Desain Laboratorium Kesehatan Lingkungan
Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam (PMI)
Oleh Ahmad Faqih, S.Ag, M.Si
A.
LANDASAN FILOSOFIS
1.
Landasan Ilmu Dakwah
Dalam
diskursus tentang keilmuan dakwah, pada saat ini ada kecenderungan perubahan
cara pandang atau persepktif terhadap ilmu dakwah. Perubahan ini mencakup
landasan ontologis, landasan epistemologis, dan landasan aksiologis (Faqih,
2009).
a.
Ontologi Ilmu Dakwah
Objek
material ilmu dakwah dalam statusnya sebagai ilmu keagamaan adalah al-Qur’an
dan sunnah dan manifestasinya dalam semua aspek kegiatan dan kehidupan manusia.
Sedangkan objek formalnya adalah kegiatan mengajak umat manusia supaya masuk ke
jalan Allah dalam semua segi kehidupan (Ahmad, 1996: 27). Dengan demikian
dimensi ontologis ilmu dakwah masih didominasi oleh kecenderungan yang bercorak
transenden dengan menjadikan al-Qur’an dan sunnah sebagai titik tolak
kajian.Jika itu dakwah ditempatkan sebagai bagian dari ilmu sosial, maka dakwah
akan bertitik tolak dari realitas sosial dalam hubungannya dengan dinamika
sosial tertentu.Sehingga berlangsung hubungan dialogis-dialektis antara teks dan realitas tersebut (Supena,
2009: 198). Ilmu dakwah akan selalu concern
dengan persoalan masyarakat dan berusaha menawarkan solusi dalam
menyelesaikan dan mengatasi persoalan masyarakat tersebut. Jadi objek formal
ilmu dakwah yaitu dimensi keberagamaan manusia dalam upaya merealisasikan
ajaran Islam dalam segala aspek kehidupan dalam rangka membangun dan membentuk
masyarakat yang baik. Ontologi ilmu dakwah seperti ini akan memberikan peluang
bagi ilmu dakwah untuk berhubungan secara kultural-fungsional dengan
penyelesaian problem-problem kemanusiaan termasuk problem sosial. Diantara
problem tersebut antara lain:kemiskinan, pengangguran, ketertinggalan
pendidikan, aborsi, kenakalan remaja dan sebagainya.
b.
Epistemologi Ilmu Dakwah
Dalam
perspektif epistemologi secara umum bahwa sumber atau teori pengetahuan
diperoleh dari hasil rasionalitas manusia berdasarkan data. Sedangkan dalam
perspektif epistemologi Islam (Nizar, 2002: 1) bahwa teori pengetahuan
didapatkan dari teks atau wahyu dan pemikiran manusia dalam aspek tradisi yang
mensejarah. Jelasnya bahwa subjek atau sumber ilmu dalam Islam adalah Allah,
yang menampilkan diri lewat al-Qur’an yang tertulis sebagai fitrah munazalah
dan lewat ayat yang tercipta yaitu alam dan realitas sebagai fitrah majbulah.
Jika
dilihat dari perspektif Islam, epistemologi ilmu dakwah adalah sekumpulan
pengetahuan yang bersumber dari wahyu (teks) dan pemikiran rasional muslim
sepanjang sejarah (tradisi Islam). Dalam kerangka epistemik ini, ilmu dakwah
harus dipahami sebagai ilmu teoritik dan terapan Islam untuk menumbuhkan,
menata dan merekayasa masa depan kehidupan umat dan peradaban Islam yang sesuai
dengan tuntutan zaman (Salmadanis, 2006:6). Dalam pandangan Ilyas Supena
(2008), epistemologi ilmu dakwah yang seperti ini,masuk dalam kategori epistemologi bayani yakni epistemologi
yang menjadikan teks sebagai origin and
source pengetahuan, dan kurang peduli terhadap epistemologi burhani yakni epistemologi yang menjadikan realitas
empirik sebagai asal dan sumber pengetahuan. Akibatnya kajian ilmu dakwah yang
berhubungan dengan dunia teks masih sangat dominan. Sementara kajian yang
berhubungan dengan dunia sosial, baik dunia sosial pengararang maupun dunia
sosial pembaca masih sangat kering. Ada dua solusi yang ditawarkan oleh Ilyas
Supena; pertama, ilmu dakwah perlu melakukan integrasi keilmuan dengan beragam
ilmu dan karenanya dakwah akan menjadi sebuah disiplin ilmu yang bercorak
interdisipliner. Kedua, ilmu dakwah perlu melakukan humanisasi ilmu keislaman
dan islamisasi ilmu-ilmu sosial dan humaniora, sehingga terbangun suatu
hubungan organis antara keduanya.
c.
Aksiologi Ilmu Dakwah
Dalam
kalimat yang ringkas aksiologi dakwah adalah bertujuan mewujudkan ummatan wasathan,
khairul ummah dan khairul bariyyah. Dalam rangka mewujudkan tipologi
masyarakat tersebut, dakwah mengembangkan empat konsep sebagaimana tergambar
dalam QS.Ali Imran ayat 104, yaitu yad’una
ilal khair, amr ma’ruf, nahi munkar dan taghyirul
munkar. yad’una ilal khair
mengandung pengertian menyeru umat manusia untuk menerima dan mengamalkan munkar
yang dapat membawa kerugian dan bencana terhadap masyarakat. Sedangkan taghyirul munkar adalah merubah setiap
bentuk kemunkaran yang terdapat dalam kehidupan manusia sehingga kemunkaran
tersebut lenyap di tengah-tengah kehidupan manusia. Berdasarkan empat konsep
tersebut, maka secara aksiologis dakwah mengandung tujuan; Pertama, membangun
standar kualitas hidup. Kedua, media transformasi nilai (Faqih,
2009:…..).
2 2.
Problem Kesehatan Lingkungan Sebagai Bagian dari
Problematika Keilmuan Dakwah
Permasalahan
lingkungan menjadi salah satu persoalan yang banyak mendapat perhatian oleh
berbagai pihak beberapa tahun belakangan ini, baik pada tingkat lokal,
regional, nasional dan global (ecocampus.itb.ac.id/tentang-2/ganesha-hijau,
diakses 9 April 2014). Manusia semakin merasakan dampak dari kondisi bumi yang
sedang mengalami krisis. Pemanasan
global (global warming) dan perubahan iklim (climate change),
berdampak pada anomali gejala-gejala alam seperti iklim yang tidak menentu,
panas ekstrim yang berkepanjangan, intensitas curah hujan yang tinggi, banjir,
angin rebut,dan angin puting beliung.
Hasil
penelitian para ahli menunjukkan ada peningkatan kadar gas rumah kaca C02 di
atmosfir, sejalan dengan meningkatnya aktivitas manusia di bumi seperti
aktivitas rumah tangga, aktivitas kantor, rumah sakir, pabrik, transportasi dan
kampus. Kesimpulan pokok dari sebuah laporan berjudul The Limits to Growth
dari orang-orang yang tergabung dalam kelompok Roma (The Club of Rome),
dinyatakan : jika kecenderungan-kecenderungan sebagaimana diperlihatkan di masa
lampau diteruskan, dunia akan melampaui batas-batas kemampuannya untuk
berkembang dalam beberapa generasi lagi dan akan mengalami bencana (Soetomo,
2013: 377).
Jadi
bencana alam yang melanda di berbagai belahan dunia, faktor utamanya adalah
diabaikannya persoalan lingkungan yang berdampak sistemik terhadap lahirnya
bencana (http://www.wwf.or.id/ “Kerusakan
Lingkungan di Tengah Perubahan Iklim”, diakses 24 April 2014). Hal ini
menempatkan kerentanan suatu wilayah terhadap bencana lingkungan semakin
besar. Sebagai contoh, apa yang terjadi
di kota-kota besar seperti Jakarta. Ketika kawasan hijau dan daerah resapan air
semakin sempit, sebagai akibat banyaknya bangunan pertokoan, perkantoran,
perumahan dan pusat-pusat bisnis tidak terkendali. Maka saat hujan dengan
intensitas sedang dan tinggi, beberapa wilayah utama di Jakarta dapat
dipastikan terkena bencana banjir.
Pembangunan
yang dilaksankan di berbagai negara lebih menekankan pertimbangan ekonomi.
Kenyataanya bahwa pembangunan ekonomi yang tidak mempertimbangkan keseimbangan
lingkungan akan menghancurkan kemajuan ekonomi itu sendiri. Misalnya badai Mitch,
telah meruntuhkan pertumbuhan ekonomi di negara itu sebesar 4-5 % per tahun.
Data World Bank menyebutkan antara tahun 1984 sampai tahun 2013, persentase
kehilangan pendapatan nasional tiga kali lebih besar terjadi di negara yang
berpendapatan rendah dan menengah akibat perubahan iklim.
Hal
itu telah membuka mata dunia tentang kemungkinan masalah yang akan dialami
manusia berkaitan dengan kondisi bumi yang semakin mengkhawatirkan. Bentuk
respons masyarakat dunia, dapat dilihat pada munculnya berbagai forum
internasional yang membahas pencemaran dan kelestarian hidup di bumi, dan
dibentuknya organisasi PBB yang bergerak di bidang pelestarian lingkungan
(UNEP).
KTT
Bumi di Kota Rio de Janeiro Brasil tahun 1992, dihadiri utusan 165 negara
berhasil menyepakti berbagai konvensi menyangkut lingkungan hidup. Sebagian
besar negara ikut menandatangani untuk segera diratifikasi di negara
masing-masing (http://green.kompasiana.com/penghijauan/2011/03/31/,
diakses 10 April 2014). Selain itu Konferensi Perubahan Iklim PBB 2007 di Bali,
secara khusus membahas dampak pemanasan global (global warming).
Konferensi yang diselenggarakan oleh badan PBB United Nations Framework
Convention on Climate Change (UNFCC) menyepakati Bali Roadmap yang
berisi: Pertama, respon atas pertemuan keempat panel antar pemerintah
untuk perubahan iklim (IPCC) bahwa keterlambatan pengurangan emisi akan
menghambat peluang mencapai tingkat stabilisasi emisi yang rendah, serta meningkatkan
resiko lebih sering terjadinya dampak buruk perubahan iklim. Kedua,
pengakuan bahwa pengurangan emisi yang lebih besar secara global diharuskan
untuk mencapai tujuan utama. Ketiga, keputusan untuk meluncurkan proses
menyeluruh yang memungkinkan dilaksanakannya keputusan konvensi kerangka kerja
PBB mengenai perubahan iklim secara efektif dan berkelanjutan. Keempat,
penegasan kewajiban Negara-negara maju melaksanakan komitmen dalam hal migitasi
secara terukur, dilaporkan dan bisa diverifikasi, termasuk pengurangan emisi
yang terkuantifikasi. Kelima, penegasan kesediaan sukarela Negara
berkembang mengurangi emisi secara terukur, dialporkan dan bisa diverifikasi
dalam konteks pembangunan berkelanjutan, didukung teknologi, dana dan
peningkatan kapasitas. Keenam, penguatan kerjasama di bidang adaptasi
atas perubahan iklim, pengembangan dan alih teknologi untuk mendukung migitasi
dan adaptasi. Ketujuh, memperkuat sumber-sumber dana dan investasi untuk
mendukung tindakan migitasi, adaptasi dan alih teknologi terkait perubahan
iklim (http://politik.kompasiana.com,
diakses 10 April 2014).
Indonesia
merupakan salah satu Negara yang paling berkontribusi terhadap pemanasan
global. Apalagi setelah Indonesia sempat dinobatkan sebagai Negara yang paling
cepat dalam penggundulan hutannya. Hutan kita yang dahulu sangat dibanggakan
sebagai paru-paru dunia, saat ini hanya tinggal cerita belaka. Haruskah sebagai
perguruan tinggi tinggal diam dan tidak peduli dengan permasalahan dunia.
Menurut para ahli, seperti dikutip oleh
Tasdyanto (2010: 30-32), hubungan antara kebudayaan dan lingkungan dapat
dijelaskan dalam empat model:
a) Dominasi lingkungan (environmental
determinism)
Menurut pandangan
deterministik ini, pembentukan kebudayaan manusia dipengaruhi oleh
faktor-faktor fisik alam seperti topography, geographical location, natural
resources dan climate. Sebagai contoh, masyarakat yang hidup di
daerah pegunungan akan mencari nafkah dengan cara bercocok tanam, merambah
hutan, berburu sesuai dengan karakteristik alam yang di tempati. Masyarakat di
daerah pantai akan berbeda, kegiatan ekonominya dalam bentuk menangkap ikan,
memancing, melaut sesuai dengan kondisi alam yang dihadapinya.
b) Kemungkinan lingkungan (environmental
possibillism)
Pandangan model ini
menjelaskan bahwa faktor lingkungan berfungsi sebagai penyaring terbentuknya
unsur kebudayaan tertentu. Perilaku suatu kebudayaan tertentu dipilih secara
selektif atau merupakan hasil adaptasi dengan lingkungannya. Suatu lingkungan
tidak dapat diklaim sebagai sebab utama perbedaan suatu kebudayaan, melainkan
hanya sebagai pembatas atau penyeleksi. Teori ini menjelaskan bahwa lingkungan
hidup sesungguhnya memiliki sifat yang cocok untuk menjelaskan budaya tertentu,
tetapi tidak cocok untuk menjelaskan fakta budaya yang berbeda. Misalnya sistem
persawahan di Bali dan di Jawa, sebenarnya memiliki persamaan karena corak
topografi lahan, jenis tanah dengan kekayaan alam berupa hutan-hutan. Petani di
Bali meyakini bahwa persawahan merupakan bentuk lingkungan fisik biologis yang
harus dihormati dengan ritual-ritual tertentu. Meskipun di Jawa ada corak pertanian
yang hampir sama, termasuk pemujaan terhadap kekuatan-kekuatan gaib kepada Dewi
Sri, tetapi di Bali hal itu sangat melembaga berbeda dengan di Jawa yang sudah
mulai meninggalkan ritual-ritual yang dahulu dilakukan.
c) Ekologi budaya (cultural ecology)
Model ini menjelaskan
hubungan antara budaya dan lingkungan sebagai suatu interaksi timbal balik melalui
proses dialektika. Lingkunga hidup memiliki pengaruh terhadap budaya manusia,
sementara pada saat yang sama manusia mempengaruhi lingkungan hidupnya. Sebagai
contoh, pemeluk agama Hindu mensucikan sapi, karena mereka melihat kegunaan
sapi yang sangat besar manfaatnya untuk manusia, seperti pengangkut barang,
pembajak sawah, alat transportasi dan penghasil pupuk. Atas dasar itu,
diciptakan aturan-aturan irrasional untuk mensucikan binatang sapi.
d) Model sistem ekologi (ecosystem)
Pandangan model ini,
menjelaskan bahwa hubungan antara manusia dan lingkungannya dianggap sebagai
suatu sistem yang terdiri dari berbagai elemen yang saling terintegrasi dalam
suatu “ekosistem”. Kebudayaan memiliki elemen-elemen kunci yang akan mengatur
interaksi antara sosial budaya (sosiosistem) dan lingkungan alam. Demikian juga
lingkungan alam baik yang bersifat fisik dan biologis memiliki elemen-elemen
yang akan mempengaruhi interaksi antara alam dengan sosial budaya manusia
(ekosistem).
Hubungan
antara budaya dan lingkungan sebagaimana telah dijelaskana, dalam realitasnya
tampak hubungan yang positif (pro lingkungan) dan hubungan yang negatif (kontra
lingkungan). Perilaku manusia yang berbudaya akan memperlakukan lingkungan di
sekitarnya secara baik dalam upaya konservasi lingkungan. Nilai-nilai sosial
budaya semacam ini biasanya tumbuh dan berkembang pada masyarakat tradisional
dimana ketergantungan pada lingkungan alam masih sangat kuat (Sunyoto Usman,
2012: 281). Kehidupan masyarakat itu
masih jauh dari pengaruh-pengaruh dari luar dan bersifat homogen, sehingga
secara turun-temurun mereka dapat mewariskan nilai-nilai yang pro lingkungan
kepada generasi berikutnya. Mereka memiliki pengetahuan yang rinci mengenai
ekosistem, hewan dan tumbuh-tumbuhan terutama yang dimanfaatkan untuk mencukupi
kebutuhan dasarnya seperti sandang, pangan, papan dan kesehatan. Mereka juga
menciptakan cara-cara yang dikembangkan berupa usaha-usaha perlindungan yang
ketat terhadap sumber-sumber alam, usaha mengganti dan menanam kembali setiap
terjadi kerusahan. Mereka menciptakan pantangan-pantangan yang dihubungkan
dengan kekuatan-kekuatan gaib dalam bentuk simbol-simbol melalui upacara adat.
Bahkan nilai-nilai sosial budaya itu juga mengatur orang-orang dari luar yang
akan memasuki wilayah mereka.
Hubungan
yang negatif (kontra lingkungan), biasanya berawal ketika masyarakat sudah
terpengaruh oleh budaya-budaya dari luar atau ketika menjadi masyarakat modern.
Menurut Stanley D.Eitzen sebagaimana dikutip Sunyoto Usman (2012: 288), ada
lima sumber kultural yang menciptakan pencemaran lingkungan:
a) The cornucopia view of nature
Adalah suatu pandangan
yang dilandasi bahwa alam diciptakan
untuk manusia. Jadi manusia boleh memanfaatkan alam sesuai dengan
keinginannya. Pandangan ini yang menyebabkan manusia menjadi serakah dalam
memanfaatkan lingkungan dan sekaligus merusaknya.
b) Faith in technology
Adalah keyakinan yang
mendewakan teknologi untuk mengusai alam. Artinya manusia dapat secara optimal
memanfaatkan alam dengan teknologi yang mereka ciptakan, karena mereka
berkeyakinan teknologi akan mampu mengatasi berbagai persoalan yang muncul yang
berkaitan dengan kerusakan alam.
c) The growth ethic
Adalah suatu etika
untuk terus maju, tidak suka dengan kemapanan. Mereka tidak puas dengan segala
yang yang pernah dimilikinya, sehingga barang-barang yang sebenarnya masih
layak dipakai atau digunakan telah ditinggalkan. Perusahaan-perusahaan
ditantang untuk memproduksi barang-barang baru yang lebih baik, konsekuensinya
sumber-sumber alam semakin banyak dieksploitasi dan pencemaran pun semakin
meningkat.
d) Materialism
Adalah suatu paham yang
sangat mengkultuskan materi, sebagai lambang keberhasilan. Mereka
menterjemahkan keberhasilan dengan ukuran-ukuran benda-benda yang mereka
miliki. Hal ini telah meningkatkan permintaan barang-barang yang dihasikan
pihak industri, tetapi pada saat yang sama menambah pencemaran akibat
sumber-sumber alam dieksploitasi.
e) Individualism
Adalah sikap dan
keyakinan pada individualism. Masyarakat modern sangat menekankan dorongan
untuk berhasil dengan bekerja sekuat tenaga. Kecenderungan ini akan semakin
memperkuat self orientation dan melemahkan collective orientation,
melainkan juga mempengaruhi basis sejumlah nilai konfigurasi kerja. Karena
sukses mereka diukur dari keberhasilan menumpuk kekayaan materi. Kecenderungan ini akan berimplikasi
pada permasalahan lingkungan, ketika manusia akan meraih sukses dengan
memanfaatkan sumber-sumber alam sebanyak-banyaknya. Misanya untuk meningkatkan
usaha-usaha bidang pertanian, manusia menggunakan pupuk kimiawi dan
obat-obatan, demikian juga untuk menaikkan pendapatan air dan udara semakin tercemar karena dicapai
melalui mesin industri yang banyak menghasilkan limbah.
Menurut
Eitzen sebagaimana dikutip oleh Soetomo ( 2013: 373), terdapat beberapa faktor dari kekuatan
sosial atau manusia yang berpengaruh teradap masalah pencemaran lingkunagn dan
kelestarian lingkungan. Faktor-faktor tersebut, pertama: pertumbuhan
penduduk yang pesat, berakibat pada meningkatnya permintaan makanan sebagai
sumber energi dan produk-produk lain. Hal ini mengakibatkan meningkatnya
pertumbuhan sampah rumah tangga dan industri, sebagai awal pencemaran
lingkungan. Kedua, konsentrasi penduduk di daerah perkotaan yang
menyebabkan berbagai limbah yang harus diserap oleh ekosistem dan lingkungan.
Pada saat yang sama terjadi alih fungsi lahan produktif, untuk kebutuhan
pemukiman yang semakin meningkat. Kondisi ini akan menciptakan beban lingkungan
tidak mampu lagi menahan beban, yang mengakibatkan terjadinya banjir (Sunyoto
Usman, 2012: 292). Ketiga, proses pembangunan dan modernisasi yang
meningkatkan penggunaan teknologi modern dan pola konsumsi. Pembangunan dan modernisasi yang tujuan
utamanya adalah mengusahakan perbaikan kondisi kehidupan manusia, justru
menimbulkan kerawanan kelestarian lingkungan. Karena usaha-usaha tersebut
meningkatkan pemanfaatan sumberdaya alam,apalagi dengan teknologi-teknologi
yang digunakan. Kondisi ini akan menciptakan konflik antara tujuan pembangunan
dan modernisasi yang ideal, dengan dampak kerusakan lingkungan yang akan
terjadi (Faqih, 2014).
Perilaku manusia yang kontra lingkungan, secara alamiah tidak saja akan
menurunkan kualitas lingkungan dimana mereka bertempat tinggal. Hal itu juga
akan berdampak negatif pada kesehatan manusia itu sendiri. Berbagai macam jenis
penyakit yang disebabkan oleh kondisi lingkungan yang buruk, seperti demam
berdarah, demam chikungunya, TB paru+, diare, pneumonia(radang paru-paru) telah
banyak merenggut nyawa dari tahun ke tahun di Indonesia. Kota Semarang sebagai
salah satu wilayah yang mengalami wabah berbagai penyakit menular tersebut
dengan intensitas tinggi.
Dakwah dengan berbagai macam bentuknya-----, diharapkan bisa
berkontribusi untuk merubah perilaku masyarakat yang cenderung merusak
lingkungan menjadi perilaku yang pro lingkungan. Tujuannya adalah untuk
menciptakan kualitas kehidupan yang lebih baik, bagi manusia pada saat ini dan
terlebih manusia pada generasi yang akan datang. Karena manusia telah turut
menjaga kelestarian lingkungan hidup, sebagai implementasi tugas kekhalifan di
muka bumi.
B.
DASAR PENDIRIAN LABORATORIUM KESEHATAN LINGKUNGAN JURUSAN
PMI
Berdasarkan Kompetensi Lulusan (Pendukung) Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam (PMI)
adalah:
1) Memiliki kemampuan dan keterampilan
dalam memberdayakan masyarakat dalam bidang kesehatan lingkungan.
2) Memiliki kemampuan untuk mengembangkan
potensi diri dan masyarakatnya melalui pemanfaatan sumber daya lingkungan dan
pengelolaan/manajemen kelembagaan lokal yang dimiliki masyarakat.
Maka diperlukan laboratorium kesehatan lingkungan, sebagai wahana bagi
mahasiswa untuk berlatih mengenali dan merumuskan pemecahan berbagai
permasalahan lingkungan baik yang bersifat fisik dan bersifat non fisik.
Permasalahan lingkungan yang bersifat fisik, misalnya pencemaran air,
pencemaran udara, pencemaran tanah. Sedangkan permasalahan lingkungan yang
bersifat non fisik, misalnya perilaku membuang sampah di sembarang tempat, perilaku penggunaan pestisida secara
berlebihan, perilaku penebangan pohon yang tidak diikuti konservasinya,
perilaku penggunaan mesin-mesin berat yang mencemari udara. Permasalahan
lingkungan secara fisik akan berkaitan dengan permasalahan lingkungan secara
non fisik. Sehingga mahasiswa diharapkan memahami dua hal tersebut, selanjutnya
dapat mencari solusi-solusi yang kontributif untuk mengatasi sejumlah persoalan
bidang kesehatan lingkungan di masyarakat.
Selama perkuliahan mahasiswa telah mempelajari berbagai hal yang
menyangkut kesehatan lingkungan yaitu: Dasar-Dasar Lingkungan, Kebijakan dan Hukum Lingkungan, Pencemaran dan Kesehatan, AMDAL, Teknologi Tepat Guna Lingkungan (TTG), Sistem Manajemen dan Autdit Lingkungan, Sosiologi dan Antropologi Lingkungan.Beberapa matakuliahl ini, dapat diidentifikasi berbagai macam
kebutuhan yang harus ada pada laboratorium kesehatan lingkungan Jurusan PMI
baik laboratorium yang bersifat indoor, semi outdoor, maupun outdoor.
C.
JENIS
1 1)Laboratorium Indoor
Yaitu laboratorium yang bertempat di salah satu
ruangan dalam kampus (menjadi salah satu sub dari Laboratorium Dakwah).
Laboratorium indoor menjadi tempat menyimpan berbagai macam informasi tentang
kesehatan lingkungan, menyediakan peralatan-peralatan uji kualitas lingkungan,
peralatan teknologi tepat guna lingkungan dan menjadi tempat simulasi berbagai
macam ketrampilan yang dibutuhkan.
2 2) Laboratorium Semi Outdoor
Yaitu laboratorium yang bertempat di lingkungan kampus
(di luar ruangan tertutup). Misalnya tempat pengelolaan sampah dengan aplikasi
teknologi tertentu.
3 3) Laboratorium Outdoor
Yaitu laboratorium yang berlokasi di masyarakat yang
sengaja dipilih berdasarkan karakteristik kesehatan lingkungan. Misalnya
masyarakat pesisir pantai yang mengalami problem kerusakan lingkungan.
D.
BENTUK KEGIATAN
1 1) Laboratorium Indoor
-
Melakukan uji kualitas air, udara dan tanah.
-
Melakukan simulasi melalui paper reading, video watching yang berisi
problem masyarakat yang terkait dengan kesehatan lingkungan.
-
Mengidentifikasi
masalah melalui bahan yang telah disimulasikan, dengan merefleksi pada
nilai-nilai Islam
-
Menyusun
strategi dengan menggunakan rujukan pengembangan masyarakat, dengan menggali
sumber-sumber Islam
-
Melaksanakan
strategi dengan role play (misalnya dengan pendekatan dialog warga)
-
Mengevaluasi
strategi yang telah dilaksanakan; dan menemukan inovasi strategis
-
Melakukan
pelaporan praktikum.
2 2)Laboratorium Semi Outdoor
-
Melaksanakan kegiatan aplikasi teknologi tepat guna lingkungan secara
berkelompok.
-
Melakukan pelaporan praktikum.
3 3) Laboratorium Outdoor
-
Melaksanakan praktik pengembangan masyarakat yang berkaitan dengan
problem-problem kesehatan lingkungan, secara berkelompok sesuai dengan tahap
pegembangan yang telah ditentukan.
-
Melakukan pelaporan praktikum.
E.
PERALATAN
1 1) Laboratorium Indoor
Peralatan uji kualitas air, udara dan tanah,
bahan-bahan kimia habis pakai, televisi, video player, satu
perangkat komputer dengan koneksi internet dan printer, rak buku, almari,
karpet, round-table, white board, hiasan2 dinding yang motivatif pada kesehatan
lingkungan, peta
wilayah, dispenser.
2 2)Laboratorium Semi Outdoor
Alat-alat teknologi tepat guna lingkungan antara lain:
alat daur ulang sampah organik, alat perjernih air dan sebagainya.
3 3) Laboratorium Outdoor
Alat-alat yang digunakan untuk merekam kegiatan di
lapangan seperti kamera, handycam
F.
KUALIFIKASI TENAGA DAN TUGASNYA
1 1) Pendamping Praktikum Indoor
-
Pendamping adalah dosen pengampu mata kuliah praktikum.
- Pendamping menyediakan data
simulasi.
- Pendamping mengarahkan proses
praktikum di dalam laboratorium.
- Pendamping mengevaluasi
proses praktikum.
- Memberikan
penilaian praktikum
(proses dan laporan).
P 2)Pendamping Praktikum Semi indoor
- Pendamping adalah dosen yang ditugaskan oleh
Jurusan.
- Pendamping melalukan monitoring secara berkala.
- Pendamping mengevaluasi proses dan laporan
praktikum.
3 3) Pendamping Praktikum Outdoor
-
Pendamping adalah dosen yang ditugaskan oleh Jurusan.
- Pendamping bersedia
mendampingi mahasiswa di masyarakat secara periodik.
- Pendamping mengarahkan
proses praktikum di dalam masyarakat.
- Pendamping mengevaluasi
proses dan laporan praktikum.
- Pendamping membimbing mahasiswa dalam pembuatan
laporan praktikum.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad,
Amrullah. Makalah Seminar dan Lokakarya “Pengembangan Keilmuan Dakwah
dan Prospek Kerja”, APDI Unit Fakultas Dakwah, Semarang 19-20 Desember 2008.
Faqih, Ahmad. 2009. “Kontribusi Dosen dalam
Pengembangan Ilmu Dakwah”, Laporan Penelitian.
Faqih, Ahmad,2014. “Pengembangan Budaya Eco-Campus di
IAIN Walisongo”, Laporan Penelitian.
Jurnal
Ilmu Dakwah Vo.28, No. 1, Januari - Juni 2008
Jurnal
Ilmu Dakwah Vo.28, No. 2, Juli - Desember 2008
Jurnal
Ilmu Dakwah Vo.29, No. 1, Januari - Juni 2009
Jurnal
Ilmu Dakwah Vo.29,
No. 2, Juli - Desember 2009
Nurwinda,
dkk.2010.“Pemetaan Data Penyakit Menular Di Kota Semarang
(Studi Kasus : Penyakit DBD, Diare, Pneumonia,dan TB Paru+)”.
Salmadanis.
Makalah “Posisi Ilmu Dakwah dalam Keilmuan lainnya”, Semiloka Nasional
Pengembangan Keilmuan Dakwah IAIN Imam Bonjol, Padang 13-14 Juni 2006.
Sunyoto
Usman, Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2012
Tasdyanto,
“Budaya Lingkungan Hidup Komunitas Yogyakarta”, dalam Jurnal Ekosains
Vol.II/No.3/Oktober 2010.
Buku
Panduan Akademik Jurusan PMI Tahun 2014
ecocampus.itb.ac.id/tentang-2/ganesha-hijau,
diakses 9 April 2014
http://www.Kominfo Jatim, “Gugur Gunung Awali Program Eco Campus ITS”,
diakses 19 April 2014
(http://www.wwf.or.id/ “Kerusakan Lingkungan di
Tengah Perubahan Iklim”, diakses 24 April 2014
http://green.kompasiana.com/penghijauan/2011/03/31/,
diakses 10 April 2014
http://politik.kompasiana.com, diakses
10 April 2014
Laporan Perkembangan Jurusan PMI Tahun 2013
Rumusan Hasil Workshop Penyusunan Buku Panduan Akademik Jurusan PMI
Tanggal 9-10 Mei 2014
[1] Disampaikan pada Forum
Diskusi Dosen Jurusan PMI IAIN Walisongo Semarang Tanggal 30 Oktober 2014.
1 Comments
makasih om
ReplyDelete