KRITIK
TERHADAP PROGRAM PENGENTASAN KEMISKINAN
MELALUI LEMBAGA AMIL ZAKAT DI INDONESIA[1]
Oleh:
Ahmad Faqih, S.Ag, M.Si
ABSTRAKS
Tulisan ini
berangkat dari suatu keprihatinan atas tingginya angka kemiskinan di tanah air
terdapat trend yang meningkat dari tahun ke tahun. Padahal kita
mengetahui, efek domino dari kemiskinan, mengakibatkan berbagai masalah pada
sisi yang lain seperti gizi buruk, rendahnya pendidikan, kerawanan sosial.
Karenanya problem kemiskinan bukan hanya problem ekonomi semata, juga menyangkut
problem sosial budaya, dan sosial politik. Sehingga diperlukan strategi yang
integratif dan komprehensif dari berbagai dimensi kemiskinan tersebut untuk
menghasilkan efektivitas penanganan kemiskinan di masyarakat.
Lembaga amil zakat di tanah air, jika dilihat
dari program-program bidang ekonomi sebenarnya sudah sangat kreatif dan
inovatif. Penyaluran dana zakat tidak terbatas lagi pada bantuan yang bersifat
konsumtif, hampir semua lembaga zakat yang diamati mempunyai program yang
bersifat produktif. Hal ini dimaksudkan agar terjadi perubahan pada pihak
mustahiq menjadi mandiri dan mampu mengatasi problem kehidupannya.
Dari hasil
telaah pada sejumlah lembaga zakat, masih ditemukan kelemahan antara lain:
program-program penyaluran dana zakat masih bersifat parsial belum menyentuh
dimensi yang lebih holistik, implementasi program-program peyaluran zakat masih
dikelola sendiri-sendiri oleh lembaga zakat, dengan kata lain belum terwujud
kerjasama antar lembaga zakat dalam rangka penyaluran dana zakat ke masyarakat.
.
Kata Kunci: Kemiskinan, lembaga amil
zakat, Indonesia
A. Pendahuluan
Kemiskinan
menjadi masalah fenomenal sepanjang sejarah Indonesia, karena pemerintah belum
memiliki strategi dan kebijakan pengentasan kemiskinan yang tepat. Kebijakan
pembangunan dan berbagai program penanggulangan kemiskinan yang dikembangkan
seringkali kurang memperhatikan karakteristik dan konteks lokal masyarakat
miskin. Misalnya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak diikuti dengan
penyediaan lapangan pekerjaan sehingga tidak mampu mengatasi masalah
kemiskinan. Investasi yang ditanamkan oleh investor lokal dan asing tidak bisa
diandalkan untuk menyerap tenaga kerja. Karena mereka mengembangkan jenis
industri yang minim tenaga manusia dengan penggunaan mesin-mesin canggih, sehingga
pertumbuhan investasi yang tinggi tidak berdampak pada penurunan angka
kemiskinan. Kemiskinan telah membuat
jutaan anak-anak tidak bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas, kesulitan
membiayai kesehatan, kurangnya jaminan sosial dan perlindungan terhadap
keluarga, meningkatnya arus urbanisasi di kota-kota besar, dan kemiskinan telah
menyebabkan jutaan rakyat memenuhi kebutuhan dasar secara terbatas.
Masalah
kemiskinan di Indonesia sampai saat ini merupakan isu strategis dan harus mendapat
prioritas utama untuk ditangani. Menurut data BPS, jumlah penduduk miskin di
Pulau Jawa yang notabenenya lebih maju dibandingkan di Luar Pulau Jawa
mengalami trend menurun, tetapi di provinsi tertentu rata-rata angka
kemiskinannya masih cukup tinggi seperti terlihat pada table berikut:
Tabel
1
Persentase
Jumlah Penduduk Miskin di Pulau Jawa
Berdasarkan
Provinsi Tahun 2005-2009
Provinsi
|
2005
|
2006
|
2007
|
2008
|
2009
|
Rata-Rata
|
DKI
Jakarta
|
3,61
|
4,57
|
4,61
|
4,29
|
3,62
|
4,14
|
Banten
|
8,86
|
9,79
|
9,07
|
8,15
|
7,64
|
8,70
|
Jabar
|
13,06
|
14,49
|
13,55
|
13,01
|
11,96
|
13,21
|
DIY
|
18,95
|
19,15
|
18,99
|
18,32
|
17,23
|
18,53
|
Jatim
|
19,95
|
21,09
|
19,98
|
18,51
|
16,68
|
19,24
|
Jateng
|
20,49
|
22,19
|
20,43
|
19,23
|
17,72
|
20,01
|
Dari
tabel di atas, didapat kesimpulan bahwa usaha menurunkan angka kemiskinan
membutuhkan waktu yang tidak instan. Apalagi jika beban itu hanya dilimpahkan
kepada pemerintah. Dibutuhkan peran
lembaga-lembaga sosial, pihak swasta, dan masyarakat, salah satu
bentuknya melalui lembaga zakat menjadi sangat penting untuk berikhtiar secara
kolektif menekan angka kemiskinan di masyarakat. Lembaga-lembaga zakat tumbuh
pesat di berbagai wilayah, jika dilihat dari pihak yang mengelola zakat, ada
tiga macam lembaga zakat yaitu lembaga zakat milik pemerintah, lembaga zakat
yang dikelola swasta dan lembaga zakat yang dikelola komunitas. Lembaga zakat
milik pemerintah dengan sebutan Badan Amil Zakat Daerah (BAZDA) tingkat
provinsi maupun daerah merupakan implementasi dari amanat UU No. 38 tahun 1999
tentang Pengelolaan Zakat. Sedangkan lembaga zakat yang dikelola oleh swasta
tumbuh pesat sekitar awal abad ke 21 seperti Rumah Zakat Indonesia, dan Dompet Dhuafa. Lembaga zakat yang dikelola
oleh komunitas, telah eksis jauh sebelum abad 21 meskipun dalam bentuk lembaga
tradisonal dengan jangkauan yang relatif terbatas. Berbeda dengan kelahiran
lembaga-lembaga zakat komunitas pada era sekarang jauh lebih baik dari sisi
manajemen pengelolaannya. Misalnya Dompet Peduli Umat Darut Tauhid (DPU-DT),
PKPU, dan LAZIS Jateng.
Persoalan
yang dapat dimunculkan khususnya bagi pengelola zakat di tanah air, wajar
ketika dipertanyakan bahwa peran sosial lembaga zakat belum memiliki kontribusi
signifikan untuk menurunkan angka kemiskinan di Indonesia. Makalah ini berusaha
menelusuri letak kelemahan-kelemahan dalam pengelolaan dana zakat terutama
untuk program pengentasan kemiskinan melalui pemberdayaan masyarakat.
B. PROGRAM – PROGRAM BIDANG EKONOMI LEMBAGA
AMIL ZAKAT
Jika
dilihat dari sisi program, sejumlah lembaga zakat di Indonesia mempunyai jenis
program yang bervariasi baik yang bersifat rutin maupun incidental, dan
bersifat konsumtif maupun produktif. Sebagai gambaran program-program lembaga
amil zakat tersebut akan diambil dari lembaga-lembaga amil zakat antara lain:
1.
Rumah Zakat
Indonesia (RZI)
Lembaga amil zakat yang berdiri sejak tahun 1998 ini
mempunyai program dalam bidang ekonomi yang dikemas dalam program “Senyum
Mandiri (ekonomi)”. Program ini selanjutnya diwujudkan dalam berbagai sub
program sesuai dengan pemetaan yang dilakukan: Pertama Balai Bina
Mandiri, program pemberdayaan masyarakat dengan melakukan set up
infrastruktur dan sarana penunjang aktivitas pemberdayaan komunitas dan
lingkungan di wilayah ICD binaan Rumah Zakat dan mitra. Aktivitas di Balai Bina
Mandiri berdasarkan pemetaan potensi sumber daya di masing-masing wilayah dan
didampingi SDM Member Relationship Officer (MRO). Kedua Kelompok
Usaha Kecil Mandiri (KUKMI), program pemberdayaan dan pendampingan ekonomi
berbasis usaha mikro member program, dalam bentuk pengadaan modal dan/atau
infrastruktur serta sarana penunjang aktivitas usaha yang telah dimilikinya.
Bantuan sarana usaha dan modal yang diberikan, berdasarkan hasil pemetaan
kebutuhan usaha para anggota KUKMI. Adapun jumlah anggota KUKMI sebanyak 10-20
orang tergantung jenis usahanya. Ketiga Sarana Usaha Mandiri, program
pemberdayaan ekonomi, dalam bentuk pengadaan infrastruktur & sarana
penunjang aktivitas masyarakat dalam kegiatan usahanya. Bantuan sarana usaha
yang diberikan, berdasarkan hasil penilaian kelayakan usaha masing-masing calon
member pemberdayaan. Keempat Pemberdayaan Ekonomi Berbasis Agro, merupakan
program pemberdayaan ekonomi masyarakat di bidang ternak, dengan skema
penggemukan domba dan/atau sapi. Kelima Pelatihan Skill
Produktif, program peningkatan kapasitas skill produktif pemuda sebagai
modal menjadi pengusaha. Penekanan program ini pada pengembangan potensi lokal
masing-masing daerah.[2]
- Dompet
Peduli Umat Dararut Tauhid (DPU-DT)
Program
bidang ekonomi pada DPU-DT dikemas dalam program “Pusat Kemandirian Umat” yang
terdiri dari 3 sub program yaitu : Pertama, Myskat (Microfinance
Syariah Berbasis Masyarakat) merupakan program pemberdayaan ekonomi produktif
yang dikelola secara sistematis, intensif, dan berkesinambungan. Di sini para
penerima manfaat program (mustahik) diberi dana bergulir, keterampilan dan
wawasan berusaha, pendidikan menabung, penggalian potensi, pembinaan akhlak dan
karakter, sehingga mereka menjadi berdaya dan didorong untuk lebih mandiri. Kedua,
DTM (Desa Ternak Mandiri) goram penggemukkan hewan ternak yang
sasarannya adalah memberdayakan peternak kecil di pedesaan. Program
dilaksanakan dalam bentuk pengelolaan hewan ternak yang berkualitas sampai pada
proses pemasaran melalui program pendampingan yang intensif dan
berkesinambungan. Hasil akhirnya adalah terlaksananya keberlangsungan dan
kemandirian penerima manfaat program (mustahik).
Ketiga,
Peka (Pelatihan Kemandirian) program pemberdayan kaum dhuafa melalui
pemberian pendidikan, pelatihan keterampilan, dan pembinaan, yang sistematis
dan berkesinambungan, sehingga mereka memiliki bekal untuk berkarya dan mandiri.[3]
- Lazis
Jateng
Program Lazis Jateng dalam bidang
ekonomi dikemas dalam program Economic Support yang dibagi dalam tiga
sub program. Pertama, Training kewirausahaan Kedua, Pembiayaan
modal Ketiga, Pemberdayaan ternak jinawi.[4]
4. PKPU
Program PKPU dalam bidang ekonomi
diwujudkan dalam program PROSPEK (Program Sinergi Pemberdayaan
Komunitas): Program pemberdayaan ekonomi usaha kecil melalui kelompok dengan
sasaran; kelompok tani, kelompok gurem, kelompok peternak, kelompok pengrajin,
kelompok pedagang kecil, kelompok tukang ojek dan kelompok nelayan.[5]
Secara ringkas berbagai macam program
lembaga-lembaga zakat tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel
2: Program Penyaluran Dana Zakat Bidang Ekonomi
No.
|
Nama
lembaga
|
Nama Program
|
1.
|
Rumah Zakat Indonesia
|
BIG
Smile Indonesia:
-Senyum
juara (pendidikan)
-Senyum
sehat (kesehatan)
-Senyum
mandiri (ekonomi)
-Senyum
lestari (lingkungan)
|
2.
|
DPU-DT
|
Pusat
Kemandirian Umat:
-Myskat
-Desa
ternak mandiri
-Peka
|
3.
|
Lazis
Jateng
|
Economic
Support:
-Training
kewirausahaan
-Pembiayaan
modal
-Pemberdayaan
ternak jinawi
|
4.
|
PKPU
|
PROSPEK
(Program Sinergi Pemberdayaan Komunitas): Program pemberdayaan ekonomi usaha
kecil melalui kelompok dengan sasaran; kelompok tani, kelompok gurem,
kelompok peternak, kelompok pengrajin, kelompok pedagang kecil, kelompok
tukang ojek dan kelompok nelayan.
|
Berdasarkan
tabel di atas, ada persamaan perhatian pada program-program pemberdayaan masyarakat
untuk mengurangi angka kemiskinan. Idealnya, zakat akan berfungsi sebagai salah
satu sumber dana sosial-ekonomi bagi umat Islam, jika pendayagunaan zakat yang
dikelola oleh badan amil zakat tidak hanya terbatas pada kegiatan-kegiatan
tertentu yang berdasarkan orientasi konsumtif. Zakat dapat dioptimalkan untuk
program-program pengentasan kemiskinan dan pengangguran dengan memberikan zakat
produktif kepada mereka yang memerlukan sebagai modal usaha.
C. KERANGKA TEORITIK
1.
Kemiskinan
Secara
garis besar ada dua cara orang memandang kemiskinan. Sebagian orang berpendapat
bahwa kemiskinan adalah suatu proses, sedangkan sebagian lagi memandang
kemiskinan sebagai suatu akibat atau fenomena masyarakat.[6]
Sebagai
suatu proses, kemiskinan mencerminkan kegagalan suatu sistem masyarakat dalam
mengalokasikan sumber daya dan dana secara adil kepada anggota masyarakatnya.
Dengan demikian kemiskinan dapat dipandang pula sebagai salah satu akibat dari
kegagalan kelembagaan pasar (bebas) dalam mengalokasikan sumber daya yang
terbatas secara adil kepada seluruh anggota masyarakat. Faham ini mengemukakan
konsep tentang kemiskinan relatif atau yang sering pula dikenal sebagai
kemiskinan struktural. Yaitu situasi miskin yang disebabkan oleh rendahnya
akses terhadap sumberdaya yang terjadi dalam suatu system sosial budaya
dan sosial politik yang tidak mendukung
pembebasan kemiskinan tetapi seringkali menyebabkan suburnya kemiskinan.
Pandangan
tentang kemiskinan sebagai suatu fenomena atau gejala dari suatu masyarakat
melahirkan konsep kemiskinan absolute. Sejalan dengan konsep ini, maka
Bank Dunia mendefinisikan sebagai ketidakmampuan seorang individu untuk
memenuhi kebutuhan dasarnya (fundamental need), seperti: pangan,
sandang, papan, dan kesehatan. Pada saat ini, konsep penghitungan kemiskinan
yang digunakan tidak hanya menghitung kemiskinan absolute saja melainkan
juga memperhitungkan kemiskinan relatif. Indeks kemiskinan yang dikembangkan
dewasa ini merupakan indeks gabungan yang memperhatikan komponen-komponen
berikut: (1) proporsi penduduk miskin, (2) kesenjangan pendapatan dalam
populasi dan (3) indeks ketidakmerataan distribusi pendapatan.
Walaupun
secara sepintas ada perbedaan faham tentang definisi kemiskinan, tetapi jika
dilihat dari segi kausalitasnya, maka kesimpulan bahwa kedua konsep kemiskinan
tersebut tidak dapat dipisahkan. Jika dalam suatu masyarakat terjadi
ketidakadilan dalam pembagian kekayaan, maka sebagian anggota masyarakat yang
posisinya akan lemah menerima bagian kekayaan terkecil. Karena itu golongan
yang lemah ini akan menjadi miskin. Sebaliknya jika sebagian anggota masyarakat
itu miskin, maka golongan ini akan mempunyai posisi yang lemah dalam penentuan
pembagian kekayaan di dalam masyarakat tersebut.
Tetapi
kemiskinan bukan saja berurusan dengan persoalan ekonomi tetapi bersifat multi
dimensional, karena dalam kenyataannya juga berurusan dengan
persoalan-persoalan non-ekonomi seperti sosial, budaya, dan politik.[7]
(Heru Nugroho, 2001: 190). Karena sifat multi dimensional tersebut, kemiskinan
tidak hanya berurusan dengan kesejahteraan materi tetapi juga berurusan dengan
kesejahteraan sosial. Untuk mengejar seberapa jauh seseorang memerlukan
kesejahteraan materi dapat diukur secara kuantitatif dan obyektif seperti dalam
mengukur kemiskinan absolute yaitu ditunjukkan dengan angka rupiah.
Namun untuk memahami berapa besar kesejahteraan sosial yang harus dipenuhi
seseorang ukurannya menjadi sangat relatif dan kualitatif.
Heru
Nugroho (2001) selanjutnya menyebutkan dimensi-dimensi kemiskinan yang perlu
mendapatkan perhatian yaitu:
1. Kemiskinan berdimensi ekonomi atau material
Dimensi ini menjelma dalam berbagai
kebutuhan dasar manusia yang sifatnya material; pangan, sandang, perumahan,
kesehatan dan lain-lain. Dimensi ini dapat diukur dalam rupiah meskipun
harganya akan selalu berubah-ubah setiap tahunnya tergantung pada tingkat
inflasi rupiah itu sendiri.
2. Kemiskinan berdimensi sosial budaya
Ukuran kuantitatif kurang dapat
dipergunakan untuk memahami dimensi ini sehingga ukurannya sangat bersifat
kualitatif. Lapisan yang secara ekonomis miskin akan membentuk kantong-kantong
kebudayaan yang disebut budaya kemiskinan demi kelangsungan hidup mereka.
Budaya kemiskinan ini dapat ditunjukkan dengan terlembaganya nilai-nilai
seperti apatis, apolitis, fatalistic, ketidakberdayaan dan lain-lain. Untuk itu
serangan terhadap kemiskinan sama artinya pula dengan pengikisan budaya ini.
Apabila budaya ini tidak dihilangkan maka kemiskinan ekonomi juga sulit
ditanggulangi.
3. Kemiskinan berdimensi structural atau politik
Orang yang mengalami kemiskinan ekonomi
pada hakekatnya karena mengalami kemiskinan structural atau politis. Kemiskinan
ini terjadi karena orang miskin tersebut tidak memiliki sarana untuk terlibat
dalam proses politik, tidak memiliki kekuatan politik, sehingga menduduki
struktur sosial politik yang paling bawah.
Dimensi-dimensi
kemiskinan ini pada hakikatnya merupakan gambaran bahwa kemiskinan bukan hanya
dalam pengertian ekonomi saja. Untuk itu program pengentasan kemiskinan
seyogyanya tidak hanya memprioritaskan ekonomi tetapi memperhatikan juga
dimensi yang lain seperti sosial budaya dan politik. Dengan kata lain,
pemenuhan kebutuhan pokok memang perlu mendapat prioritas, namun bersamaan
dengan itu seyogyanya juga mengejar target mengatasi kemiskinan non-ekonomi.
Karena
problema kemiskinan bersifat dimensional, maka strategi penanggulangannya harus
bersifat multidimensional pula. Upaya penanggulangan kemiskinan yang bersifat
ekonomi semata, sehingga apabila kebutuhan ekonomi sudah tercapai seolah-olah
proyek penanggulangan kemiskinan juga ikut selesai. Ini berarti menenggelamkan
persoalan-persoalan kemiskinan yang tidak berdimensi ekonomi seperti kemiskinan
sosial, budaya dan politik.
a)
Salah satu
strategi penanggulangan kemiskinan yang bersifat integral dan komprehensif
adalah strategi pemberdayaan masyarakat. Strategi ini merupakan prasyarat
mutlak bagi upaya penanggulangan kemiskinan, bertujuan menekan perasaan
ketidakberdayaan masyarakat miskin bila berhadapan dengan struktur sosial dan
politis. Ada beberapa langkah strategis yang perlu diperhitungkan: Meningkatkan
kesadaran masyarakat miskin atas posisinya dalam struktur sosial-politik di
mana mereka bertempat tinggal. Tanpa kesadaran kritis dari orang miskin itu
sendiri, mereka tetap bersifat tidak berdaya dan cenderung akan menyerah pada
nasibnya.
b)
Memutus
hubungan yang bersifat eksploitatif terhadap lapisan orang miskin, untuk memberi kesempatan kepada mereka
melakukan reorganisasi dalam rangka meningkatkan produktivitas kerja dan
kualitas hidupnya.
c)
Menanamkan
perasaan egalitarian dan merubah mindset orang-orang miskin bahwa mereka
mempunyai kesempatan untuk merubah nasibnya dengan berlandaskan pada kekuatan
mereka sendiri.
d)
Melibatkan
masyarakat secara penuh dalam program-program penanggulangan kemiskinan.
Artinya masyarakat ditempatkan sebagai subyek dalam berbagai macam program,
sehingga mereka mengalami proses belajar untuk mampu mengatasi persoalan yang
mereka hadapi.
e)
Perlunya
pembangunan sosial dan budaya masyarakat miskin. Perubahan ini dapat dilakukan
dengan cara mensosialisasikan nilai-nilai positif kepada lapisan masyarakat
miskin seperti perencanaan hidup, optimism, perubahan kebiasaan hidup,
peningkatan produktivitas kerja dan kualitasnya.
f)
Diperlukan
redistribusi infrastruktur yang lebih merata. Hal ini akan memberikan
kesempatan bagi masyarakat miskin memiliki akses ekonomi dan bidang-bidang
lainnya.
2. Hubungan Zakat dengan Pengentasan
Kemiskinan
Secara
substantif zakat, infaq, dan shadaqah (ZIS) adalah bagian dari mekanisme
keagamaan yang berintikan semangat pemerataan pendapatan. Dana zakat diambil
dari orang berkelebihan dan disalurkan kepada orang yang kekurangan. Zakat
tidak dimaksudkan untuk memiskinkan orang kaya, juga tidak untuk melecehkan
jerih payah orang kaya. Hal ini disebabkab karena zakat diambil dari sebagian
kecil hartanya dengan beberapa criteria tertentu yang wajib dizakati. Oleh
karena itu alokasi dana zakat tidak bisa diberikan secara sembarangan dan hanya
disalurkan kepada kelompok masyarakat tertentu yang kekurangan. (Budi Priyatno,
2008:xv).[8]
Seperti
halnya zakat, infaq dan shadaqah merupakan media pemerataan pendapatan bagi
umat Islam yang sangat dianjurkan. Dengan kata lain infaq dan shadaqah
merupakan media untuk memperbaiki taraf kehidupan para mustahiq. Dengan
demikian ZIS bisa diupayakan secara maksimal untuk memberdayakan ekonomi masyarakat.
Relevansi
zakat di masa sekarang menjadi semakin penting, terlepas dari pajak yang telah
ada, karena tempat penyalurannya berbeda. Zakat merupakan faktor utama
pemerataan harta di kalangan umat Islam, dan juga merupakan sarana untuh
menyebarluaskan semangat solidaritas dan ukhuwah islamiyah.[9]
(A.Rahman Zainuddin, 1994: 437).
Pengembangan
pemaknaan zakat perlu dilakukan, karena pemaknaan zakat oleh seseorang atau
lembaga dapat mempengaruhi orientasi dan model pengelolaan dana zakat dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Secara teologis, zakat akan mendorong
seseorang untuk mengeluarkan sebagian hartanya atas dasar keimanan dan
ketaqwaannya kepada Allah Swt. Sedangkan secara sosio ekonomi, zakat diharapkan
dapat membantu dan memperbaiki taraf hidup mustahiq serta mempererat hubungan
muzakki dan mustahiq. Disamping itu, apabila zakat dimaknai secara politis
strategis, maka zakat diharapkan mampu memberikan implikasi yang besar pada
penguatan daya tahan bangsa dalam melangsungkan kehidupannya.
Dalam
perspektif nasional, lembaga-lembaga zakat diharapkan tidak hanya memikirkan
kebutuhannya sendiri, melainkan lebih berorientasi untuk memberi kepedulian
terhadap masyarakat guna mengatasi kemiskinan dan kemelaratan. Dengan demikian,
kehadiran lembaga zakat disamping bersifat keagamaan, juga ditempatkan dalam
konteks cita-cita bangsa, yaitu membangun masyarakat sejahtera, adil, dan
makmur.
Pendayagunaan
zakat harus berdampak positif bagi mustahiq, baik secara ekonomi maupun sosial.
Dari sisi ekonomi, mustahiq dituntur benar-benar dapat mandiri dan hidup secara
layak , sedangkan dari sisi sosial mustahiq dituntut dapat hidup sejajar dengan
masyarakat yang lain. Hal ini berarti, zakat tidak hanya didistribusikan untuk
hal-hal yang bersifat konsumtif saja dan bersifat charity tetapi lebih untuk
kepentingan yang produktif dan bersifat edukatif.[10]
(Mila Sartika, 2008: 82).
Kelemahan
utama orang miskin serta usaha kecil yang dikerjakannya sesungguhnya tidak
semata-mata pada kurangnya permodalan, tetapi lebih pada sikap mentak dan
kesiapaan manajemen usaha. Untuk itu zakat usaha produktif, pada tahap awal
harus mampu mendidik mustahiq sehingga mereka benar-benar siap untuk berubah
seiring dengan bantuan ekonomi yang diberikan. Karena tidak mungkin kemiskinan
itu dapat berubah kecuali dimulai dari perubahan si miskin itu sendiri. Inilah
yang disebut peran pemberdayaan. Zakat yang dapat dihimpun dalam jangka panjang
harus dapat memberdayakan mustahiq menuju kemandirian hidupnya baik secara
ekonomi, budaya dan politiknya.
D. Kritik terhadap Program Pengentasan
Kemiskinan Melalui Lembaga Amil Zakat
Secara
kelembagaan lembaga amil zakat di Indonesia mengalami kemajuan yang
menggembirakan. Kemajuan ini dapat dilihat dari manajemen yang diterapkan,
mulai aspek pengumpulan dana zakat, aspek penyaluran dana zakat kepada
mustahiq, dan aspek akuntabilitas keuangannya. Semua aspek ini, pada beberapa
lembaga amil zakat dikelola dengan menggunakan manajemen modern, dengan
dukungan sumberdaya manusia (amil) yang kompeten di bidangnya. Selain itu
didukung pula dengan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Lembaga amil
zakat yang masuk dalam kategori ini misalnya: Rumah Zakat Indonesia (RZI),
Dompet Dhuafa, DPU-DT, PKPU, BAZDA tingkat nasional, beberapa BAZDA tingkat
provinsi, dan beberapa BAZDA tingkat kabupaten/kota.
Dampak
positif dari makin menguatnya kelembagaan zakat, dapat meningkatkan citra
lembaga amil zakat di masyarakat. Sehingga masyarakat memiliki kepercayaan yang
makin baik, untuk mengeluarkan zakatnya melalui lembaga tersebut. Kondisi ini
terlihat pada peningkatan dana zakat dari masyarakat yang semakin besar,
meskipun masih jauh dari yang diharapkan tetapi trend peningkatan itu
terjadi pada beberapa lembaga amil zakat.
Jika
diamati dari sisi program, terkait dengan upaya lembaga amil zakat untuk
mengatasi kemiskinan sebenarnya sudah sangat kreatif dengan target mustahiq
yang semakin banyak dan merata sebagaimana terlihat pada bagian sebelumnya.
Tetapi menurut penulis program-program bidang ekonomi pada sejumlah lembaga
amil zakat perlu diperbaiki agar tujuan yang diharapkan dapat tercapai. Persolan
kemiskinan bukan semata-mata lemah secara ekonomi, tetapi bersifat multidimensi
ekonomi, sosial, dan cultural. Oleh karenanya pendekatan yang digunakan untuk
mengatasinya akan lebih baik bersifat holistic atau mencakup beberapa dimensi
kemiskinan tadi. Ketika lembaga zakat sudah menetapkan target mustahiq yang
akan dibantu, maka jenis program yang dipersiapkan sebaiknya mencakup semua
dimensi kemiskinan yang ada, bukan hanya satu dimensi saja. Program-program
pada lembaga zakat seperti disebutkan pada bagian sebelumnya, terlihat bersifat
parsial yakni hanya mencakup salah satu dimensi kemiskinan saja. Karena secara
teoritik orang yang miskin secara ekonomi, juga miskin secara sosial, dan
cultural. Sehingga perlu usaha-usaha yang bersifat menyeluruh, jika masih
parsial dimungkinkan kurang berhasil guna. Dari sisi pendapatan mungkin sudah
ada peningkatan setelah diberi bantuan modal usaha dari lembaga zakat, tetapi
boleh jadi secara sosial dan cultural masih sama. Dan ini yang menjadikan
meraka tetapi “miskin” dan tidak mandiri.
Kelemahan
lain yang perlu dibenahi pada lembaga amil zakat di tanah air, pada
kenyataannya sejumlah lembaga tersebut dalam mengelola zakat masih berjalan sendiri-sendiri.
Belum terlihat kerjasama antar lembaga zakat secara horizontal, baik tingkat
nasional maupun lokal. Sehingga ada bagi lembaga zakat yang sudah kuat akan
semakin kuat, sementara lembaga zakat yang masih belum kuat akan menemui banyak
kesulitan. Karena secara disadari atau tidak, makin banyaknya lembaga zakat
akan melahirkan kompetisi untuk merebut sumber-sumber dana zakat dari
masyarakat.
Menurut
penulis, perlu dijalin kerjasama antar lembaga zakat baik lembaga zakat yang
dikelola pemerintah, lembaga zakat yang dikelola oleh masyarakat, dan lembaga
zakat yang dikelola oleh swasta. Jalinan kerjasama ini, secara kelembagaan akan
tercipta saling take and give antar lembaga zakat dan yang paling
penting akan memberi harapan baru adanya akselerasi kemajuan umat Islam di masa
yang akan datang.
E. Penutup
Sebagai
lembaga sosial, zakat diharapkan dapat memainkan peran yang signifikan untuk
mengatasi problematika sosial di masyarakat, khususnya kelemahan dan
keterbelakangan umat Islam. Tetapi pekerjaan ini bukanlah sesuatu yang mudah
untuk diwujudkan, bukan pula sesuatu yang mustahil dapat direalisasikan. Para
pengelola lembaga zakat secara terus- menerus meningkatkan kualitas diri, dalam
menghadapi berbagai macam kendala dan tantangan pengelolaan zakat di masa yang
akan datang.
Lembaga
amil zakat tidak mungkin menanggung beban yang begitu berat untuk dipikul
sendiri. Maka diharapkan kerjasama antar komponen bangsa perlu terus
ditingkatkan, sehingga segala bentuk kemiskinan yang mendera masyarakat
terutama umat Islam dapat teratasi dengan baik yang akan melahirkan umat yang
kuat dan sejahtera.
DAFTAR PUSTAKA
Arif
Pujiono.2010., “Model Pemberdayaan Masyarakat Miskin Binaan LAZ Jawa Tengah
yang Bersumber dari Dana ZIS”.Laporan Penelitian. Semarang:Lemlit UNDIP.
Dillon
HS, Hermanto. “Kemiskinan di Negara Berkembang Masalah Konseptual dan Global”. Jurnal
Prisma No.3, Tahun XII, 1993.
Malik,
Abd. “Konstruksi Sosial Kuasa
Pengetahuan Zakat: Studi Kasus lembaga Amil Zakat di Propinsi Jambi dan
Sumatera Barat”. Disertasi. Bogor: IPB.
Nugroho,
Heru. 2001. Negara, Pasar, dan Keadilan Sosial. Yoyakarta: Pustaka
Pelajar.
Prayitno,
Budi. 2008. Optimalisasi Pengelolaan Zakat Pada Badan Amil Zakat Daerah
(Tinjauan terhadap BAZDA Kab.Muna Prov.Sulteng).Tesis. Semarang: UNDIP.
Sartika,
Mila. “Pengaruh Pendayagunaan Zakat Produktif terhadap Pemberdayaan Mustahiq
pada LAZ Yayasan Solo Peduli Surakarta”. Jurnal La_Riba Vol.II, No.1, Juli
2008.
Zainuddin,
A.Rahman.1994. “Zakat Implikasinya pada Pemerataan” dalam Budhy Munawar-Rachman
(Ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Yayasan
Paramadina.
www.rumahzakat.org/diakses tanggal 26 Juni 2012
www.lazisjateng.org/diakses tanggal 26 Juni 2012
www.pkpu.or.id/diakses tanggal 26 Juni 2012
[1]
Artikel
ini telah dimuat pada Jurnal Dimas Vol.12 No.1 Tahun 2012 LPM IAIN Walisongo
Semarang
[2]
www.rumahzakat.org/diakses tanggal 26 Juni 2012
[3] www.dpu-online.com/diakses
tanggal 26 Juni 2012
[4] www.lazisjateng.org/diakses
tanggal 26 Juni 2012
[5] www.pkpu.or.id/diakses tanggal 26 Juni 2012
[6] Dillon
HS, Hermanto, “Kemiskinan di Negara Berkembang Masalah Konseptual dan Global”,
dalam Jurnal Prisma No.3, Tahun XII, 1993, hlm.19
[8] Prayitno,
Budi. Optimalisasi Pengelolaan Zakat Pada Badan Amil Zakat Daerah (Tinjauan
terhadap BAZDA Kab.Muna Prov.Sulteng).Tesis. (Semarang: UNDIP,
2008), hlm. xv
[9] A.Rahman
Zainuddin “Zakat Implikasinya pada Pemerataan” dalam Budhy Munawar-Rachman
(Ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. (Jakarta: Yayasan
Paramadina, 1994), hlm. 437
[10] Sartika,
Mila, “Pengaruh Pendayagunaan Zakat Produktif terhadap Pemberdayaan Mustahiq
pada LAZ Yayasan Solo Peduli Surakarta”, dalam Jurnal La_Riba Vol.II, No.1,
Juli 2008, hlm.82
0 Comments