A. PENDAHULUAN
Secara substantive-perennial agama merupakan system nilai (value
system) yang bersumber dari dzat yang transhistoris, transtruktural,
transcendental, realitas tertinggi, kebenaran mutlak dalam kesejatian abadi.
Manusia sebagai penerima agama merupakan makhluk temporal- cultural, tidak tak
terbatas dan terikat oleh ruang dan waktu. Oleh karenanya agama lebih merupakan
tatanan kemanusiaan yang bersifat normative, dan oleh karenanya dalam
tataran aplikatif sangat tergantung pada bagaimana cara memahami dan
menginterpretasikannya. Dalam perspektif ini, maka system nilai agama yang sacred-transcultural
dan yang profane historical, antropogis-kodisional tidak dapat
terpisahkan.
Pemahaman demi pengetahuan maupun reinterpretasi terhadap
pesan-pesan Tuhan harus terus berlangsung secara dinamis, seiring dengan
dinamika kehidupan manusia itu sendiri. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya
transformasi dan internalisasi nilai-nilai transendental (transcendental
values) agama dalam kesejarahan manusia, sehingga manusia menuju tatanan
kehidupan yang rahmatan lil ‘alamin.
Jika proses pemahaman terhadap suatu ajaran agama berhenti pada
satu bentuk yang absolute, maka berhenti pula sejarah manusia sebagai
makhluk berbudaya yang selalu merindukan spiritualitas atau agama. Dan pada akhirnya
terjadi apa yang disebut Arkoun (1990: 172-173) sebagai lapisan geologi
pemahaman agama (Islam) atau taqdis al-afkar al diniy (sakralisasi
terhadap pemkiran keagamaan) dan bahkan kecenderungan pemahaman tentang agama
itu dianggap oleh sebagian umat Islam sebagai agama yang wajib diikuti.
Sehingga religiusitas yang sesungguhnya bersifat on going process serta on
going formation mengalami stagnasi dan akhirnya terjadi marginalisasi dan
alienasi agama dalam realitas empiric. Proses ini pula yang oleh Fazlu Rahman
(1984:105) disebut sebagai proses ortodoksi sehingga tanpa disadari terjadi
proses pencampuradukan antara dimensi historis kekhalifahan yang bersifat historis-empiris-dinamis
dengan normatifitas Islam yang shalihun likulli zaman wa makan.
Diskursus keagamaan dalam perkembangan dewasa ini terasa sangat
mewarnai perkembangan dunia ilmu pengetahuan. Fenomena itu terlihat semakin
maraknya diskusi-diskusi maupun kelompok-kelompok yang mengkaji keagamaan yang
diselenggarakan oleh kaum intelektual terutama di Indonesia. Kecenderungan ini
runtuh karena adanya anggapan bahwa studi tentang agama merupakan suatu yang
tidak ilmiah (Mudhofi, 2004: 315-316). Agama hanya dipandang sebagai
seperangkat doktrin yang bersifat normative, sehingga tidak perlu dikaji
secara ilmiah dan rasional. Namun sesuai dengan perkembangan jaman muncul pula
anggapan bahwa agama dipandang disamping berisi sebagai doktrin-doktrin yang
bersifat normative juga berisi ajaran atau nilai-nilai yang dapat dikaji
dan didekati secara ilmiah.
Kecenderungan di atas mengubah paradigm kajian keagamaan
yang bersifat dogmatis-apologis dan normative menjadi sebuah kajian yang
rasional-empirik dan obyektif. Berbagai pendekatan dan tema-tema kajiannya pun
semakin berkembang, bahkan bukan hanya bertumpu pada satu disiplin ilmu tetapi
telah memasuki bentuk kajian dan pendekatan yang bersifat lintas disiplin atau
pendekatan yang bersifat interdisipliner dalam perspektif ilmu-ilmu sosial.
Menurut Noeng Muhadjir (1994: 182) studi Islam dibedakan menjadi
dua yaitu studi Islam teologik dan studi Islam interdisipliner. Studi Islam
teologik merupakan studi Islam yang biasa kita kenal di pondok pesantren
tradisional, madrasah maupun pendidikan tinggi islam tradisional. Kesemuanya
itu menghasilkan ahli pengetahuan agama Islam. Studi interdisipliner
menghasilkan ahli hukum, ahli ekonomi, ahli fisika, ahli teknik yang memiliki
wawasan dasar Islam; termasuk juga mampu menampilkan konsep-konsep yang
berwawasan Islami. Studi interdisipliner dapat menyatu dengan studi Islam
teologik menjadi studi Islam transdisipliner.Kajian Islam dengan menggunakan
pendekatan interdisipliner ini merupakan solusi untuk menjawab berbagai
tantangan dunia Islam pada saat ini. Dengan demikian muncul pertanyaan, apa
yang melatarbelakangi munculnya pendekatan interdisipliner serta bagaimanakah
cara agar pendekatan tersebut memperoleh hasil yang komprehensif dalam mengkaji
fenomena sosial keagamaan yang berkembang secara dinamis?
B.
SEJARAH MUNCULNYA PENDEKATAN INTERDISIPLINER
Pendekatan interdisipliner adalah kajian dengan menggunakan
sejumlah pendekatan atau sudut pandang (perspektif). Pendekatan ini muncul
sebagai bentuk dari tuntutan modernitas dan globalisasi dalam mengkaji Islam
yang saintifik dan secara serius melibatkan berbagai pendekatan. Pendekatan
monodisiplin tidak lagi memadai untuk menjawab tantangan jaman yang dihadapi
umat Islam di berbagai tempat. Pendekatan monodisiplin menekankan pada pengajaran
Islam sebagai sebuah doktrin. Kajian Islam normative tersebut merupakan bagian
panjang dari tradisi keilmuan Islam klasik. Kerangka studi demikian digunakan
di berbagai belahan dunia Islam, khususnya di Mesir, Arab Saudi, Pakistan,
Afganistan dan menjadi model kajian dominan di masyarakat muslim di seluruh
dunia. Kajian Islam secara normatif dalam pemikiran Islam terwujud dalam ilmu
fiqh, ushul fiqh, hadits, ilmu hadits, tafsir, ilmu tafsir dan lain-lain.
Wacana Islam secara normative, hingga saat itu menjadi bagian penting dalam
kerangka keilmuan yang digunakan di Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI)
terlebih di daerah-daerah).
Paradigma yang bekerja dalam kajian normative sebagaimana
diungkapkan oleh Muhammad Abed al-Jabiri adalah paradigm bayani. Paradigma
bayani adalah studi dan pemikiran yang berbasis pada teks (an-nash) dan
mengutamakan proses berfikir deduktif-analogis-qiyas. Tumpuan utama paradigm
ini adalah memahami teks melalui kaidah bahasa, yang kemudian menghadirkan
kajian ushul fiqh klasik, sebagaimana diletakkan dasar-dasarnya oleh Imam
Syafi’i. Meskipun tetap diperlukan, paradigm bayani yang normative memiliki
kelemahan: Pertama, paradigm bayani kurang memiliki pijakan realitas
historis, sosiologis dan antropologis sehingga menimbulkan kesenjangan antara
teori dan praktik. Kedua, paradigm bayani kurang mampu mengapresiasi
perkembangan keilmuan yang berlangsung dengan cepat. Perkembangan ilmu-ilmu
sosia dan humaniora, belum lagi sains dan teknologi, akan sulit direspons oleh
paradigm tersebut. Akibatnya kajian Islam akan stagnan karena tidak mau
beranjak dari posisi yang mapan berabad-abad yang lampau (Abdullah, 2009:
vi-vii).
Studi Islam tidak lagi terbatas kepada penggunaan paradigm bayani,
melainkan dengan paradigm-paradigma yang lain. Kajian Islam dengan mengunakan
pendekatan yang lain yaitu interdisipliner atar bidang ilmu dan disiplin adalah
jawaban bagi tantangan dunia Islam saat ini. Menurut M.Amin Abdullah (2009,
viii), umat Islam dan tradisinya sulit berkembang dan mengembangkan diri apabila
hanya berkutat pada kajian-kajian Islam klasik dan pada gilirannya akan
mengalami kesulitan ketika harus berhubungan, bersentuhan, dan berkomunikasi
dengan tradisi keilmuan sosial, humaniora, dan eksakta yang berkembang pesat di
berbagai tempat, lebih-lebih di bagian bumi bagian barat, Cina, Jepang, dan
berbagai tempat yang lain.
Tuntutan kajian Islam secara holistic sebenarnya disadari oleh para
cendekiawan Islam era paruh kedua abad ke -20. Para cendekiawan muslim tersebut
umumnya terdidik dalam dua tradisi keilmuan. Yaitu tradisi keilmuan Islam
klasik dan sekaligus menimba ilmu dari tradisi intelektual dan keilmuan barat.
Mereka mencoba melakukan sintesis antara kajian Islam klasik dengan
pendekatan-pendekatan baru yang berkembang dalam studi agama dan sosial
humaniora di barat. Para cendekiawan itu muncul dari berbagai penduduk muslim
di berbagai dunia. Fazlur Rahman cendekiawan muslim dari Pakistan misalnya,
memperkenalkan upaya pembaruan metodologi studi Islam, khususnya hukum Islam,
dengan perangkat hermenuetika. Teori double movement (gerakan ganda)
adalah salah satu kontribusinya. Begitu juga dengan al-hadd al a’la dan al-had
al-adna yang dikenalkan oleh Syahrur adalah sebagian dari contoh yang dilakukan
oleh cendekiawan muslim kontemporer dalam upaya pembaharuan pemikiran Islam (Abdullah,
2009: viii).
Kemudian secara berturut-turut para tokoh cendekiawan muslim dari
berbagai Negara lahir dan mewarnai pentas keilmuan kontemporer, seperti: Ali
Syari’ati, Abdullah Ahmad an-Naim, dan gurunya Mahmud Muhammad Thaha, Hasan
Hanafi, Muhammad Arkoun dan lainnya. Mereka adalah para akademisi yang berjuang
untuk melakukan sintesis antara turats (kahasanah keilmuan Islam ) dengan
hadatsah (modernitas). Pemikiran mereka pun masuk sampai ke Indonesia, khususnya
PTAI, semenjak tahun 1990-an sampai saat ini. Mereka meruapakan gelombang besar
yang berusaha mendialogkan antara warisan turats dengan hadatsah.
C. DIKOTOMI ANTARA SUBYEK DAN OBYEK
Dalam kajian mendialogkan ilmu sosial dan humaniora dengan ilmu
agama, M.Amin Abdullah membedakan antara studi agama dari segi normativitas dan
studi agama dari segi historisitas. Kedua pendekatan ini dikembangkan dengan
tiga tipe: Pertama, pendekatan doktrinal-normatif yaitu pendekatan
klasik yang masih dipakai dalam kebanyakan institusi studi agama, yaitu
pelajaran tentang teks kitab suci yang dianggap mutlak, universal, dan
sempurna. Kedua, pendekatan kultural-historis yaitu mempelajari agama
dari segi praktiknya dalam konteks budaya dan sejarah tertentu, khususnya
dengan memakai ilmu-ilmu sosial. Ketiga, pendekatan kritis-filosofis
yaitu pendekatan dengan menggunakan pendekatan tradisi filosofi untuk
merenungkan hubungan diantara agama normatif dan agama historis. Beliau
menegaskan bahwa ketiga-tiganya adalah hasil karya manusia, dimana hubungan
ketiga pendekatan ini tidak selalu harmonis, maka kesemuanya memiliki kelemahan
yang tidak bisa dipungkiri menganjurkan ketiga-tiganya jangan dipakai secara
terpisah satu sama lain (pararel atau linier) tetapi seharusnya didialogkan untuk
saling melengkapi.
Orang mungkin tergoda memandang pendekatan normatif sebagai
pendekatan seorang subyek, yaitu seorang beriman yang taat kepada Allah dan
kebenaran yang mutlak. Agama normatif bukan obyek yang diteliti secara kritis
melainkan perintah Allah yang harus ditaati. Sedangkan pendekatan ilmu sosial
meneliti agama sebagai fenomena sosial, politik, psikologi, dan sejarah yang
diteliti secara obyektif dan empiris. Bernard Adney Risakotta (2011), dikotomi
subyek obyek sangat populer di Indonesia. Ilmu pengetahuan modern dipandang
sebagai metode obyektif untuk meneliti dan mengetahui obyek tertentu. Subyek
yang meneliti adalah seorang manusia yang harus dipisahkan dari obyek yang
diteliti supaya tidak mempengaruhi hasil penelitian.
Dualisme obyek dan subyek ini mengandung dikotomi lain yaitu
subyektif dan obyektif, rasional dan irrasional, penafsiran dan fakta, emosi
dan obyektivitas. Dualisme seperti ini menjadi dasar metode empiris ilmu
pengetahuan modern yang sangat berguna. Hasilnya dalam mentransformasikan dunia
tidak dapat disangkal. Tetapi epistemology post-modern sudah membuktikan bahwa
dikotomi yang jelas antara subyek dan obyek tidak ada. Semua ilmu pengetahuan
adalah berdasarkan asumsi-asumsi dan titik pandang tertentu. Semua fakta
ditentukan oleh seorang pribadi yang dipengaruhi oleh kepentingan dan tujuan
tertentu, tidak ada obyek yang tidak ditentukan dari pandangan subyek.
Dikotomi subyek dan obyek melahirkan dikotomi antara paradigm
ilmu modern yang obyektif dan paradigm agama yang subyektif. Menurut pandangan
ini, modernitas dibangun oleh metodologi ilmu pengetahuan obyektif berdasarkan
paradigm tentang kenyataan tentang empiris dan nyata. Agama dan budaya
dipandang sebagai hal-hal subyektif yang mengungkap perasaan emosional dan
penilaian moral. Oleh karena itu, masing-masing mempunyai peran yang penting,
tetapi tidak boleh dicampurkan. Kenyataan obyektif harus dilihat dengan ilmu
pengetahuan, sedangkan tasawuf, emosi, imajinasi nilai moral dan hal-hal yang
subyektif menjadi bidang budaya dan agama. Disatu pihak perasaan dan ketaatan,
dilain pihak rasionalitas, sikap kritis dan obyektif.
D. KERANGKA PENDEKATAN INTERDISIPLINER DALAM STUDI ISLAM
Paradigma interdisipliner atau dalam istilah M. Amin Abdullah
adalah interkoneksitas merupakan asumsi untuk memahami kompleksitas fenomena
kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia. Setiap bangunan keilmuan apapun,
baik keilmuan agama (termasuk agama Islam maupun agama-agama lain), keilmuan
sosial, humaniora, maupun kealaman tidak dapat berdiri sendiri. Ketika ilmu
pengetahuan tertentu mengklaim dapat berdiri sendiri, merasa dapat
menyelesaikan masalahnya sendiri, tidak memerlukan bantuan dan sumbangan dari
ilmu lain, maka cepat atau lambat akan berubah menjadi narrow-mindedness
(untuk tidak menyebut fanatisme) terhadap partikularitas disipilin keilmuan.
Kerjasama yang saling membutuhkan, saling koreksi dan saling keterhubungan
antar disiplin keilmuan akan lebih dapat membantu manusia memahami kompleksitas
kehidupan yang dijalaninya dan memecahkan persoalan yang dihadapinya.
Dalam satu studi, misalnya menggunakan pendekatan sosiologis,
historis dan memecahkan persolan yang dihadapinya. Pentingnya pendekatan ini menurut
Khoituddin Nasution (2010:222) semakin disadari keterbatasan dari hasil-hasil
penelitian yang hanya menggunakan satu pendekatan tertentu. Misalnya, dalam
mengkaji teks agama, seperti al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad tidak cukup
hanya mengandalkan pendekatan tekstual saja, tetapi harus dilengkapi dengan
pendekatan sosiologis dan historis sekaligus. Bahkan mungkin bisa ditambah
dengan pendekatan hermenuetik. Ketika membahas masalah yang berhubungan dengan
kedokteran, seharusnya tidak cukup dengan kajian normative. Kajian normative
akan lengkap bila diikuti dengan kajian kedokteran. Dengan cara seperti ini,
persoalan dipahami akan lebih lengkap sebelum memutuskan status hukum menurut
ajaran Islam. Demikian juga menjawab atau menyelesaikan hukum (status ternak)
pertanian dan semacamnya. Untuk menentukan hukumnya harus dipahami lebih dahulu
secara lengkap dari sisi ilmu peternakan dan ilmu pertanian. Kemudian
ditetapkan status hukumnya. Seperti ini deskripsi cara kerja pendekatan
interdisipliner untuk mengungkap esensi dari kajian suatu obyek.
Kupasan di atas menghasilkan kesimpulan bahwa perkembangan
pembidangan studi Islam dan pendekatannya sejalan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan itu sendiri. Adanya penekanan terhadap bidang dan pendekatan
tertentu dimaksudkan agar mampu memahami ajaran Islam lebih komprehensif sesuai
dengan kebutuhan dan tuntutan yang semakin lengkap dan kompleks. Perkembangan
tersebut adalah suatu hal yang wajar dan seharusnya memang terjadi, karena
tidak terjadi pertanda agama semakin tidak mendapat perhatian (Nasution, 233).
Pendekatan interdisipliner menurut catatan Khoituddin Nasution,
bukan hal yang baru dalam sejarah keilmuan klasik. Sejumlah teori (sejarah,
antropologi, sosiologi, sastra, dan arkeologi, ilmu politik, filsafat,
linguistik telah digunakan sejak lama oleh para ilmuan klasik meskipun
teori-teori tersebut mengalami perkembangan. Ada beberapa teori yang mendapat penekanan
pada beberapa dekade terakhir. Hal ini disebabkan adanya kehausan untuk
memahami ajaran Islam yang lebih sempurna. Munculnya teori-teori baru adalah
sebagai respon terhadap fenomena kaum muslim yang semakin hari semakin maju dan
kompleks.
E. LANGKAH-LANGKAH PRAKTIS METODIS
Secara epistemologis, paradigm interdisipliner merupakan jawaban
atau respon terhadap kesulitan-kesulitan yang dirasakan selama ini, yang
diwariskan dan diteruskan selama berabad-abad dalam peradaban Islam tentang
aadanya dikotomi pendidikan umum dan pendidikan agama. Masing-masing berdiri
sendiri tanpa merasa saling bertegur sapa. Kesulitan epistemologis ini pada
kasus di Indonesia, rupanya berdampak secara structural-politis dengan
berdirinya Departemen Pendidikan Nasional dan departemen Agama di awal
kemerdekaan republic ini. Terpisahnya dua departemen ini, khususnya
dalam hal pendidikan menambah sempurna dikotomi. Dari waktu ke waktu, upaya
untuk mendekatkan kembali jurang pemisah atau gap antara keduanya, khususnya
wilayah pendidikan semakin nyata (M.Amin Abdullah, 2010).
Perlunya pendekatan interdisipliner bidang keilmuan dalam studi
keislaman kontemporer membawa kita memasuki wilayah yang tidak bisa dipikirkan
dan disentuh oleh kalangan pengajar dan pembela ortodoksi studi keilmuan
keislaman. Nash-nash keagamaan yang dari itu muncul fatwa-fatwa keagamaan sejak
dahulu hingga sampai kapapun tidak bisa terlepas dari kepentingan
sosial-politik, sosial-ekonomi, sosial-budaya. Keras lemahnya hubungan antar
agama, etnis, ras, dan suku sangat tergantung pada pertimbangan sosiologis,
politis, dan ekonomi. Oleh karenanya studi sosial keagamaan yang historis
empiris termasuk psikologi keagamaan sangat diperlukan. Pentingnya memahami batas-batas
hak dan kewajiban dalam frame hubungan sosial keagamaan yang bersifat public
dalam era multicultural dan multireligius dirasakan sangat mendesak seperti
sekarang ini.
Dalam melakukan pengkajian Islam ada beberapa fase yang harus
dilalui untuk mendapatkan jawaban dari kajian tersebut. Menurut Qodri A.Azizy
(2001, 80-81) terdapat enam fase: Pertama, pengkajian Islam lewat al-Qur’an dan
hadits. Kedua, ulama-ulama Islam harus mencoba memahami atau menafsikan nash,
sambil memberi jawaban terhadap kasus-kasus yang tidak secara tegas disebutkan
dalam nash. Ketiga, pengkajian Islam berupa mempelajari pemikiran ulama yang
sudah terbangun sebagai disiplin keilmuan. Namun pada tahap ini sering terjadi
bentuk dogmatic dan normative. Sebagai akibatnya bukan saja pemahaman nash yang
tidak kontekstual, namun pemahaman terhadap karya ulama yang seakan-akan tidak
tersentuh oleh akal manusia sekarang. Padahal itu semua merupakan hasil ijtihad
waktu itu dengan pengaruh budaya, adat, dan subyektivitas perorangan.
Oleh karena itu fase keempat, perlu adanya penyegaran pengkajian
dengan merekonstruksi proses pemikiran utama. Disini sudah mulai jelas
menempatkan apa yang selama ini dianggap doktrin merupakan hasil ijtihad ulama.
Namun disini ternyata masih berkutat pada aktivitas eksploratif yakni hanya
menjelaskan secara deskripsi apa yang telah terjadi. Akibatnya muncul stagnasi
meskipun telah menyentuh aktivitas kritis, artinya pemikiran ulama waktu itu
tidak lepas dari kondisi yang mengitarinya sehingga mempengaruhi keputusan
pribadi ulama.
Disisi lain, kondisi saat ini tidak selalu sama dengan masa itu.
Ini yang menyebabkan stagnasi dan berputar-putar. Namun proses fenomenologis
sudah dimulai, meskipun bentuknya yang utuh tidak ada dalam fase berikutnya.
Oleh karena itu diperlukan usaha radikal dan berani untuk membongkar kembali
apa yang terjadi dan apa yang telah dipraktikkan oleh ulama terdahulu
konsekuensinya akan terjadi de-absolutisasi atau desaklarisasi ilmu-ilmu
keislaman, ini digolongkan fase kelima. Beda antara fase keempat dan kelima
adalah, fase keempat pengkajian Islam mempunyai target berupa pengungkapan
sejarah pemikiran ulama secara apa adanya tanpa prasangka tanpa agenda
penitipan sesuatu. Dalam fase keempat ini sebenarnya juga sudah mulai usaha
inovatif dan obyektif untuk menilai kembali terhadap pemikiran mengenai Islam.
Lebih dari itu, dalam fase ini juga menempatkan kondisi obyektif di lapangan
sebagai variable yang tidak dapat dipisahkan sama sekali atau justru
berpengaruh dalam pemahaman keagamaan. Disini kajian kritis terhadap disiplin
ilmu-ilmu keislaman yang ada selama ini dianggap beku dan doctrinal baru
dimulai.
Fase keenam adalah usaha kelanjutannya, yaitu merekonstruksi
keilmuan Islam yang dianggap baku untuk kemudian disesuaikan dengan tuntutan
yang ada. Ini merupakan ijtihad baru sebagai konstruksi ulang disiplin
ilmu-ilmu keislaman yang sudah ada dan selama ini dianggap baku. Ini dapat
berupa perbaikan disiplin, pengembangan atau pengurangan disiplin, atau
penciptaan disiplin baru, meskipun dengan merformulasi ulang terhadap apa yang
sudah ada. Sudah barang tentu tidak bisa diterima terjadinya keterputusan alur
atau proses pemikiran dari apa yang sudah dilakukan oleh ulama. Ada kontinuitas
dan proses historikal, seperti terjadi dalam
keilmuan pada umumnya (di Barat).
Dalam fase ini dapat dilakukan pendekatan secara interdisipliner,
multidisiliner atau bahkan transdisipliner. Tentu harus mengacu pada misi utama
Islam yaitu kemaslahatan umat di satu sisi, dan keterkaintannya dengan cirri
utama Islam di sisi lain. Ada faktor yang tidak dapat diabaikan juga adalah
tuntutan perkembangan jaman yang mungkin terjadi eklektis dalam epistemology
ilmu-ilmu keislaman.
Paradigma interdisipliner secara aksiologis menawarkan pandangan
dunia manusia beragama dan ilmuan yang baru yang lebih terbuka mampu membuka
dialog dan kerjasama, transparan, dapat dipertanggungjawabkan kepada public dan
berpandangan ke depan. Secara ontologism, hubungan antara berbagai disiplin
keilmuan menjadi semakin terbuka dan cair, meskipun blok-blok dan batas-batas
wilayah antara budaya pendukung keilmuan
yang bersumber pada teks-teks dan budaya pendukung keilmuan
factual-historis-empiris, yakni ilmu-ilmu sosial dan kealaman serta budaya
pendukung keilmuan etis filosofis masih tetap ada. Hanya saja, cara berfikir
dan sikap ilmuan yang membidangi dan menekuni ilmu-ilmu ini yang perlu berubah.
Tegur dan saling menyapa antara ketiganya dalam birokrasi pendidik, baik dalam
level prodi, jurusan maupun fakultas, dan terlebih lagi dalam diri para ilmuan,
dosen, akademisi atau researchers, yang termanifestasikan dalam keanekaragaman
perspektif yang digunakan untuk mengkaji dan menganalisa persoalan, program
penelitian, tatap muka perkuliahan, pengembangan kurikulum serta evaluasi
pembelajarannya menjadi sibghah dan core values yang harus
dipegang teguh dan dikembangkan terus-menerus oleh para pelaku transformasi
(M.Amin Abdullah, 2010).
Pendekatan yang digunakan dalam melakukan kajian sudah tentu sangat
bergantung pada tujuan penelitian dan lingkupnya, tetapi secara umum menurut Abdurrahman
Wahid (2007, 337-338) dapat digunakan untuk menyusun pendekatan yang sesuai
dengan kebutuhan pembagian wilayah kajian studi keislaman yaitu: (1) Sebanyak
mungkin harus didekati persoalan yang dikaji dari sudut pandang dan persepsi
obyek yang dikaji bukannya dari asumsi-asumsi umum yang seringkali tidak dapat
menangkap secara tajam persepsi tersebut. (2) Harus
diperoleh pengertian yang benar dan akurat tentang metode penafsiran ajaran
yang digunakan oleh obyek kajian. Kelompok reformis menganggap bahwa kehidupan
dunis mempunyai timbangan yang sama dalam pandangan dunia. Dalil-dalil
keagamaan yang sama diartikan demikian oleh kaum reformis pada kalangan
tradisional mempunyai arti lain. Persambungan
vertical, dimana hal-hal duniawi hanyalah persiapan belaka bagi
kebahagiaan kekal di alam baka nanti. Contoh ini secara jelas sekali
menunjukkan harusnya garis pemisah antara berbagai pandangan, namun berakibat
fatal bila tidak diketahui oleh seorang peneliti dan dibedakan secara tajam. (3) Kerangka
penelitian harus secara seksama menyingkirkan hal –hal yang akan mengganggu
ketajaman pandangan seperti asumsi-asumsi umum yang telah diterima secara
universal selama ini dan tajamnya dikotomi tradisional-moderen. (4) Haruslah
dihindari pendekatan yang sepotong-potong, melainkan harus dilakukan pembuatan
proyeksi gambaran permasalahan yang bersifat komprehensif untuk meminjam
istilah Kahane dalam kajiannya tentang penyebaran Islam di Jawa dan fungsi
sosial historis penyebaran itu. Kajian Kahane melihat kajian secara keseluruhan
fungsi-fungsinya secara komprehensif menunjukkan, bahwa motif utama bagi
penyebaran Islam di Jawa bukanlah perniagaan atau propogasi mistik/tasawuf,
melainkan motif legitimasi kekuasaan pada tingkat dan lokasi berbeda-beda atas
alasan berlainan pula (lokal pendalaman, lokal pesisiran dan pusat pedalaman).(5)Kemampuan
menggali sumber-sumber informasi yang tepat, terutama dalam mencari penafsiran
yang dihayati obyek kajian atas ajaran agama haruslah benar-benar mampu mengintegrasikan
aspek kontekstual dan tekstual dari penelitian yang dilakukan dengan baik.
Tidak cukup pendekatan antropologis untuk membiarkan obyek kajian “berbicara”
lepas tanpa dikaji interaksinya dengan ajaran-ajaran agama yang dimuat dalam
teks-teks keagamaan formal yang digunakan di lingkungannya.
F. PENUTUP
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa dalam melakukan
kajian terhadap keilmuan, ada berbagai pendekatan keilmuan yang dapat digunakan
untuk menguak dan menemukan formulasi terhadap kajian secara mendalam dan
spesifik. Namun sesuai perkembangan waktu, kajian monodisiplin yang hanya
membidik pada satu frame of work. Sementara tuntutan era modern
dibutuhkan kajian yang dapat membidik dari berbagai sudut sehingga akan
mendapatkan pemahaman yang holistik dan komprehensif.
Untuk mendapatkan hasil pemahaman tersebut dalam kajian keislaman
dibutuhkan tidak hanya satu pendekatan disiplin ilmu (monodisiplin). Penggunaan
pendekatan antropologis, sosiologis, filosofis, hukum dan sebagainya secara
bersama-sama (interdisipliner), akan dapat menguak fakta secara utuh tanpa ada
potongan-potongan pemahaman. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa antara
pendekatan monodisiplin maupun interdisiplin tetap membawa karakteristik
masing-masing sebagai ciri dan kosekuensi pilihan bagi orang yang
menggunakannya.
Demikian uraian yang bisa penulis sajikan, kritik dan saran yang
membangun sangat kami harapkan untuk mendapatkan kajian yang lebih baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah, M.Amin. 2009. Islam dalam Berbagai Pembacaan Konsep
Kontemporer, Ahwan Fanani dan Tolhatul Chair (Ed.). Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
--------------------------.2010. Islamic Studies di Perguruan
Tinggi (Pendekatan Integratif-Interkonektif). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Arkoun, M. 1990. Al Akhlaq wa al Siyasah. Terj. Hasyim
Saleh. Beirut: Markaz al Inna’ al-Qaumi.
Azizy, Qodri A,2001. Membangun IAIN Walisongo Ke Depan (Langkah
Awal). Semarang: Gunungdjati.
Bernard Adney Risakotta dalam Mendialogkan Ilmu Sosial dan
Humaniora dengan Ilmu Agama: Tantangan Pengembangan Kajian Islam, http://docs.google.com/viewer.
Mudhofi, M. 2004. “Pemahaman Agama dalam Islam”dalam Jurnal Ilmu
Dakwah 2004
Muhadjir, Noer, 1994. Metodologi Penelitian Kualitatif.
Yogyakarta: Bayu Indra Grafika.
Nasution, Khoituddin. 2010. Pengantar Studi Islam.
Yogyakarta: ACAdeMIA TAZZAFA.
Rahman, Fazlur. 1984. Islam. Terj. Ahsin Muhammad. Bandung:
Penerbit Pustaka.
0 Comments