Tionghoa sebagai lapisan kedua masyarakat di Semarang, ternyata banyak diantara mereka yang menjadi elit politik. Perkembangan ini  menarik, karena selama abad 19, pemerintah Eropa juga memberlakukan aturan-aturan pada mereka yang bisa dikatakan sebagai bentuk isolasi, baik terhadap masalah pemukiman mereka yang disendirikan, maupun tradisi budaya yang mereka kembangkan. Arus kedatangan orang-orang Tionghoa di Semarang tampaknya banyak terjadi selama masa akhir abad 19-20, dan kebanyakan melalui jalur Singapura. Golongan lain yang berada diantara pelapisan etnis Tionghoa dan golongan pribumi adalah golongan Arab dan  Khoja. Sedangkan sebagian besar golongan pribumi adalah sebagai warga pada lapisan paling bawah. Struktur pelapisan sosial ini, tampaknya juga merupakan gambaran pada bidang ekonomi. Penguasaan akses-akses ekonomi juga berada ditangan Eropa, kemudian etnis Tionghoa, dan Arab. Sedangkan golongan pribumi sebagian besar adalah konsumen belaka. Pelapisan ekonomi juga tampak pada segmentasi pasar.
C.     Pengembangan Model Dakwah: Belajar dari Pesantren Maslakul Huda Pati
Jika ditelusuri lebih mendalam, umat Islam yang tinggal di perumahan memiliki potensi untuk dikembangkan ke arah kemajuan. Potensi dimaksud, antara lain: Sistem sosial dan budaya masih mencari bentuk/belum mapan, karakter masyarakatnya terbuka untuk menerima hal-hal baru, sumberdaya manusia cukup bervariasi dan mumpuni. Potensi yang disebut belakangan, tercermin dalam pembangunan tempat ibadah (masjid/musholla). Untuk membuat desain pembangunan masjid tidak perlu mencari jasa arsitek dari luar, karena ada orang dari lingkungan setempat  yang  memiliki kemampuan tersebut
Tetapi dibalik kelebihan umat Islam di lingkungan perumahan, juga ada beberapa kelemahan, antara lain: Pertama,Solidaritas umat Islam di perumahan relatif kurang stabil, terutama dalam mengambil keputusan kolektif yang menyangkut kepentingan umum. Hal ini sebagai akibat, dari belum establish-nya sistem sosial yang ada, sehingga belum ditemukan mekanisme yang “baku” untuk menyelesaikan problem-problem sosial yang muncul. Selain itu karena heterogenitas etnik, dan agama. Kedua, Proses penerimaan terhadap hal-hal baru membutuhkan waktu relatif lama dan penjelasan yang lebih rasional, karena mereka nota benenya berlatar belakang pendidikan yang memadai. Mereka relatif memiliki kedewasaan dan kemandirian dalam berpikir, bersikap, dan bertindak, jika dibandingkan dengan masyarakat di pedesaan. “Orang desa” lebih cenderung dependen kepada seorang tokoh panutan, dalam hal mengambil keputusan baik yang bersifat individua maupun kolektif.
Saya sependapat dengan pandangan Kiai Sahal Mahfud, bahwa dakwah saat ini tanpa meninggalkan penerapan dakwah bil-lisan seperti forum pengajian, diskusi, seminar, akan tetapi perlu aktualisasi diri melalui kegiatan nyata (dakwah bil-hal). Dakwah bil-hal dalam konteks ini bukan berarti tanpa menyertakan maqal, hanya saja lebih ditekankan pada sikap, perilaku, dan kegiatan nyata yang secara interaktif akan mendekatkan masyarakat pada kebutuhannya serta langsung dan tidak langsung dapat mempengaruhi peningkatan keberagamaannya. Pengembangan dakwah yang efektif harus mengacu pada kebutuhan masyarakat akan peningkatan kualitas keislaman sekaligus peningkatan kualitas hidup mereka. Dakwah  tidak saja memasyarakatkan hal-hal yang religius islami, namun juga menumbuhkan etos kerja (Zubaidi, 2007: 344). Kiai Sahal, juga mengharapkan agar model dakwah yang dilakukan umat Islam berjalan sinergis. Antara satu model  dakwah bil-hal, dakwah bil-lisan, dan dakwah bil-mujadalah diupayakan berjalan secara komplementer sesuai dengan situasi kondisi dan kebutuhan yang dihadapi.
Implementasi gagasan Kiai Sahal tersebut, dibentuk lembaga sosial bernama Biro Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (BPPM) Pesantren Maslaul Huda. Model dakwah melalui aksi-aksi pengembangan masyarakat  yang kemudian dilakukan BPPM, agaknya merupakan model dakwah yang dibutuhkan saat ini. Karena di dalamnya mengandung upaya membangun masyarakat bawah yang bahan, pelaku dan penggeraknya digali dari bawah. Sedang daya gunanya sangat besar baik bagi peningkatan kecerdasan rakyat, kegotongroyongan, perbaikan lingkungan maupun pembinaan spiritual.
Dengan memperhatikan kondisi sosial dan budaya, potensi dan kelemahan umat Islam di lingkungan perumahan, menurut saya apa yang dilakukan Kiai Sahal dengan BPPM nya dapat diadaptasikan untuk diterapkan. Masjid dan musholla yang ada di perumahan, tampaknya merupakan infrastruktur paling representatif yang dapat dioptimalkan fungsi ibadah dan sosialnya untuk men- drive kemajuan umat Islam. Masjid dan musholla bagi “orang perumahan”, menjadi media yang mampu mempertemukan berbagai macam orang yang berlatar belakang etnik, pendidikan, pekerjaan, tetapi memiliki kesamaan aqidah islamiyah.









DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Amrullah. 2008. Makalah Semiloka Nasional berjudul “ Dakwah Islam Sebagai Ilmu: Sebuah Kajian Epistemologi dan Struktur keilmuan Dakwah”. Semarang, 19 – 21 Desember 2008
Arif, Moh.Chorul. “Dakwah dalam Perspektif KH. Abdul Wahid Hasyim” dalam Jurnal Ilmu Dakwah Vol.4, No.1, April 2001.
Berghe, Pierre l.van den. 1969. “Pluralism and the Polity: a Theoretical Exploration”, dalam Leo Kuper dan M.G Smith ed. Pluralism in Africa. Los  Angeles: University of California Press.
Faqih, Ahmad. 2000. “Quo Vadis Dakwah Abad 20”. Dalam Jurnal Risalah Walisongo Edisi 80/TH.XX/Jan-Juni 2000.
Kuntowijoyo. 1992. “Dakwah Pembangunan: Dakwah dan Fenomena Psiki-Budaya Umat Islam”, Nasruddin Harahap, Cs (Ed.), Dakwah Pembangunan, Yogyakarta: DPD Golkar Tk.I Propinsi DIY.
Kusmanto, Thohir Yuli.2007. “Analisis Jaringan Gerakan Dakwah”, dalam Jurnal Ilmu Dakwah Vol.27.No.2, Juli-Des 2007.
Madjid, Nurcholish. 1993. Islam Kerakyatan dan KeIndonesiaan. Bandung: Mizan.
Mubyarto.2000. “Pengembangan Wilayah, Pembangunan Pedesaan dan otonomi Daerah”, dalam Pengembangan Wilayah Pedesaan dan Kawasan Tertentu: Sebuah Kajian Eksploratif. Jakarta: BPPT.
Pimay, Awaludin. 2005. Paradigma Dakwah Humanis, Strategi dan Metode Dakwah Syaefuddin Zuhri. Semarang: Rasa’il
Pimay, Awaludin. 2006. Metode Dakwah. Kajian Teoritis dan Khasanah Al-Qur’an. Semarang: Rasa’il.
Sinngih, Doddy S. 1997. “Pembangunan Kota dan Keseimbangan Ekosistem: Kasus Perkembangan Surabaya, dalam Jurnal Prisma No.6-1997.
Sholihati, Siti. 1998. “Pers Dakwah (Media Alternatif di Era Informasi)”. Dalam Jurnal Risalah Walisongo Edisi 76.
Sulthon, Moh.2006. “Menelaah Sifat nabi Muhammad Sebagai Da’i”, dalam Jurnal Ilmu Dakwah Vol. 26 No.1 Januari 2006.
Suparlan, Parsudi. 2002. “Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural”, Dalam Jurnal Antropologi Indonesia 69, 2002.
Sugiyono.2003. Metode Penelitian Administrasi, Bandung: Alfabeta
Warren, Roland L. 1978. The Community in America. Chicago: Rand McNally College Publishing Company.
Wibisono, Koento. 1992. “Dakwah Pembangunan: Konsepsi dan Relevansi Dakwah dalam Pembangunan”, dalam Nasruddin Harahap, Cs(Ed.), Dakwah Pembangunan, Yogyakarta: DPD Golongan Karya Tingkat I DIY.
Zamroni.1992. Pengantar Pengembangan Teori Sosial, Yogyakarta:Tiara Wacana.
Zubaidi.2007. Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Pesantren. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.







Post a Comment

0 Comments