KRITIK TERHADAP PROGRAM PENGENTASAN KEMISKINAN MELALUI LEMBAGA AMIL ZAKAT DI INDONESIA

KRITIK TERHADAP PROGRAM PENGENTASAN KEMISKINAN
 MELALUI LEMBAGA AMIL ZAKAT DI INDONESIA[1]
Oleh: Ahmad Faqih, S.Ag, M.Si

ABSTRAKS
Tulisan ini berangkat dari suatu keprihatinan atas tingginya angka kemiskinan di tanah air terdapat trend yang meningkat dari tahun ke tahun. Padahal kita mengetahui, efek domino dari kemiskinan, mengakibatkan berbagai masalah pada sisi yang lain seperti gizi buruk, rendahnya pendidikan, kerawanan sosial. Karenanya problem kemiskinan bukan hanya problem ekonomi semata, juga menyangkut problem sosial budaya, dan sosial politik. Sehingga diperlukan strategi yang integratif dan komprehensif dari berbagai dimensi kemiskinan tersebut untuk menghasilkan efektivitas penanganan kemiskinan di masyarakat.
 Lembaga amil zakat di tanah air, jika dilihat dari program-program bidang ekonomi sebenarnya sudah sangat kreatif dan inovatif. Penyaluran dana zakat tidak terbatas lagi pada bantuan yang bersifat konsumtif, hampir semua lembaga zakat yang diamati mempunyai program yang bersifat produktif. Hal ini dimaksudkan agar terjadi perubahan pada pihak mustahiq menjadi mandiri dan mampu mengatasi problem kehidupannya.
Dari hasil telaah pada sejumlah lembaga zakat, masih ditemukan kelemahan antara lain: program-program penyaluran dana zakat masih bersifat parsial belum menyentuh dimensi yang lebih holistik, implementasi program-program peyaluran zakat masih dikelola sendiri-sendiri oleh lembaga zakat, dengan kata lain belum terwujud kerjasama antar lembaga zakat dalam rangka penyaluran dana zakat ke masyarakat.
. 
Kata Kunci: Kemiskinan, lembaga amil zakat, Indonesia


A. Pendahuluan
Kemiskinan menjadi masalah fenomenal sepanjang sejarah Indonesia, karena pemerintah belum memiliki strategi dan kebijakan pengentasan kemiskinan yang tepat. Kebijakan pembangunan dan berbagai program penanggulangan kemiskinan yang dikembangkan seringkali kurang memperhatikan karakteristik dan konteks lokal masyarakat miskin. Misalnya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak diikuti dengan penyediaan lapangan pekerjaan sehingga tidak mampu mengatasi masalah kemiskinan. Investasi yang ditanamkan oleh investor lokal dan asing tidak bisa diandalkan untuk menyerap tenaga kerja. Karena mereka mengembangkan jenis industri yang minim tenaga manusia dengan penggunaan mesin-mesin canggih, sehingga pertumbuhan investasi yang tinggi tidak berdampak pada penurunan angka kemiskinan.  Kemiskinan telah membuat jutaan anak-anak tidak bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas, kesulitan membiayai kesehatan, kurangnya jaminan sosial dan perlindungan terhadap keluarga, meningkatnya arus urbanisasi di kota-kota besar, dan kemiskinan telah menyebabkan jutaan rakyat memenuhi kebutuhan dasar secara terbatas.
Masalah kemiskinan di Indonesia sampai saat ini merupakan isu strategis dan harus mendapat prioritas utama untuk ditangani. Menurut data BPS, jumlah penduduk miskin di Pulau Jawa yang notabenenya lebih maju dibandingkan di Luar Pulau Jawa mengalami trend menurun, tetapi di provinsi tertentu rata-rata angka kemiskinannya masih cukup tinggi seperti terlihat pada table berikut:
Tabel 1
Persentase Jumlah Penduduk Miskin di Pulau Jawa
Berdasarkan Provinsi Tahun 2005-2009
Provinsi
2005
2006
2007
2008
2009
Rata-Rata
DKI Jakarta
3,61
4,57
4,61
4,29
3,62
4,14
Banten
8,86
9,79
9,07
8,15
7,64
8,70
Jabar
13,06
14,49
13,55
13,01
11,96
13,21
DIY
18,95
19,15
18,99
18,32
17,23
18,53
Jatim
19,95
21,09
19,98
18,51
16,68
19,24
Jateng
20,49
22,19
20,43
19,23
17,72
20,01

Dari tabel di atas, didapat kesimpulan bahwa usaha menurunkan angka kemiskinan membutuhkan waktu yang tidak instan. Apalagi jika beban itu hanya dilimpahkan kepada pemerintah. Dibutuhkan peran  lembaga-lembaga sosial, pihak swasta, dan masyarakat, salah satu bentuknya melalui lembaga zakat menjadi sangat penting untuk berikhtiar secara kolektif menekan angka kemiskinan di masyarakat. Lembaga-lembaga zakat tumbuh pesat di berbagai wilayah, jika dilihat dari pihak yang mengelola zakat, ada tiga macam lembaga zakat yaitu lembaga zakat milik pemerintah, lembaga zakat yang dikelola swasta dan lembaga zakat yang dikelola komunitas. Lembaga zakat milik pemerintah dengan sebutan Badan Amil Zakat Daerah (BAZDA) tingkat provinsi maupun daerah merupakan implementasi dari amanat UU No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Sedangkan lembaga zakat yang dikelola oleh swasta tumbuh pesat sekitar awal abad ke 21 seperti Rumah Zakat Indonesia, dan  Dompet Dhuafa. Lembaga zakat yang dikelola oleh komunitas, telah eksis jauh sebelum abad 21 meskipun dalam bentuk lembaga tradisonal dengan jangkauan yang relatif terbatas. Berbeda dengan kelahiran lembaga-lembaga zakat komunitas pada era sekarang jauh lebih baik dari sisi manajemen pengelolaannya. Misalnya Dompet Peduli Umat Darut Tauhid (DPU-DT), PKPU, dan LAZIS Jateng.
Persoalan yang dapat dimunculkan khususnya bagi pengelola zakat di tanah air, wajar ketika dipertanyakan bahwa peran sosial lembaga zakat belum memiliki kontribusi signifikan untuk menurunkan angka kemiskinan di Indonesia. Makalah ini berusaha menelusuri letak kelemahan-kelemahan dalam pengelolaan dana zakat terutama untuk program pengentasan kemiskinan melalui pemberdayaan masyarakat.
B.  PROGRAM – PROGRAM BIDANG EKONOMI LEMBAGA AMIL ZAKAT
Jika dilihat dari sisi program, sejumlah lembaga zakat di Indonesia mempunyai jenis program yang bervariasi baik yang bersifat rutin maupun incidental, dan bersifat konsumtif maupun produktif. Sebagai gambaran program-program lembaga amil zakat tersebut akan diambil dari lembaga-lembaga amil zakat antara lain:
1.   Rumah Zakat Indonesia (RZI)
Lembaga amil zakat yang berdiri sejak tahun 1998 ini mempunyai program dalam bidang ekonomi yang dikemas dalam program “Senyum Mandiri (ekonomi)”. Program ini selanjutnya diwujudkan dalam berbagai sub program sesuai dengan pemetaan yang dilakukan: Pertama Balai Bina Mandiri, program pemberdayaan masyarakat dengan melakukan set up infrastruktur dan  sarana penunjang aktivitas pemberdayaan komunitas dan lingkungan di wilayah ICD binaan Rumah Zakat dan mitra. Aktivitas di Balai Bina Mandiri berdasarkan pemetaan potensi sumber daya di masing-masing wilayah dan didampingi SDM Member Relationship Officer (MRO). Kedua Kelompok Usaha Kecil Mandiri (KUKMI), program pemberdayaan dan pendampingan ekonomi berbasis usaha mikro member program, dalam bentuk pengadaan modal dan/atau infrastruktur serta sarana penunjang aktivitas usaha yang telah dimilikinya. Bantuan sarana usaha dan modal yang diberikan, berdasarkan hasil pemetaan kebutuhan usaha para anggota KUKMI. Adapun jumlah anggota KUKMI sebanyak 10-20 orang tergantung jenis usahanya. Ketiga Sarana Usaha Mandiri, program pemberdayaan ekonomi, dalam bentuk pengadaan infrastruktur & sarana penunjang aktivitas masyarakat dalam kegiatan usahanya. Bantuan sarana usaha yang diberikan, berdasarkan hasil penilaian kelayakan usaha masing-masing calon member pemberdayaan. Keempat Pemberdayaan Ekonomi Berbasis Agro, merupakan program pemberdayaan ekonomi masyarakat di bidang ternak, dengan skema penggemukan domba dan/atau  sapi. Kelima Pelatihan Skill Produktif, program peningkatan kapasitas skill produktif pemuda sebagai modal menjadi pengusaha. Penekanan program ini pada pengembangan potensi lokal masing-masing daerah.[2]
  1. Dompet Peduli Umat Dararut Tauhid (DPU-DT)
Program bidang ekonomi pada DPU-DT dikemas dalam program “Pusat Kemandirian Umat” yang terdiri dari 3 sub program yaitu : Pertama, Myskat (Microfinance Syariah Berbasis Masyarakat) merupakan program pemberdayaan ekonomi produktif yang dikelola secara sistematis, intensif, dan berkesinambungan. Di sini para penerima manfaat program (mustahik) diberi dana bergulir, keterampilan dan wawasan berusaha, pendidikan menabung, penggalian potensi, pembinaan akhlak dan karakter, sehingga mereka menjadi berdaya dan didorong untuk lebih mandiri. Kedua, DTM (Desa Ternak Mandiri) goram penggemukkan hewan ternak yang sasarannya adalah memberdayakan peternak kecil di pedesaan. Program dilaksanakan dalam bentuk pengelolaan hewan ternak yang berkualitas sampai pada proses pemasaran melalui program pendampingan yang intensif dan berkesinambungan. Hasil akhirnya adalah terlaksananya keberlangsungan dan kemandirian penerima manfaat program (mustahik).
Ketiga, Peka (Pelatihan Kemandirian) program pemberdayan kaum dhuafa melalui pemberian pendidikan, pelatihan keterampilan, dan pembinaan, yang sistematis dan berkesinambungan, sehingga mereka memiliki bekal untuk berkarya dan mandiri.[3]
  1. Lazis Jateng
Program Lazis Jateng dalam bidang ekonomi dikemas dalam program Economic Support yang dibagi dalam tiga sub program. Pertama, Training kewirausahaan Kedua, Pembiayaan modal Ketiga, Pemberdayaan ternak jinawi.[4]
4.      PKPU
Program PKPU dalam bidang ekonomi diwujudkan dalam program PROSPEK (Program Sinergi Pemberdayaan Komunitas): Program pemberdayaan ekonomi usaha kecil melalui kelompok dengan sasaran; kelompok tani, kelompok gurem, kelompok peternak, kelompok pengrajin, kelompok pedagang kecil, kelompok tukang ojek dan kelompok nelayan.[5]

Secara ringkas berbagai macam program lembaga-lembaga zakat tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2: Program Penyaluran Dana Zakat Bidang Ekonomi
No.
Nama lembaga
Nama  Program
1.
Rumah Zakat Indonesia
BIG Smile Indonesia:
-Senyum juara (pendidikan)
-Senyum sehat (kesehatan)
-Senyum mandiri (ekonomi)
-Senyum lestari (lingkungan)
2.
DPU-DT
Pusat Kemandirian Umat:
-Myskat
-Desa ternak mandiri
-Peka
3.
Lazis Jateng
Economic Support:
-Training kewirausahaan
-Pembiayaan modal
-Pemberdayaan ternak jinawi
4.
PKPU
PROSPEK (Program Sinergi Pemberdayaan Komunitas): Program pemberdayaan ekonomi usaha kecil melalui kelompok dengan sasaran; kelompok tani, kelompok gurem, kelompok peternak, kelompok pengrajin, kelompok pedagang kecil, kelompok tukang ojek dan kelompok nelayan.


Berdasarkan tabel di atas, ada persamaan perhatian pada program-program pemberdayaan masyarakat untuk mengurangi angka kemiskinan. Idealnya, zakat akan berfungsi sebagai salah satu sumber dana sosial-ekonomi bagi umat Islam, jika pendayagunaan zakat yang dikelola oleh badan amil zakat tidak hanya terbatas pada kegiatan-kegiatan tertentu yang berdasarkan orientasi konsumtif. Zakat dapat dioptimalkan untuk program-program pengentasan kemiskinan dan pengangguran dengan memberikan zakat produktif kepada mereka yang memerlukan sebagai modal usaha.
C.  KERANGKA TEORITIK
1.      Kemiskinan
Secara garis besar ada dua cara orang memandang kemiskinan. Sebagian orang berpendapat bahwa kemiskinan adalah suatu proses, sedangkan sebagian lagi memandang kemiskinan sebagai suatu akibat atau fenomena masyarakat.[6]
Sebagai suatu proses, kemiskinan mencerminkan kegagalan suatu sistem masyarakat dalam mengalokasikan sumber daya dan dana secara adil kepada anggota masyarakatnya. Dengan demikian kemiskinan dapat dipandang pula sebagai salah satu akibat dari kegagalan kelembagaan pasar (bebas) dalam mengalokasikan sumber daya yang terbatas secara adil kepada seluruh anggota masyarakat. Faham ini mengemukakan konsep tentang kemiskinan relatif atau yang sering pula dikenal sebagai kemiskinan struktural. Yaitu situasi miskin yang disebabkan oleh rendahnya akses terhadap sumberdaya yang terjadi dalam suatu system sosial budaya dan sosial politik  yang tidak mendukung pembebasan kemiskinan tetapi seringkali menyebabkan suburnya kemiskinan.
Pandangan tentang kemiskinan sebagai suatu fenomena atau gejala dari suatu masyarakat melahirkan konsep kemiskinan absolute. Sejalan dengan konsep ini, maka Bank Dunia mendefinisikan sebagai ketidakmampuan seorang individu untuk memenuhi kebutuhan dasarnya (fundamental need), seperti: pangan, sandang, papan, dan kesehatan. Pada saat ini, konsep penghitungan kemiskinan yang digunakan tidak hanya menghitung kemiskinan absolute saja melainkan juga memperhitungkan kemiskinan relatif. Indeks kemiskinan yang dikembangkan dewasa ini merupakan indeks gabungan yang memperhatikan komponen-komponen berikut: (1) proporsi penduduk miskin, (2) kesenjangan pendapatan dalam populasi dan (3) indeks ketidakmerataan distribusi pendapatan.
Walaupun secara sepintas ada perbedaan faham tentang definisi kemiskinan, tetapi jika dilihat dari segi kausalitasnya, maka kesimpulan bahwa kedua konsep kemiskinan tersebut tidak dapat dipisahkan. Jika dalam suatu masyarakat terjadi ketidakadilan dalam pembagian kekayaan, maka sebagian anggota masyarakat yang posisinya akan lemah menerima bagian kekayaan terkecil. Karena itu golongan yang lemah ini akan menjadi miskin. Sebaliknya jika sebagian anggota masyarakat itu miskin, maka golongan ini akan mempunyai posisi yang lemah dalam penentuan pembagian kekayaan di dalam masyarakat tersebut.
Tetapi kemiskinan bukan saja berurusan dengan persoalan ekonomi tetapi bersifat multi dimensional, karena dalam kenyataannya juga berurusan dengan persoalan-persoalan non-ekonomi seperti sosial, budaya, dan politik.[7] (Heru Nugroho, 2001: 190). Karena sifat multi dimensional tersebut, kemiskinan tidak hanya berurusan dengan kesejahteraan materi tetapi juga berurusan dengan kesejahteraan sosial. Untuk mengejar seberapa jauh seseorang memerlukan kesejahteraan materi dapat diukur secara kuantitatif dan obyektif seperti dalam mengukur kemiskinan absolute yaitu ditunjukkan dengan angka rupiah. Namun untuk memahami berapa besar kesejahteraan sosial yang harus dipenuhi seseorang ukurannya menjadi sangat relatif dan kualitatif.
Heru Nugroho (2001) selanjutnya menyebutkan dimensi-dimensi kemiskinan yang perlu mendapatkan perhatian yaitu:
1.      Kemiskinan berdimensi ekonomi atau material
Dimensi ini menjelma dalam berbagai kebutuhan dasar manusia yang sifatnya material; pangan, sandang, perumahan, kesehatan dan lain-lain. Dimensi ini dapat diukur dalam rupiah meskipun harganya akan selalu berubah-ubah setiap tahunnya tergantung pada tingkat inflasi rupiah itu sendiri.
2.      Kemiskinan berdimensi sosial budaya
Ukuran kuantitatif kurang dapat dipergunakan untuk memahami dimensi ini sehingga ukurannya sangat bersifat kualitatif. Lapisan yang secara ekonomis miskin akan membentuk kantong-kantong kebudayaan yang disebut budaya kemiskinan demi kelangsungan hidup mereka. Budaya kemiskinan ini dapat ditunjukkan dengan terlembaganya nilai-nilai seperti apatis, apolitis, fatalistic, ketidakberdayaan dan lain-lain. Untuk itu serangan terhadap kemiskinan sama artinya pula dengan pengikisan budaya ini. Apabila budaya ini tidak dihilangkan maka kemiskinan ekonomi juga sulit ditanggulangi.
3.      Kemiskinan berdimensi structural atau politik
Orang yang mengalami kemiskinan ekonomi pada hakekatnya karena mengalami kemiskinan structural atau politis. Kemiskinan ini terjadi karena orang miskin tersebut tidak memiliki sarana untuk terlibat dalam proses politik, tidak memiliki kekuatan politik, sehingga menduduki struktur sosial politik yang paling bawah.

Dimensi-dimensi kemiskinan ini pada hakikatnya merupakan gambaran bahwa kemiskinan bukan hanya dalam pengertian ekonomi saja. Untuk itu program pengentasan kemiskinan seyogyanya tidak hanya memprioritaskan ekonomi tetapi memperhatikan juga dimensi yang lain seperti sosial budaya dan politik. Dengan kata lain, pemenuhan kebutuhan pokok memang perlu mendapat prioritas, namun bersamaan dengan itu seyogyanya juga mengejar target mengatasi kemiskinan non-ekonomi.
Karena problema kemiskinan bersifat dimensional, maka strategi penanggulangannya harus bersifat multidimensional pula. Upaya penanggulangan kemiskinan yang bersifat ekonomi semata, sehingga apabila kebutuhan ekonomi sudah tercapai seolah-olah proyek penanggulangan kemiskinan juga ikut selesai. Ini berarti menenggelamkan persoalan-persoalan kemiskinan yang tidak berdimensi ekonomi seperti kemiskinan sosial, budaya dan politik.
a)      Salah satu strategi penanggulangan kemiskinan yang bersifat integral dan komprehensif adalah strategi pemberdayaan masyarakat. Strategi ini merupakan prasyarat mutlak bagi upaya penanggulangan kemiskinan, bertujuan menekan perasaan ketidakberdayaan masyarakat miskin bila berhadapan dengan struktur sosial dan politis. Ada beberapa langkah strategis yang perlu diperhitungkan: Meningkatkan kesadaran masyarakat miskin atas posisinya dalam struktur sosial-politik di mana mereka bertempat tinggal. Tanpa kesadaran kritis dari orang miskin itu sendiri, mereka tetap bersifat tidak berdaya dan cenderung akan menyerah pada nasibnya.
b)      Memutus hubungan yang bersifat eksploitatif terhadap lapisan orang miskin,  untuk memberi kesempatan kepada mereka melakukan reorganisasi dalam rangka meningkatkan produktivitas kerja dan kualitas hidupnya.
c)      Menanamkan perasaan egalitarian dan merubah mindset orang-orang miskin bahwa mereka mempunyai kesempatan untuk merubah nasibnya dengan berlandaskan pada kekuatan mereka sendiri.
d)     Melibatkan masyarakat secara penuh dalam program-program penanggulangan kemiskinan. Artinya masyarakat ditempatkan sebagai subyek dalam berbagai macam program, sehingga mereka mengalami proses belajar untuk mampu mengatasi persoalan yang mereka hadapi.
e)      Perlunya pembangunan sosial dan budaya masyarakat miskin. Perubahan ini dapat dilakukan dengan cara mensosialisasikan nilai-nilai positif kepada lapisan masyarakat miskin seperti perencanaan hidup, optimism, perubahan kebiasaan hidup, peningkatan produktivitas kerja dan kualitasnya.
f)       Diperlukan redistribusi infrastruktur yang lebih merata. Hal ini akan memberikan kesempatan bagi masyarakat miskin memiliki akses ekonomi dan bidang-bidang lainnya.
2.      Hubungan Zakat dengan Pengentasan Kemiskinan
Secara substantif zakat, infaq, dan shadaqah (ZIS) adalah bagian dari mekanisme keagamaan yang berintikan semangat pemerataan pendapatan. Dana zakat diambil dari orang berkelebihan dan disalurkan kepada orang yang kekurangan. Zakat tidak dimaksudkan untuk memiskinkan orang kaya, juga tidak untuk melecehkan jerih payah orang kaya. Hal ini disebabkab karena zakat diambil dari sebagian kecil hartanya dengan beberapa criteria tertentu yang wajib dizakati. Oleh karena itu alokasi dana zakat tidak bisa diberikan secara sembarangan dan hanya disalurkan kepada kelompok masyarakat tertentu yang kekurangan. (Budi Priyatno, 2008:xv).[8]
Seperti halnya zakat, infaq dan shadaqah merupakan media pemerataan pendapatan bagi umat Islam yang sangat dianjurkan. Dengan kata lain infaq dan shadaqah merupakan media untuk memperbaiki taraf kehidupan para mustahiq. Dengan demikian ZIS bisa diupayakan secara maksimal untuk memberdayakan ekonomi masyarakat.
Relevansi zakat di masa sekarang menjadi semakin penting, terlepas dari pajak yang telah ada, karena tempat penyalurannya berbeda. Zakat merupakan faktor utama pemerataan harta di kalangan umat Islam, dan juga merupakan sarana untuh menyebarluaskan semangat solidaritas dan ukhuwah islamiyah.[9] (A.Rahman Zainuddin, 1994: 437).
Pengembangan pemaknaan zakat perlu dilakukan, karena pemaknaan zakat oleh seseorang atau lembaga dapat mempengaruhi orientasi dan model pengelolaan dana zakat dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Secara teologis, zakat akan mendorong seseorang untuk mengeluarkan sebagian hartanya atas dasar keimanan dan ketaqwaannya kepada Allah Swt. Sedangkan secara sosio ekonomi, zakat diharapkan dapat membantu dan memperbaiki taraf hidup mustahiq serta mempererat hubungan muzakki dan mustahiq. Disamping itu, apabila zakat dimaknai secara politis strategis, maka zakat diharapkan mampu memberikan implikasi yang besar pada penguatan daya tahan bangsa dalam melangsungkan kehidupannya.
Dalam perspektif nasional, lembaga-lembaga zakat diharapkan tidak hanya memikirkan kebutuhannya sendiri, melainkan lebih berorientasi untuk memberi kepedulian terhadap masyarakat guna mengatasi kemiskinan dan kemelaratan. Dengan demikian, kehadiran lembaga zakat disamping bersifat keagamaan, juga ditempatkan dalam konteks cita-cita bangsa, yaitu membangun masyarakat sejahtera, adil, dan makmur.
Pendayagunaan zakat harus berdampak positif bagi mustahiq, baik secara ekonomi maupun sosial. Dari sisi ekonomi, mustahiq dituntur benar-benar dapat mandiri dan hidup secara layak , sedangkan dari sisi sosial mustahiq dituntut dapat hidup sejajar dengan masyarakat yang lain. Hal ini berarti, zakat tidak hanya didistribusikan untuk hal-hal yang bersifat konsumtif saja dan bersifat charity tetapi lebih untuk kepentingan yang produktif dan bersifat edukatif.[10] (Mila Sartika, 2008: 82).
Kelemahan utama orang miskin serta usaha kecil yang dikerjakannya sesungguhnya tidak semata-mata pada kurangnya permodalan, tetapi lebih pada sikap mentak dan kesiapaan manajemen usaha. Untuk itu zakat usaha produktif, pada tahap awal harus mampu mendidik mustahiq sehingga mereka benar-benar siap untuk berubah seiring dengan bantuan ekonomi yang diberikan. Karena tidak mungkin kemiskinan itu dapat berubah kecuali dimulai dari perubahan si miskin itu sendiri. Inilah yang disebut peran pemberdayaan. Zakat yang dapat dihimpun dalam jangka panjang harus dapat memberdayakan mustahiq menuju kemandirian hidupnya baik secara ekonomi, budaya dan politiknya.

D.    Kritik terhadap Program Pengentasan Kemiskinan Melalui Lembaga Amil Zakat
Secara kelembagaan lembaga amil zakat di Indonesia mengalami kemajuan yang menggembirakan. Kemajuan ini dapat dilihat dari manajemen yang diterapkan, mulai aspek pengumpulan dana zakat, aspek penyaluran dana zakat kepada mustahiq, dan aspek akuntabilitas keuangannya. Semua aspek ini, pada beberapa lembaga amil zakat dikelola dengan menggunakan manajemen modern, dengan dukungan sumberdaya manusia (amil) yang kompeten di bidangnya. Selain itu didukung pula dengan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Lembaga amil zakat yang masuk dalam kategori ini misalnya: Rumah Zakat Indonesia (RZI), Dompet Dhuafa, DPU-DT, PKPU, BAZDA tingkat nasional, beberapa BAZDA tingkat provinsi, dan beberapa BAZDA tingkat kabupaten/kota.
Dampak positif dari makin menguatnya kelembagaan zakat, dapat meningkatkan citra lembaga amil zakat di masyarakat. Sehingga masyarakat memiliki kepercayaan yang makin baik, untuk mengeluarkan zakatnya melalui lembaga tersebut. Kondisi ini terlihat pada peningkatan dana zakat dari masyarakat yang semakin besar, meskipun masih jauh dari yang diharapkan tetapi trend peningkatan itu terjadi pada beberapa lembaga amil zakat.
Jika diamati dari sisi program, terkait dengan upaya lembaga amil zakat untuk mengatasi kemiskinan sebenarnya sudah sangat kreatif dengan target mustahiq yang semakin banyak dan merata sebagaimana terlihat pada bagian sebelumnya. Tetapi menurut penulis program-program bidang ekonomi pada sejumlah lembaga amil zakat perlu diperbaiki agar tujuan yang diharapkan dapat tercapai. Persolan kemiskinan bukan semata-mata lemah secara ekonomi, tetapi bersifat multidimensi ekonomi, sosial, dan cultural. Oleh karenanya pendekatan yang digunakan untuk mengatasinya akan lebih baik bersifat holistic atau mencakup beberapa dimensi kemiskinan tadi. Ketika lembaga zakat sudah menetapkan target mustahiq yang akan dibantu, maka jenis program yang dipersiapkan sebaiknya mencakup semua dimensi kemiskinan yang ada, bukan hanya satu dimensi saja. Program-program pada lembaga zakat seperti disebutkan pada bagian sebelumnya, terlihat bersifat parsial yakni hanya mencakup salah satu dimensi kemiskinan saja. Karena secara teoritik orang yang miskin secara ekonomi, juga miskin secara sosial, dan cultural. Sehingga perlu usaha-usaha yang bersifat menyeluruh, jika masih parsial dimungkinkan kurang berhasil guna. Dari sisi pendapatan mungkin sudah ada peningkatan setelah diberi bantuan modal usaha dari lembaga zakat, tetapi boleh jadi secara sosial dan cultural masih sama. Dan ini yang menjadikan meraka tetapi “miskin” dan tidak mandiri.
Kelemahan lain yang perlu dibenahi pada lembaga amil zakat di tanah air, pada kenyataannya sejumlah lembaga tersebut dalam mengelola zakat masih berjalan sendiri-sendiri. Belum terlihat kerjasama antar lembaga zakat secara horizontal, baik tingkat nasional maupun lokal. Sehingga ada bagi lembaga zakat yang sudah kuat akan semakin kuat, sementara lembaga zakat yang masih belum kuat akan menemui banyak kesulitan. Karena secara disadari atau tidak, makin banyaknya lembaga zakat akan melahirkan kompetisi untuk merebut sumber-sumber dana zakat dari masyarakat.
Menurut penulis, perlu dijalin kerjasama antar lembaga zakat baik lembaga zakat yang dikelola pemerintah, lembaga zakat yang dikelola oleh masyarakat, dan lembaga zakat yang dikelola oleh swasta. Jalinan kerjasama ini, secara kelembagaan akan tercipta saling take and give antar lembaga zakat dan yang paling penting akan memberi harapan baru adanya akselerasi kemajuan umat Islam di masa yang akan datang.
E.   Penutup
Sebagai lembaga sosial, zakat diharapkan dapat memainkan peran yang signifikan untuk mengatasi problematika sosial di masyarakat, khususnya kelemahan dan keterbelakangan umat Islam. Tetapi pekerjaan ini bukanlah sesuatu yang mudah untuk diwujudkan, bukan pula sesuatu yang mustahil dapat direalisasikan. Para pengelola lembaga zakat secara terus- menerus meningkatkan kualitas diri, dalam menghadapi berbagai macam kendala dan tantangan pengelolaan zakat di masa yang akan datang.
Lembaga amil zakat tidak mungkin menanggung beban yang begitu berat untuk dipikul sendiri. Maka diharapkan kerjasama antar komponen bangsa perlu terus ditingkatkan, sehingga segala bentuk kemiskinan yang mendera masyarakat terutama umat Islam dapat teratasi dengan baik yang akan melahirkan umat yang kuat dan sejahtera.

DAFTAR PUSTAKA

Arif Pujiono.2010., “Model Pemberdayaan Masyarakat Miskin Binaan LAZ Jawa Tengah yang Bersumber dari Dana ZIS”.Laporan Penelitian. Semarang:Lemlit UNDIP.
Dillon HS, Hermanto. “Kemiskinan di Negara Berkembang Masalah Konseptual dan Global”. Jurnal Prisma No.3, Tahun XII, 1993.
Malik, Abd.  “Konstruksi Sosial Kuasa Pengetahuan Zakat: Studi Kasus lembaga Amil Zakat di Propinsi Jambi dan Sumatera Barat”. Disertasi. Bogor: IPB.
Nugroho, Heru. 2001. Negara, Pasar, dan Keadilan Sosial. Yoyakarta: Pustaka Pelajar.
Prayitno, Budi. 2008. Optimalisasi Pengelolaan Zakat Pada Badan Amil Zakat Daerah (Tinjauan terhadap BAZDA Kab.Muna Prov.Sulteng).Tesis. Semarang: UNDIP.
Sartika, Mila. “Pengaruh Pendayagunaan Zakat Produktif terhadap Pemberdayaan Mustahiq pada LAZ Yayasan Solo Peduli Surakarta”. Jurnal La_Riba Vol.II, No.1, Juli 2008.
Zainuddin, A.Rahman.1994. “Zakat Implikasinya pada Pemerataan” dalam Budhy Munawar-Rachman (Ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Yayasan Paramadina.
www.rumahzakat.org/diakses tanggal 26 Juni 2012
www.dpu-online.com/diakses tanggal 26 Juni 2012
www.lazisjateng.org/diakses tanggal 26 Juni 2012
www.pkpu.or.id/diakses  tanggal 26 Juni 2012









[1] Artikel ini telah dimuat pada Jurnal Dimas Vol.12 No.1 Tahun 2012 LPM IAIN Walisongo Semarang
[2] www.rumahzakat.org/diakses tanggal 26 Juni 2012
[3] www.dpu-online.com/diakses tanggal 26 Juni 2012
[4] www.lazisjateng.org/diakses tanggal 26 Juni 2012
[5] www.pkpu.or.id/diakses  tanggal 26 Juni 2012
[6] Dillon HS, Hermanto, “Kemiskinan di Negara Berkembang Masalah Konseptual dan Global”, dalam Jurnal Prisma No.3, Tahun XII, 1993, hlm.19


[7] Nugroho, Heru, Negara, Pasar, dan Keadilan Sosial, (Yoyakarta: Pustaka Pelajar,2001), hlm. 190

[8] Prayitno, Budi. Optimalisasi Pengelolaan Zakat Pada Badan Amil Zakat Daerah (Tinjauan terhadap BAZDA Kab.Muna Prov.Sulteng).Tesis. (Semarang: UNDIP, 2008), hlm. xv
[9] A.Rahman Zainuddin “Zakat Implikasinya pada Pemerataan” dalam Budhy Munawar-Rachman (Ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. (Jakarta: Yayasan Paramadina, 1994), hlm. 437

[10] Sartika, Mila, “Pengaruh Pendayagunaan Zakat Produktif terhadap Pemberdayaan Mustahiq pada LAZ Yayasan Solo Peduli Surakarta”, dalam Jurnal La_Riba Vol.II, No.1, Juli 2008, hlm.82

Post a Comment

0 Comments