PENGEMBANGAN MODEL DAKWAH MASYARAKAT PERKOTAAN
(Studi Kasus di Perumnas Bukit Beringin Lestari Ngaliyan Kota Semarang)
Oleh : Ahmad Faqih, S.Ag, M.Si
A. Problematika Dakwah
Para da’i,
muballigh, dan penggerak dakwah sering tidak sabar, ingin segera melihat
keberhasilan dakwahnya. Dakwah diibaratkan menawarkan “mie instan, cepat saji
dan cepat kenyang”. Salah satu indikatornya, adanya perubahan pemahaman, sikap,
dan perilaku mad’u setelah mengikuti proses dakwah. Secara instan terlihat
grafik yang meningkat dari yang tidak tahu menjadi faham, dari sikap yang buruk
berubah menjadi sikap yang baik, selanjutnya ada peningkatan amal ibadahnya.
Sikap semacam itu akan membawa pada kesalahan
formulasi, pendekatan atau metodologi dakwah yang bernuansa interventif. Para
da’i lebih menempatkan diri sebagai orang asing, tidak terkait dengan apa yang
dirasakan dan dibutuhkan masyarakat. Dalam sejarah, keberhasilan da’i
mengenalkan dan menanamkan nilai-nilai Islam, salah satunya disebabkan oleh positioning da’i yang tepat sebagai
bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan mitra dakwah. Rosulullah sendiri
melakukan dakwah dengan kontekstual sesuai dengan kondisi sosial mad’u. Dakwah
yang tidak berorientasi kepada persoalan-persoalan lokal, hanya akan menjadi
tontonan yang lucu dan membosankan.
Berdasarkan
observasi penulis, problem seperti itu tampak menggejala pada kalangan juru
dakwah di lingkungan Perumnas Bukit Beringin Lestari Ngaliyan, Kota Semarang.
Jika ditilik dari jenis kegiatan dakwahnya yang didominasi dakwah bil lisan dengan metode ceramahnya,
gejala semacam itu dapat dimaklumi. Hasil penelitian Thohir Yuli Kusmanto
(2007) menemukan, kegiatan dakwah di lingkungan perumnas masih diwarnai bentuk
dakwah tersebut, antara lain: pengajian rutin di masjid dan musholla, pengajian
rutin yang diikuti bapak-bapak, pengajian rutin yang diikuti ibu-ibu, dan
pengajian umum pada event hari-hari
besar Islam.
Selain itu ada
kecenderungan, kegiatan dakwah yang dilakukan para da’i secara individual,
tanpa terikat dengan para da’i lainnya atau dengan lembaga dakwah lainnya untuk
melakukan secara bersama-sama. Akibatnya, dakwah yang dilakukan terbatas pada tabligh, mungkin juga tanpa perencanaan
yang matang dan evaluasi yang terukur. Dan lebih berbahaya lagi, jika para da’i
dalam melakukan dakwahnya berusaha menyesuaikan dengan hobi dan kesenangan
mad’unya. Misalnya, da’i yang menonjolkan suasana humor lebih disukai jama’ah
daripada da’i yang tidak memiliki selera humor. Sehingga meskipun sering
mengikuti ceramah, perubahan yang diharapkan (secara instan) oleh terpaan tabligh tetap nihil.
Dari hasil
pengamatan dan penelitian sebelumnya, ditemukan juga ada gejala kurang
optimalnya kehadiran pada sebagian jama’ah yang diakibatkan oleh perbedaan jam
kerja dan tempat kegiatan dakwah yang jauh. Artinya, para penyelanggara dakwah
kurang memperhatikan kondisi sosial mad’u, sehingga efektivitas dakwahnya
secara kuantitas tidak dapat tercapai. Agar dakwah dapat mencapai hasil
optimal, perlu dipersiapkan berbagai macam pola dakwah yang disesuaikan dengan
obyek dakwahnya. Apakah yang menjadi sasaran dakwah kelompok masyarakat di
pedesaan, berbagai organisasi pengajian di kota, kelompok kanak-kanak, pelajar,
mahasiswa, dan berbagai kelompok profesi merupakan obyek sasaran yang
masing-masing membutuhkan pemilihan materi, metode dan da’i yang sesuai untuk
melaksanakan dakwah tersebut (Wibisono, 1992:2).
Secara antropologis,
umat Islam di perumnas cukup heterogen dari sisi etnik. Sebagai tempat tinggal
kaum urban, mereka mayoritas merupakan penduduk pendatang dari berbagai daerah
dalam propinsi dan luar propinsi. Misalnya etnik jawa, etnik sunda, etnik
madura, etnik bugis, etnik minang. Keragaman etnik memang tidak dapat ditolak,
persoalannya apakah hal itu dapat dikelola secara positif untuk kemajuan
bersama, atau justru tidak dapat dikontrol akibatnya menjadi hambatan bagi
setiap usaha untuk menciptakan sebuah sistem yang dapat diterima semua etnik.
Kemajemukan budaya menjadi suatu hal yang
menjelma dalam setiap kehidupan masyarakat. Apalagi pada masyarakat moderen,
pluralitas itu terlihat sangat jelas karena tiap-tiap penghuni budaya saling
menunjukkan eksistensinya. Problem yang akan muncul dapat bersumber dari perbenturan
masing-masing penghuni budaya, jika secara internal prajudice, etnosentrisme,
dan sterotip yang berlebihan dan tidak dikelola secara baik. Selain itu
problem akan mucul, jika masing-masing pemilik budaya punya keinginan dan aksi
untuk menguasai atau mendominasi budaya lain yang hidup berdampingan.
Keragaman lain umat Islam di perumnas adalah
dari aspek pendidikan dan pekerjaan. Jika dilihat dari aspek pendidikan, secara
umum dapat diperkirakan seperti piramida. Posisi teratas adalah mereka yang
berpendidikan tinggi (sarjana dan pasca sarjana) yang jumlahnya relatif paling
sedikit. Level di bawahnya adalah golongan umat Islam yang berpendidikan dasar
(Madrasah Tsanawiyah/SMP) secara kuantitas jumlah lebih banyak daripada mereka
yang berpendidikan tinggi. Sedangkan evel paling bawah adalah umat Islam yang
berpendidikan menengah (Madrasah Aliyah / SMU/SMK), pada level ini jumlahnya
paling banyak jika dibandingkan level 1 dan level 2.
Umat Islam di perumahan, jika dilihat dari
aspek pekerjaan, secara kasar dapat disimpulkan, untuk laki-laki mayoritas dari
mereka adalah pekerja karena dari sisi usia termasuk dalam usia produktif. Hal
ini berbeda dengan kaum perempuan, sebagian besar dari mereka adalah ibu rumah
tangga, hanya sebagian kecil yang bekerja. Secara ekonomi mereka mengandalkan
kepala rumah tangga untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Profesi yang mereka
tekuni cukup beragam antara lain dosen, guru, karyawan, buruh, pedagang,
wiraswasta, polisi, dan prajurit TNI.
Pendek kata, sedikitnya ada dua problem utama
dalam penyelenggaraan dakwah di lingkungan perumahan, yaitu problem subyek dakwah, dan problem
pendekatan dakwah. Maka untuk keberhasilan penyelenggaraan dakwah di lingkungan
perumnas, sudah mendesak untuk dilakukan usaha
pengembangan model dakwah yang lebih relevan dengan kondisi sosial umat
Islam yang semakin cepat berubah (tidak sekedar meningkatkan kualitas da’i pada
satu sisi, dan memperbaiki pendekatan dakwahnya). Hal ini terutama dipengaruhi
oleh faktor eksternal seperti kemajuan IPTEK, globalisasi, perubahan sistem
pemerintahan di tanah air, berkembangnya faham-faham keagamaan baru dan segala
ekses negatif dari krisis global pada saat ini.
B. Telaah Teoritik
Kata dakwah secara terminologis menurut para
ahli dakwah, jika ditelaah terdapat
perbedaan antara satu dengan lainnya, misalnya: menurut Muhammad Sulthon,
dakwah diartikan sebagai seluruh aktivitas muslim dalam rangka
mengaktualisasikan keimanannya, baik secara individu atau kolektif, untuk
menkonstruksi tatanan soaial yang lebih baik dan tidak bertentangan dengan
ajaran Illahi. Sedangkan menurut A.Qodry Azizy, Dakwah Islam berarti ajakan
kepada orang-orang (individu, kelompok, masyarakat, bangsa) ke jalan Allah atau
untuk berbuat kebaikan dan menghindari keburukan. Dengan kata lain dakwah Islam
berarti menyampaikan pesan atau ajaran Islam kepada masyarakat, sebagaimana
telah disunnahkan oleh Nabi Muhammad saw pada jamannya (Agus Wahyu.T, dkk,
2003: 90). Berbeda dengan definisi menurut Syekh Ali Mahfud dalam kitabnya
Hidayatul Mursyidin, ia mengartikan dakwah adalah mendorong manusia agar
berbuat kebaikan dan menurut petunjuk, menyeru mereka berbuat kebajikan dan
melarang mereka dari perbuatan munkar, agar mereka mendapatkan kebahagiaan di
dunia dan di akhirat.
Meskipun beberapa denifisi dakwah
memperlihatkan perbedaan dalam perumusan kalimat dan bahasa yang berbeda,
tetapi kandungan isinya tetap sama bahwa dakwah dipahami sebagai seruan, ajakan
dan panggilan dalam rangka membangun masyarakat Islami berdasarkan kebenaran
ajaran Islam yang hakiki. Dengan kata lain dakwah merupakan upaya atau
perjuangan untuk menyampaikan ajaran agama Islam yang benar kepada umat manusia
dengan cara simpatik, jujur, adil, tabah dan terbuka, serta menghidupkan jiwa
mereka dengan janji-janji Allah Swt tentang kehidupan yang membahagiakan serta
menggetarkan hati mereka dengan ancaman-ancaman-Nya (Pimay, 2006: 7).
Dalam perspektif sistem, dakwah merupakan suatu
sistem yang terdiri dari sub sistem – sub sistem yang saling berkaitan antara
satu sub sistem dengan sub sistem lainnya. Sub sistem dakwah antara lain
terdiri dari sub sistem da’i (pelaku dakwah), sub sistem mad’u (obyek dakwah),
sub sistem maddatut da’wah (materi dakwah), sub sistem wasilatut
da’wah (media dakwah), dan sub sistem thariqatut da’wah (metode
dakwah).
Jalinan hubungan
antar sub sub sistem dalam dakwah, harus dipelihara agar selalu fungsional
antara sub sub sistem satu dengan sub sub sistem lainnya untuk mencapai
keseimbangan dan keteraturan (social order). Dakwah juga sebagai sub
sistem dari sistem sosial masyarakat di sekitarnya. Untuk menjaga
keberlangsungan dan keseimbangan dalam masyarakat, dakwah dengan status yang
dimilikinya harus mampu memainkan peranan untuk keteraturan sosial.
Dakwah
menjadi kata kunci, untuk melakukan transformasi masyarakat, karena dakwah
merupakan agen perubahan sosial (agent of change), dakwah mengandung
makna melakukan upaya sistematis untuk mengubah perubahan dalam segala aspek
kehidupan guna disesuaikan dengan ideal-moral Islam (Amrullah, 2008:25).
Kegiatan dakwah diarahkan minimal ke dalam tiga hal:
1)
Mensosialisasikan
nilai-nilai ideal (dakwah ilal-khair).
2)
Memajukan
tatanan masyarakat yang sudah baik menjadi lebih baik (amar ma’ruf).
3)
Merubah
tatanan masyarakat yang dianggap destruktif (nahi munkar).
Ketiga fokus tersebut tidak bisa
dipisah-pisahkan, apalagi diambil salah satu saja. Sebab jika yang pertama
diambil tanpa kedua dan ketiga, maka dakwah yang dilakukan hanya bersifat
normatif, tidak realistis, sehingga tidak ada efek berarti secara sosial. Jika
yang kedua saja tanpa yang pertama dan ketiga, seorang da’i atau muballigh akan
terlalu pragmatis, hal mana tidak menjamin keselamatan kebijaksanaannya. Yang
paling kurang tepat jika hanya mengambil bagian ketiga saja, tanpa pertama dan
kedua. Akibatnya dakwah hanya berisi melarang tanpa memberi jalan keluar,
bahkan mungkin hanya berisi maki-makian dan kutukan-kutukan (Madjid,
1993:200-201).
Seharusnya
para da’i jangan terfokus pada aktivitas
dakwah bil-lisan, tanpa mau memanfaatkan media dakwah seperti: radio,
televisi, internet, koran, majalah, bulletin, poster, pamflet,dan buku.
Sejumlah media dakwah tersebut dapat mempercepat dan memperluas target-target
utama dari dakwah Islam (Arif, 2001:61). Umat Islam semakin menyadari, dakwah
yang dilaksanakan dengan hanya memanfaatkan media tradisional, pada segmen
masyarakat tertentu tidak efektif lagi untuk merespons akselerasi perubahan
sosial masyarakat. Pola hidup, gaya hidup, pengaturan waktu dan problem-problem
masyarakat akibat modernisasi, telah merubah pola-pola lama yang selama ini
dianut. Maka pemanfaatan media moderen menjadi pilihan atas tuntutan perubahan
di atas (Sholihati, 1998:19). Pemanfaatan media moderen dapat dilakukan dalam
dua model, pertama dependent
model. Artinya dakwah dilakukan dengan cara membuat jaringan ke sejumlah
pengelola media massa, untuk menyiarkan atau menerbitkan pesan-pesan Islam.
Model pertama ini menempatkan dakwah pada posisi dependent dan lemah,
sehingga produk-produk dakwah yang dihasilkan harus mengikuti aturan main
pemilik media. Kedua, independent model. Adalah usaha dakwah yang
dilakukan dengan cara mendirikan media yang dikelola secara mandiri oleh
aktivis dakwah. Model ini memberikan kebebasan untuk menyajikan materi-materi
dan variasi dakwah, sesuai dengan keingingan para pengelolanya (Faqih, 2000:
4).
Di dalam
sistem dakwah, sub sistem da’i merupakan sub sistem yang paling menentukan
untuk mencapai keberhasilan dakwah. Sub sistem da’i menjadi motor penggerak
bagi sub sistem – sub sistem lainnya. Pada sisi lain sistem di luar sistem
dakwah yakni masyarakat senantiasa mengalami perubahan, baik perubahan yang
direncanakan maupun yag tidak direncanakan. Maka tuntutan kemampuan da’i secara
terus-menerus harus ditingkatkan, jika kegiatan dakwah yang dilakukan ingin
memperoleh kesuksesan. Dalam kaitan ini, Koento Wibisono (1992) menuntut kepada
para da’i, atau muballigh agar memiliki dua kesiapan yaitu kesiapan
intelektual dan kesiapan moral. Kesiapan intelektual diartikan sebagai
penguasaan materi dan wawasan luas yang harus dimiliki. Sebab pandangan yang
semakin rasionalistik disertai sikap kritis dari para mad’u merupakan tantangan
yang harus diantisipasi dengan kemampuan untuk menyajikan materi dakwah yang
tepat dan menyentuh dengan permasalahan yang dihadapi penerima dakwah (mad’u).
Meminjam istilah Van Peursen, agama bagi manusia masa kini tidak cukup
dijelaskan sebagai “kata benda” melainkan harus ditenkankan sebagai “kata
kerja”; tidak cukup hanya diterangkan aspek ontologiknya, melainkan lebih
ditekankan pada aspek fungsionalnya. Sehingga agama menjadi lebih dihayati oleh
manusia masa kini yang kesehariannya sudah dipenuhi oleh peran canggihnya
teknologi. Para da’i atau muballigh harus menggunakan metode yang tidak hanya
menyentuh pada segi logos dan ethosnya saja, melainkan juga pada
segi pathosnya (mood atau stemming). Sehingga tidak hanya landasan
rasional dan kesusilaan saja, tetapi juga hati nurani akan menjadi daya dorong
dalam mengamalkan agama sebagai sesuatu yang wajib dalam ikut membangun
masyarakatnya.
Dengan
menyimak berbagai macam pandangan tentang dakwah tersebut, ternyata ada
elemen-elemen baru dalam dakwah. Disamping unsur komunikasi, dakwah juga sangat
mementingkan unsur institusionalisasi, dan aksi. Dakwah bil-lisan sering hanya berhenti pada komunikasi, sedangkan dakwah
pembangunan memerlukan ketiganya (Koentowijoyo, 1992: 76). Untuk melaksanakan
santunan, misalnya santunan anak-anak, tidak hanya diperlukan
penjelasan-penjelasan mengenai kesehatan, pendidikan, dan lingkungan, tetapi
termasuk melembagakannya dalam sebuah organisasi yang secara berkelanjutan
dapat menangani masalah tersebut. Dakwah dalam konteks ini, bukan hanya
penyadaran, tetapi juga pelembagaan dari kegiatan-kegiatannya. Oleh karena itu
dakwah memerlukan personil yang tidak hanya ahli dalam berceramah, juga ahli
dalam organisasi, dan ahli pada bidang persoalan yang sedang ditangani.
Memanggil orang ke jalan Allah menjadi pekerjaan yang penuh tantangan, karena
itu dalam dakwah perlu mendapat perhatian pula dari sisi management-nya.
Untuk
melakukan dakwah pembangunan diperlukan kemampuan analisis sosial budaya, termasuk di dalamnya psikologi
umat Islam. Pertama, analisis
etno-psikologi yang akan memberikan gambaran bagaimana psikologi umat Islam
dari sebuah lingkungan etnis tertentu. Psikologi seseorang atau kelompok sangat
dipengaruhi oleh lingkungan budayanya. Orang Jawa mempunyai psikologi etnis
yang berbeda dengan orang Padang, sehingga dakwah di lingkungan orang Jawa
harus pula berbeda dengan dakwah di lingkungan orang Padang. Kedua, analisis sosiologi akan
memberikan sumbangan dalam menganalisis pelapisan sosial. Para juru dakwah
harus dapat membedakan lapisan elit dan lapisan bawahnya. Lapisan atas akan
mempunyai akses yang lebih luas pada informasi dan lebih cepat dalam menerima
perubahan. Demikian juga lingkungan sosial sangat menentukan psiko budaya
masyarakat. Masyarakat desa akan sangat berbeda dengan masyarakat kota. Dengan
kata lain, dakwah pada orang Jawa dari lapisan bawah yang tinggal di pedesaan
berbeda dengan dakwah pada kelompok lainnya( Kuntowijoyo, 1992: 77).
Dalam
masyarakat moderen, sering dibedakan antara masyarakat pedesaan (rural community) dengan masyarakat
perkotaan (urban community).
Perbedaan tersebut tidak berhubungan dengan pengertian masyarakat sederhana,
karena dalam masyarakat moderen, suatu desa betapa pun kecilnya tetap ada
pengaruh dari kota. Perbedaan tersebut sebenarnya pada pandangan hidup, gaya
hidup, dan nilai-nilai yang dijunjung tinggi. Orang kota sudah memandang
penggunaan kebutuhan hidup, sehubungan dengan pandangan masyarakat sekitarnya.
Kalau menghidangkan makanan, yang diperhatikan bahwa makanan tersebut akan
memberikan kesan bahwa yang menghidangkan mempunyai kedudukan sosial yang
tinggi. Sehingga makanan dan tempat menghidangkannya harus kelihatan mewah dan
terhormat.
Ada
beberapa ciri masyarakat kota, yang dapat dibedakan dengan masyarakat desa,
antara lain (Soerjono Soekanto, 1990: 166-171):
1.
Pembagian
kerja diantara warga kota lebih tegas dan memiliki batas-batas yang nyata.
2.
Jalan
fikirannya rasional yang menyebabkan interaksi yang terjalin lebih didasarkan
pada faktor kepentingan daripada faktor pribadi
3.
Jalan
kehidupan yang cepat di kota, mengakibatkan pentingnya faktor waktu.
4.
Kehidupan
keagamaan orang kota cenderung rasional (secular
trend).
5.
Perubahan
sosial tampak lebih nyata, karena masyarakat kota lebih terbuka dalam menerima
hal-hal yang baru.
Secara
antropologis, masyarakat perkotaan cenderung heterogen, terlebih pada sejumlah
kota besar yang menjadi tujuan urbanisasi seperti: Jakarta, Medan, Surabaya,
Semarang. Kota yang disebut terakhir, tercermin dalam sejarahnya memiliki karakteristik majemuk. Corak
kemajemukan masyarakat Semarang sebagaimana dimaksud, menjadi jelas dengan adanya heterogenitas suku bangsa.
Heterogenitas kesukuan tersebut tampaknya juga tercermin dalam hunian yang
mengelompok masing-masing suku bangsa yang ada. Perbedaan agama dan ciri
kebudayaan masing-masing suku bangsa tampaknya terus bertahan berjalan, dan
berkembang secara linear sepanjang abad 19. Walaupun demikian ada pola-pola
yang menunjukkan adanya persinggungan budaya dan agama yang muncul dalam berbagai
bentuk kebudayaan, meskipun pola-pola tersebut belum dapat diketahui kapan di
mulai.
Sedangkan secara vertikal, struktur dasar
masyarakat Semarang pada masa kolonial menggambarkan elit penguasa, berada
ditangan orang-orang Eropa. Menurut Sartono Kartodirjo (1969) hubungan sosial kolonial didasarkan
pada sistim kelas, mirip seperti masyarakat berkasta
Data cukup menarik adalah yang terjadi pada etnis Tionghoa sebagai
lapisan kedua masyarakat di Semarang, ternyata banyak diantara mereka yang
menjadi elit politik. Perkembangan ini
menarik, karena selama abad 19, pemerintah Eropa juga memberlakukan
aturan-aturan pada mereka yang bisa dikatakan sebagai bentuk isolasi, baik
terhadap masalah pemukiman mereka yang disendirikan, maupun tradisi budaya yang
mereka kembangkan. Arus kedatangan orang-orang Tionghoa di Semarang tampaknya
banyak terjadi selama masa akhir abad 19-20, dan kebanyakan melalui jalur
Singapura. Golongan lain yang berada diantara pelapisan
etnis Tionghoa dan golongan pribumi adalah golongan Arab dan Khoja. Sedangkan sebagian besar golongan
pribumi adalah sebagai warga pada lapisan paling bawah. Struktur pelapisan
sosial ini, tampaknya juga merupakan gambaran pada bidang ekonomi. Penguasaan
akses-akses ekonomi juga berada ditangan Eropa, kemudian etnis Tionghoa, dan
Arab. Sedangkan golongan pribumi sebagian besar adalah konsumen belaka.
Pelapisan ekonomi juga tampak pada segmentasi pasar.
C.
Pengembangan Model Dakwah: Belajar dari Pesantren
Maslakul Huda Pati
Jika
ditelusuri lebih mendalam, umat Islam yang tinggal di perumahan memiliki
potensi untuk dikembangkan ke arah kemajuan. Potensi dimaksud, antara lain:
Sistem sosial dan budaya masih mencari bentuk/belum mapan, karakter masyarakatnya
terbuka untuk menerima hal-hal baru, sumberdaya manusia cukup bervariasi dan
mumpuni. Potensi yang disebut belakangan, tercermin dalam pembangunan tempat
ibadah (masjid/musholla). Untuk membuat desain pembangunan masjid tidak perlu
mencari jasa arsitek dari luar, karena ada orang dari lingkungan setempat yang
memiliki kemampuan tersebut
Tetapi
dibalik kelebihan umat Islam di lingkungan perumahan, juga ada beberapa
kelemahan, antara lain: Pertama,Solidaritas
umat Islam di perumahan relatif kurang stabil, terutama dalam mengambil
keputusan kolektif yang menyangkut kepentingan umum. Hal ini sebagai akibat,
dari belum establish-nya sistem
sosial yang ada, sehingga belum ditemukan mekanisme yang “baku” untuk
menyelesaikan problem-problem sosial yang muncul. Selain itu karena
heterogenitas etnik, dan agama. Kedua,
Proses penerimaan terhadap hal-hal baru membutuhkan waktu relatif lama dan
penjelasan yang lebih rasional, karena mereka nota benenya berlatar belakang
pendidikan yang memadai. Mereka relatif memiliki kedewasaan dan kemandirian
dalam berpikir, bersikap, dan bertindak, jika dibandingkan dengan masyarakat di
pedesaan. “Orang desa” lebih cenderung dependen kepada seorang tokoh panutan,
dalam hal mengambil keputusan baik yang bersifat individua maupun kolektif.
Saya
sependapat dengan pandangan Kiai Sahal Mahfud, bahwa dakwah saat ini tanpa
meninggalkan penerapan dakwah bil-lisan
seperti forum pengajian, diskusi, seminar, akan tetapi perlu aktualisasi diri
melalui kegiatan nyata (dakwah bil-hal).
Dakwah bil-hal dalam konteks ini bukan berarti tanpa menyertakan maqal, hanya saja lebih ditekankan pada
sikap, perilaku, dan kegiatan nyata yang secara interaktif akan mendekatkan
masyarakat pada kebutuhannya serta langsung dan tidak langsung dapat
mempengaruhi peningkatan keberagamaannya. Pengembangan dakwah yang efektif
harus mengacu pada kebutuhan masyarakat akan peningkatan kualitas keislaman
sekaligus peningkatan kualitas hidup mereka. Dakwah tidak saja memasyarakatkan hal-hal yang
religius islami, namun juga menumbuhkan etos kerja (Zubaidi, 2007: 344). Kiai
Sahal, juga mengharapkan agar model dakwah yang dilakukan umat Islam berjalan
sinergis. Antara satu model dakwah bil-hal, dakwah bil-lisan, dan dakwah
bil-mujadalah diupayakan berjalan secara komplementer sesuai dengan situasi
kondisi dan kebutuhan yang dihadapi.
Implementasi
gagasan Kiai Sahal tersebut, dibentuk lembaga sosial bernama Biro Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (BPPM) Pesantren Maslaul Huda. Model dakwah melalui
aksi-aksi pengembangan masyarakat yang
kemudian dilakukan BPPM, agaknya merupakan model dakwah yang dibutuhkan saat
ini. Karena di dalamnya mengandung upaya membangun masyarakat bawah yang bahan,
pelaku dan penggeraknya digali dari bawah. Sedang daya gunanya sangat besar
baik bagi peningkatan kecerdasan rakyat, kegotongroyongan, perbaikan lingkungan
maupun pembinaan spiritual.
Dengan memperhatikan kondisi sosial dan budaya,
potensi dan kelemahan umat Islam di lingkungan perumahan, menurut saya apa yang
dilakukan Kiai Sahal dengan BPPM nya dapat diadaptasikan untuk diterapkan.
Masjid dan musholla yang ada di perumahan, tampaknya merupakan infrastruktur paling
representatif yang dapat dioptimalkan fungsi ibadah dan sosialnya untuk men- drive kemajuan umat Islam. Masjid dan
musholla bagi “orang perumahan”, menjadi media yang mampu mempertemukan
berbagai macam orang yang berlatar belakang etnik, pendidikan, pekerjaan,
tetapi memiliki kesamaan aqidah islamiyah.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Amrullah. 2008. Makalah Semiloka Nasional berjudul “ Dakwah
Islam Sebagai Ilmu: Sebuah Kajian Epistemologi dan Struktur keilmuan Dakwah”.
Semarang, 19 – 21 Desember 2008
Arif,
Moh.Chorul. “Dakwah dalam Perspektif KH. Abdul Wahid Hasyim” dalam Jurnal
Ilmu Dakwah Vol.4, No.1, April 2001.
Berghe, Pierre l.van den. 1969. “Pluralism and
the Polity: a Theoretical Exploration”, dalam Leo Kuper dan M.G Smith ed. Pluralism
in Africa. Los Angeles: University
of California Press.
Faqih, Ahmad. 2000. “Quo Vadis Dakwah Abad 20”.
Dalam Jurnal Risalah Walisongo Edisi 80/TH.XX/Jan-Juni 2000.
Kuntowijoyo. 1992. “Dakwah Pembangunan: Dakwah dan Fenomena Psiki-Budaya
Umat Islam”, Nasruddin Harahap, Cs (Ed.), Dakwah
Pembangunan, Yogyakarta: DPD Golkar Tk.I Propinsi DIY.
Kusmanto, Thohir Yuli.2007. “Analisis Jaringan Gerakan Dakwah”, dalam Jurnal Ilmu Dakwah Vol.27.No.2, Juli-Des
2007.
Madjid, Nurcholish. 1993. Islam Kerakyatan
dan KeIndonesiaan. Bandung: Mizan.
Mubyarto.2000. “Pengembangan Wilayah, Pembangunan Pedesaan dan otonomi
Daerah”, dalam Pengembangan Wilayah
Pedesaan dan Kawasan Tertentu: Sebuah Kajian Eksploratif. Jakarta: BPPT.
Pimay,
Awaludin. 2005. Paradigma Dakwah Humanis, Strategi dan Metode Dakwah
Syaefuddin Zuhri. Semarang: Rasa’il
Pimay, Awaludin. 2006. Metode Dakwah. Kajian Teoritis dan Khasanah
Al-Qur’an. Semarang: Rasa’il.
Sinngih, Doddy S. 1997.
“Pembangunan Kota dan Keseimbangan Ekosistem: Kasus Perkembangan Surabaya,
dalam Jurnal Prisma No.6-1997.
Sholihati, Siti. 1998.
“Pers Dakwah (Media Alternatif di Era Informasi)”. Dalam Jurnal Risalah
Walisongo Edisi 76.
Sulthon, Moh.2006.
“Menelaah Sifat nabi Muhammad Sebagai Da’i”, dalam Jurnal Ilmu Dakwah Vol.
26 No.1 Januari 2006.
Suparlan, Parsudi. 2002. “Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural”,
Dalam Jurnal Antropologi Indonesia 69, 2002.
Sugiyono.2003. Metode
Penelitian Administrasi, Bandung: Alfabeta
Warren, Roland L. 1978. The Community
in America. Chicago: Rand McNally College Publishing Company.
Wibisono, Koento. 1992.
“Dakwah Pembangunan: Konsepsi dan Relevansi Dakwah dalam Pembangunan”, dalam
Nasruddin Harahap, Cs(Ed.), Dakwah Pembangunan, Yogyakarta: DPD Golongan
Karya Tingkat I DIY.
Zamroni.1992. Pengantar
Pengembangan Teori Sosial, Yogyakarta:Tiara Wacana.
Zubaidi.2007. Pemberdayaan Masyarakat
Berbasis Pesantren. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
0 Comments