DIALEKTIKA ORIENTASI
GERAKAN SOSIAL
KEAGAMAAN (ISLAM)DI INDONESIA[1]
Oleh Ahmad Faqih[2]
Abstraks
Gerakan sosial keagamaan dalam
perspektif sosiologis, merupakan suatu proses alamiah sebagai respons dari
setiap kelompok manusia dalam menghadapi perubahan sosial yang terjadi. Boleh
juga disebabkan oleh keinginan yang kuat dari setiap kelompok manusia untuk
mengusahakan terjadinya perubahan yang diharapkan.
Umat Islam di Indonesia dalam menghadapi
tuntutan-tuntutan obyektif sesuai dengan zamannya, dan tuntutan dari doktrin melahirkan
gerakan-gerakan sosial untuk menghadapi dan menyelesaikan problematika sosial
yang ada. Perbedaan kedua hal tersebut mengakibatkan gerakan sosial Islam bervariasi
sesuai dengan karakteristik dan dinamika sosial yang terjadi pada zamannya.
Jika dilihat dari orientasi pada awal
munculnya gerakan sosial keagamaan, pada abad 19 dan awal abad 20, maka tipe
gerakan tersebut lebih dekat dengan gerakan sosial keagamaan muncul sebagai
reaksi terhadap kolonialisme Belanda. Penjajahan Belanda dalam kurun waktu 3,5
abad, telah mengakibatkan penderitaan masyarakat pribumi dalam semua segi
kehidupan. Sebagaimana dicatat dalam sejarah, bahwa gerakan sosial keagamaan
dengan orientasi perjuangan melawan penjajah berhasil dicapai dengan adanya
deklarasi kemerdekaan yaitu proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945.
Dengan keberhasilan ini, orientasi
gerakan sosial keagamaan mengalami
pergeseran dari orientasi perjuangan menjadi berorientasi pada politik praktis.
Hal ini merupakan konsekuensi logis dari perjuangan panjang yang secara
mayoritas dilakukan oleh umat Islam di seluruh tanah air.
Dialektika orientasi gerakan sosial
keagamaan senantiasa terjadi dalam sejarah di Indonesia dengan keuntungan dan
kerugian yang harus dihadapi. Sehingga sulit bagi kita menjustifikasi benar dan
atau salahnya setiap orientasi yang dipilih oleh umat Islam pada setiap fase
sejarah.
Keyword:
gerakan sosial, Islam, Indonesia
Pada awal abad ke-21 ini, umat Islam di Indonesia telah terintegrasi dengan sistim peradaban global yang sarat dengan tantangan-tangan baru sebagai ikutannya. Sejumlah ideology dunia, seperti kapitalisme, materialism, sosialisme, komunisme, demikian bebas memberikan pengaruh melalui media virtual internet. Padahal kalau kita kritisi secara radikal, nilai-nilai yang ditawarkan dari beberapa ideology tersebut, belum tentu sesuai dengan doktrin agama Islam maupun kearifan local dari komunitas umat Islam di nusantara.Seperti pengaruh kapitalisme yang melanda lembaga-lembaga pendidikan Islam sejak pendidikan dasar sampai pendidikan tingkat perguruan tinggi. Lembaga-lembaga milik umat Islam tersebut, telah kehilangan fungsi sosialnya, karena pihak pengelola ‘terjebak’ pada fungsi-fungsi komersial. Semakin favorit lembaga yang dipimpinnya, berbanding lurus dengan mahalnya biaya yang harus dikeluarkan oleh orang tua. Akhirnya yang bisa menikmati pendidikan yang bermutu, untuk mereka yang bernasib baik atau berasal dari golongan menegah ke atas. Sedangkan umat Islam yang bernasib buruk atau berpenghasilan rendah, tidak akan dapat menikmati mutu lembaga pendidikan Islam. Kita bisa memprediksi kader-kader umat Islam yang berkualitas pada masa mendatang, secara kuantitatif akan semakin berkurang. Karena umat Islam yang masuk dalam kategori tidak mampu/miskin jumlahnya lebih banyak menyerupai bentuk piramida normal.
Ketika umat
Islam menghadapi tantangan-tantangan tersebut, pada sebagian komunitas muslim
tidak didampingi oleh elit-elit agama yaitu ulama, ustadz, guru ngaji. Karena
para elit tersebut mulai kehilangan pengaruhnya di masyarakat. Umat Islam lebih
percaya kepada elit-elit baru yang ahli dalam bidangnya masing-masing. Gejala
perubahan otoritas kepemimpinan elit agama ini, berdampak pada rentannya umat
Islam terhadap segala sesuatu yang mereka terima melalui media massa dan media
virtual yang semakin bervariasi. Akhir-akhir ini tidak sedikit umat Islam yang
menjadi korban kejahatan dari dunia maya dalam berbagai bentuk penipuan yang
terorganisir. Seperti penipuan melalui SMS, penipuan melalui face book,
pembobolon rekening tabungan, penipuan melalui pemberian hadiah sebagai
pemenang kuis.
Gerakan sosial sosioreligius
menjadi ‘jalan baru’, bagi umat Islam agar mereka lebih siap dalam menghadapi
tantangan – tangan dunia yang tidak terduga sebelumnya. Gerakan sosial
keagamaan diharapkan mampu memberi penerang bagi umat Islam yang mengalami
kegelisahan dan kebingungan di tengah pusaran peradaban modern.[3]
Selain itu gerakan tersebut juga dapat dimaksimalkan untuk memberikan
pendampingan terhadap umat Islam yang tengah menghadapi problematika yang tidak
mampu dihadapi secara individual. Gerakan sosial keagamaan juga seharusnya
dapat berperan dalam upaya meningkatkan
kualitas kehidupan umat Islam dalam berbagai segi; ekonomi, pendidikan, hukum,
politik, dan budaya.
Tulisan ini akan
mengajak pembaca, untuk mengamati dinamika orientasi yang terjadi pada gerakan
sosial keagamaan di Indonesia. Dapatkah gerakan sosial keagamaan dapat berperan
sesuai dengan tuntutan doktrin agama dengan realitas obyektif yang dihadapi umat Islam? Ataukah sebaliknya gerakan
sosial keagamaan terjebak pada pengaruh ideology dunia, sehingga seolah
menjadi agen-agen rahasia yang dapat merugikan umat Islam sendiri?
B. Orientasi Gerakan
sosial keagamaan Abad 19 - 21
Pada abad ke-19 gerakan
sosial keagamaan dinahkodai pemimpin-pemimpin kharismatik di berbagai daerah.
Para tokoh pemimpin Islam menggunakan solidaritas pedesaan untuk menggerakkan
perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Seorang tokoh kharismatik berhasil
menghimpun para pengikutnya dengan solidaritas mekanis, meminjam istilah dari
sosiologi Durkheim, selalu dicurigai sebagai telah menggalang solidaritas
politik. Sehingga pihak Belanda berusaha mencari dalih agar ditangkap, disuruh
membubarkan para pengikutnya, atau dibuang untuk diasingkan.[4]
Kadangkala diantara gerakan satu dengan satu gerakan lain terdapat suatu
jaringan, tetapi jaringan tersebut karena solidaritas komunal yang bersifat
mekanis, bukan karena perikatan asosiasional. Ikatan jaringan itu terbentuk
karena hubungan darah, perkawinan silang, atau hubungan perguruan (guru-murid).
Orientasi gerakan sampai akhir abad ini tetap konsisten memperjuangkan
kemerdekaan dari tekanan penjajah. Spirit gerakan ini sebenarnya disulut segala
bentuk intimidasi, kekerasan, ketidakadilan, dan keterpasungan dari kebebasan
secara individual dan kolektif. Maka lahirlah elit-elit local di
berbagai daerah dengan menggerakkan sumberdaya lokalnya, untuk berjuang keluar
dari penjajahan. Gerakan sosial keagamaan ini, meminjam istilah Harris (1974)
disebut gerakan revitalisasi atau millenarian. Gerakan ini biasanya muncul
dalam kondisi-kondisi ketegangan atau krisis sosial yang ekstrim: dalam masa
perubahan sosial yang cepat ketika orang-orang terbangun dan mengalami
disorientasi dari pola-pola hidup tradisonal mereka; ketika kebudayaan pribumi
diubah oleh kolonialisme, perang, atau invasi kebudayaan asing; atau ketika
penindasan dan eksploitasi mencapai batas-batas yang tak dapat ditolelir. Dalam
kondisi-kondisi demikian,
gerakan-gerakan milinarian cenderung timbul ketika orang bingung atau
diresahkan oleh apa yang terjadi atas diri meraka, dan ketika tidak tersedia
cara-cara yang sangat sekuler untuk menangani ketegangan ini. Gerakan sosial
keagamaan itu telah terjadi di banyak tempat dalam sejarah dan di seluruh
dunia. Gerakan-gerakan itu dijumpai antara lain di Eropa kuno klasik, abad
pertengahan dan modern, Melanesia, Polinesia, Afrika, Amerika Selatan, Amerika
Utara dan Indonesia.[5]
Munculnya Sarikat
Islam/SI 1912 (Sarikat Dagang Islam/SDI 1911) pada awal abad ke-20 menandakan
dimulainya babak baru dalam gerakan Islam di Indonesia. Untuk pertama kalinya,
kata ‘Islam’ secara eksplisit digunakan sebagai sebuah nama perhimpunan, yang
mengiindikasikan bahwa Islam sekarang telah diaktifkan sebagai basis identitas
kolektif dan sebagai sebuah ideology bagi gerakan-gerakan (proto)
nasionalis.[6] Ciri
pergerakan pada babak ini adalah bahwa tokoh-tokohnya tidak berlatar belakang
pedesaan, tetapi merupakan wakil dari kelas menengah perkotaan. Disamping itu bentuk
organisasi modern juga sudah mulai diterapkan. Itu sebabnya, berbeda dengan
gerakan Islam pada masa sebelumnya yang bercorak komunal, gerakan Islam setelah
awal abad ke-20 lebih bersifat asosiasional dengan solidaritas yang bersifat
organis. Begitu juga organisasi-organisasi yang lahir kemudian, misalnya Boedi
Oetomo, yang berorientasi cultural mencoba menghimpun kekuatan wong cilik
dengan memperluas orientasi gerakannya pada level ekonomi, politik dan agama.
Maka organisasi ini kemudian memperoleh basis yang lebih kuat sehingga ia
menjadi organisasi besar dan mencakup kawasan yang sangat luas.[7]
Sebuah pergeseran besar dalam perkembangan historis BU dilakukan oleh Satiman
Wirjosandjojo, berkait dengan kegagalan BU menerobos batas-batas etnosentrisme
Jawa. Kegagalan ini menjadikan orang-orang yang berasal dari kelompok-kelompok
etnik yang berbeda seperti orang-orang Sunda mendirikan perhimpunan sendiri
yaitu “Pagujuban Pasundan” dengan kantor pusatnya di Bandung dan Tasikmalaya.[8]
Kemudian lahir pula Jong Java tahun 1915 yang membangkitkan kesadaran baru bagi
para pelajar dari latar etnik dan agama yang berbeda akan identitas mereka
sendiri. Manisfestasi dari kesadaran itu tampak pada munculnya perhimpunan
pemoeda-peladjar dengan mengikuti garis etnis dan agama mereka sendiri seperti
Jong Sumatranen Bond (1917), Jong Clebes (1918), Jong Minahasa (1918), Sekar
Rukun (1919), dan beberapa lainnya.[9]
Muhammadiyah yang lahir tahun 1912 dengan berorientasi keagamaan. Muhammadiyah
lebih menampilkan diri sebagai gerakan puritan untuk menghapus beban-beban
cultural Islam yang terkena pengaruh budaya agraris, seperti usaha membersihkan
Islam dari symbol-simbol agama hawl, manaqib, barzanji, dan semacamnya. Bagi
Muhammadiyah symbolic formation semacam itu adalah bid’ah. Dari
orientasi yang cenderung bersifat keagamaan itu, kita bisa menilai bahwa
Muhammadiyah berupaya untuk melakukan pembaharuan kualitatif yang bersifat keagamaan, suatu dialektika intetnal
yang secara inheren memang selalu muncul di dalam Islam. Nahdhotul Ulama (NU),
lahir merupakan reaksi politisasi agama yang dilakukan Sarekat Islam(SI) dan
reaksi terhadap gerakan pembaharuan Muhammadiyah. NU, sebenarnya bertujuan
untuk melestarikan lembaga-lembaga dan tradisi-tradisi Islam agraris dengan
solidaritas mekanis komunalnya. Meskipun pada perkembangan selanjutnya NU juga
berusaha menerapkan bentuk-bentuk pengorganisasian baru, suatu tuntutan yang
yang tidak terelakkan, namun terlihat adanya semacam ambivalensi. Apakah NU
benar-benar akan menggunakan solidaritas asosiasional dengan dibentuknya
struktur organisasi modern, atau apakah ia tetap merupakan organisasi dengan
ikatan-ikatan dan jaringan-jaringan komunal.
Orientasi gerakan
sosial keagamaan menjelang kemerdekaan, ditandai oleh kesadaran yang semakin membaik
tentang perlunya peran umat Islam dalam menghadapi kaum kolonial dengan
mendirikan Majlis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI) yang dipelopori K.H.Mas Mansur
(Muhammadiyah), K.H.Abdul Wahab Chasbullah (NU), dan K.H.Achmad Dahlan
(non-partai). Organisasi ini merupakan embrio pembentukan Masyumi sebagai wadah
aspirasi politik umat Islam.[10]
Kemudian Partai Masyumi pernah memainkan
kartu politik yang menentukan pada awal demokrasi parlementer. Walaupun peran
strategis itu tidak dapat dipertahankan dalam waktu yang lama, sehingga muncul
‘perpecahan’, dimana NU sebagai unsur penting dalam Partai Masyumi memisahkan
diri dan mendirikan Partai NU dengan suatu pernyataan bahwa NU akan meninggalkan
watak jami’yyahnya. Dengan tampilnya NU sebagai partai politik, maka umat Islam
Indonesia terpecah ke dalam empat partai: Masyumi, PSII, NU, dan Perti. Jika
dilihat dari sisi orientasi, gerakan sosial keagamaan mengalami perubahan
kearah orientasi politik praktis. Karena para tokoh pejuang kemerdekaan
mayoritas dari kalangan umat Islam, sehingga posisi strategis ini mendorong
mereka untuk terlibat dalam pembentukan sebuah Negara baru, yang notabenanya
aspirasi umat Islam harus diperjuangkan melalui kekuasaan. Fase perjuangan
mengisi kemerdekaan itu telah ditampilkan selama demokrasi terpimpin yang telah
menjadi catatan sejarah tersendiri. Ia digantikan oleh apa yang disebut sebagai
demokrasi pancasila yang tampaknya masih mencari bentuknya mantap. Demokrasi
ini telah beroperasi di Indonesia selama hampir seperempat abad, dimulai sejak
sekitar tahun 1966. Dengan dikeluarkannya UU No.8 tahun 1985 tentang kepartaian
dan keormasan yang menuntut agar pancasila dijadikan satu-satunya asas dalam
berpartai dan berormas, partai dengan label Islam sudah tidak ada. Melihat
kenyataan ini, sebagian orang berteori bahwa Islam sudah dipisahkan dari
politik praktis.[11] Apalagi
ditampak dengan dikeluarkannya kebijakan fusi dari partai-partai, ke dalam tiga
partai yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Golongan Karya
(Golkar), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Sehingga kesan adanya hegemoni
Negara terhadap masyarakat, seperti dikemukakan Antonio Gramsci, hegemoni
muncul ketika Negara secara ideo-politis mendominasi masyarakat dan kekuatan
sosial politik lainnya. Pada masa awal orde baru, menurut Anderson, Negara
memang bangkit serta mengungguli masyarakat dan bangsa. Kebangkitan yang
dimaksud adalah adanya penataan kelembagaan Negara melalui strategi
sosial-politik, ekonomi dan keamanan yang lebih mengutamakan kepentingan
Negara. Posisi pemerintah yang dominan itu, diperkuat pula oleh bantuan asing
terutama dari Negara-negara barat.[12]
Tidak terkecuali kekuatan-kekuatan politik umat Islam secara bertahap mengalami
pengkerdilan atau marginalisasi. Dengan format politik yang didesain secara
sistemik-hegemonik, mengakibatkan posisi tawar-menawar (bargaining position)
bagi umat Islam kepeda pemerintah, apalagi sikap oposisi banyak mengalami
keterbatasan. Bagi Emerson hilangnya kesempatan untuk mendirikan ‘negara Islam’
telah membuat umat Islam memfokuskan energinya kembali dalam kehidupan dan
aktivitas non-politik. Dikalangan umat Islam kemudian muncul kegairahan
beragama dan aktivitas yang menampilkan wajah ‘Islam kultural’ dalam bentuk
kesemarakan dakwah, meningkatnya publikasi keIslaman, kesungguhan untuk
menampilkan simbol-simbol Islam.
Sikap umat Islam
yang mengambil posisi di bidang kultural, kemudian menimbulkan dinamika
intelektual terutama di kalangan generasi muda yang telah mengenyam pendidikan
di Barat. Pada periode ini, lahir bebaerapa kelompok diskusi dan kajian yang
tumbuh di beberapa kota seperti Jakarta dan Yogyakarta. Khazanah pemikiran
diperkaya lagi oleh pemikiran-pemikiran alternative, baik dalam bidang teologi,
politik, maupun ekonomi. Nama-nama seperti Dawam Rahardjo, Syafi’I Ma’arif,
Abdurrahman Wahid, M.Amien Rais, Kuntowijoyo, Nurcholish Madjid tampil dengan
gagasan segar meamaikan diskursus intelektual tahun 1980-an.[13]
Tulisan-tulisan mereka dalam bentuk buku, monografi, artikel dan komentar di
berbagai media massa cukup mendapat tempat dikalangan generasi muda kelas
menengah kota. Dengan menggunakan pendekatan yang lebih kontekstual, mereka
mengetengahkan fungsionalisasi ajaran Islam untuk mengatasi masalah-masalah
umat Islam seperti kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, dan ketidakadilan
sosial. Karenanya gagasan-gagasan yang mempunyai muatan ideology semacam
‘negara Islam’ sama sekali dinegasikan dan sebagai gantinya justru
memformulasikan pemikiran yang berwawasan keIslaman dan keIndonesiaan yang
inklusif dengan berbagai aliran pemikiran masing-masing.
Tidak berlebihan
jika dikatakan, meningkatnya semangat intelektualitas tersebut telah membawa
perubahan terhadap cara berfikir umat Islam dalam memandang persoalan-persoalan
teologi, politik, dan ekonomi yang muncul dalam konteks keIslaman dan
pembangunan. Hal ini membawa pengaruh lain terutama relasi antara umat Islam
dengan pemerintah sebagaimana tampak dalam periode tahun 1980-an sampai dengan
periode 1990-an. Perubahan yang cukup signifikan adalah lahirnya pola hubungan
yang lebih kooperatif atau akomodatif, dimana kedua pihak menunjukkan saling
pengertian yang bermuara pada muculnya konvergensi. Dari kalangan pemerintah
muncul pengakuan terus-menerus tentang sumbangan konseptual dari para
cendikiawan muda Islam dan ulama dalam mempertemukan gagasan Islam dengan
konsep Negara nasional. Keberhasilan pemerintah mengesahkan UU Pendidikan
Nasional (1988), dan UU Peradilan Agama (1989) bagi kalangan Islam dilihat
sebagai I’tikat pemerintah terhadap umat Islam.[14]
Termasuk pendirian Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI), yang pada
akhirnya tidak hanya memberikan kontribusi konseptual kepada pemerintah, juga
berperan dalam mensuplai sebagian menteri-menteri dalam Kabinet Pembangunan VI
(Majalah Tempo, 8 Desember 1990).
Secara berangsur-angsur
kekuatan sumberdaya umat Islam semakin lama semakin kuat, disamping sebagian
generasi muda Islam mulai menduduki di pusat-pusat kekuasaan, dan sebagian lagi
memperkaut di jalur kultural. Maka tantangan yang dihadapi oleh kekuatan Islam
pada saat itu, tidak lain adalah para penguasa orde baru. Dominasi kekuatan
orde baru yang sangat kuat, ditambah oleh kegagalan proyek pembangunan yang
diadopsi dari konsep Rostow, kondisi sosial ekonomi yang semakin tidak menentu
atau ‘krisis moneter’ melahirkan semangat genarasi muda Islam untuk menuntut
reformasi total dari rezim orde baru. Melalui gerakan mahasiswa, para
cendikiawan muslim terdidik dan dengan dukungan masyarakat secara menyeluruh
akhirnya bisa meruntuhkan kekuatan orde baru.
Kelahiran Orde
reformasi merupakan momentum kembalinya orientasi kekuatan politik umat Islam,
untuk ‘merebut’ kembali peran penting dalam ikut menata kehidupan berbangsa dan
bernegara yang tercerai-berai akibat kegagalan proyek pembangunan orde baru.
Eforia kebebasan dalam berbagai bidang, dalam bidang politik dimanfaatkan oleh
tokoh-tokoh umat Islam mendirikan partai berhaluan Islam (PBB, PKNU, PBR, PKS) dan
partai nasionalis religious (PKB, PAN). Pada
era multipartai ini, kekuatan politik umat Islam mencapai puncak keberhasilan
dengan terpilihnya K.H.Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi presiden RI yang
diusung oleh moyoritas partai-partai Islam dalam kaukus politik ‘poros tengah’
yang digagas oleh Amien Rais dari Partai Amanat Nasional (PAN). Tetapi
keberhasilan ini tidak berlangsung lama, karena partai-partai Islam kembali
tidak solid lagi, dan mencapai titik nadirnya dengan pelengseran Gus Dur
sebagai Presiden yang notabenenya dipelori oleh partai-partai yang mengusungnya,
termasuk di dalamnya partai-partai Islam. Perpecahan dikalangan elit politik
muslim semakin meluas dan hampir semua partai Islam mengalami nasib tragis
tersebut. PKB pecah menjadi PKB versi Muhaimin Iskandar dan PKB versi Gus Dur,
PAN pecah menjadi PAN versi Amien Rais dan Partai Matahari, dan partai-partai
berhaluan Islam yang lain. Hal ini juga merembet pada partai-partai nasionalis
seperti PDI.
Dampak
perpecahan tersebut, diantaranya menguntungkan partai baru yang berhaluan
nasionalis yaitu Partai Demokrat yang kemudian menggerogoti partai-partai yang establish
dan sukses menjadi Presiden Pertama (Susilo Bambang Yudoyono) yang dipilih
langsung oleh rakyat Indonesia pada tahun 2004. Bahkan partai penguasa orde
baru yaitu Partai Golkar tidak sanggup membendung citra positif Partai Demokrat
tersebut. Nasib Golkar tersebut ditambah dengan stigma negatif dari masyarakat
akibat perilaku politik di masa orde baru, terutama perilaku korupsi, kolusi
dan nepotisme (KKN) yang dilakukan oleh sejumlah petinggi Partai Golkar.
Sementara di
jalur cultural, kita melihat pasca kejatuhan orde baru paling sedikit
ada tiga model gerakan yang menjol di ranah public. Yang pertama adalah
gerakan pro syariat, yang kedua gerakan Islam moderat, dan yang ketiga gerakan
dakwah sufistik.[15] Gerakan
pro syariat adalah gerakan Islam politik yang memperjuangkan penegakan syariat
Islam dalam kehidupan bernegara. Bentuk kongkrit perjuangannya adalah seruan
kembali ke Piagam Jakarta---sebuah dokumen konstitusi yang memuat dasar Negara
pancasila dengan rumusan sila pertamanya “Ketuhanan Yang Maha Esa dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Gerakan ini
dikumandangkan dan dipelopori oleh ormas-ormas Islam seperti Komite Indonesia
untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI), Majlis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizbut
Tahrir (HT), Front Pembela Islam (FPI), dan Forum Komunikasi Ahlussunah Wal
Jamaah yang dikenal dengan sebut Laskar Jihad.
Diseberang
gerakan pro syariat adalah gerakan Islam moderat. Kelompok ini menolak dengan
tegas upaya-upaya untuk kembali ke Piagam Jakarta, yang ujung-ujungnya adalah
pembentukan Negara Islam, atau penerapan syariat Islam oleh Negara. Bentuk
Negara bangsa seperti sekarang ini yang mengakomodasi segala keragaman agama
tentu dianggap sudah final. Secara tradisional gerakan Islam moderat ini diwakili
oleh ormas Islam terbesar di tanah air yaitu NU dan Muhammadiyah. Keduanya
selalu kompok dalam menghadapi
manuver-manuver kelompok pro syariat. Kendati demikian, artikulasi kalangan
Islam moderat yang paling nyaring judtru disuarakan oleh aktivis muda di dalam
sebuah aliansi Jaringan Islam Liberal (JIL). Kelompok inilah yang sebenarnya
dengan tegas memposisikan diri berhadap-hadapan dengan kalangan pro syariat.
Bahkan alas an kelahiran JIL ini
terang-terangan dinyatakan untuk melawan fundamentalisme Islam.
Diantara dua
kutub ekstrem itu adalah gerakan dakwah sufistik. Kendati melibatkan “massa”,
gerakan ini memiliki agenda perjuangan politik. Tokoh-tokoh gerakan ini adalah
K.H.Abdullah Gymnastiar (Aa Gym), H.Muhammad Arifin Ilham dan Ustadz Haryono dengan
cirri khas masing-masing. Gerakan Islam model ini menjadi semacam antithesis
bagi citra Islam yang keras yang direpresentasikan oleh kelompok-kelompok
radikal (kelompok pro syariat).
Pada perkembang
selanjutnya memasuki dasawarsa ke 2 padab abad ke 21, gerakan pro syariat
menuai tantangan keras dari umat Islam sendiri yang masuk gerakan moderat dan
gerakan dakwah sufistik. Karena gerakan pro syariat, konsep dan aktivitasnya
dianggap bertentangan dengan gerakan mainstream, dan pada sisi lain
justru memperkuat citra Islam sebagai agama yang ditegakkan dengan cara-cara
kekerasan. Pihak pemerintah melalui Tim
Densus 88 melakukan tindakan-tindakan represif
oleh karena perilaku gerakan Islam pro syariat yang dituduh sebagai
actor intelektual, mendanai, dan mendukung atas berbagai tindakan-tindakan
teror dan pengeboman di berbagai daerah. Badan Inteljen Negara (BIN) terus
melakukan usaha-usaha spionase pada tempat-tempat kantong Islam garis keras
ini, termasuk kampus-kampus seperti UI, ITB, UNDIP, UGM dan kampus-kampus lain.
Karena jaringan kelompok ini melibatkan mahasiswa dengan menggunakan
teknik-teknik pencucian otak, sehingga tidak sedikit kaum muda Islam terseret
dalam pusaran Islam radikal.
C. Kritik tentang Dialektika Orientasi Gerakan sosial
keagamaan (Islam) di Indonesia
Menurut
perspektif sosiologis, gerakan sosial (social movement) adalah “any
broad social alliance of people who are associated in seeking to effect or to
block an aspect of social change within a society”---suatu aliansi sosial
sejumlah orang yang berserikat untuk mendorong atau menghambat suatu segi
perubahan sosial dalam suatu masyarakat.[16]
Berbeda dengan perilaku kolektif lainnya, gerakan sosial ditandai oleh adanya
tujuan jangka panjang yaitu untuk mengubah atau mempertahankan masyarakat atau
institusi yang ada di dalamnya. Misalnya gerakan mahasiswa di beberapa kota di
Indonesia pada tahun 1965-1966 yang dilakukan hampir setiap hari bertujuan
mengubah perimbangan politik dan kebijakan ekonomi pemerintah (pembubaran PKI,
penurunan harga, perubahan cabinet). Giddens (1989) dan Light, Keller dan
Calhoun (1989), menyebutkan ciri lain dari gerakan sosial yaitu penggunaan cara
yang berada di luar institusi yang ada. Berbagai gerakan sosial memang memenuhi
kriteria ini; gerakan mahasiswa tahun 1966, gerakan mahasiswa Amerika menentang
perang Vietnam, dan gerakan Green Peace memang sering berada di luar institusi
yang ada.
Karena
keanekaragaman gerakan sosial sangat besar, maka berbagai ahli sosiologi
mengklasifikannya dengan menggunakan criteria tertentu. David Aberle, misalnya
menggunakan criteria tipe perubahan yang dikehendaki dan besarnya perubahan
yang diinginkan. Tipologi Aberle adalah sebagai berikut:
BESARNYA
PERUBAHAN YANG DIKEHENDAKI
|
TIPE
PERUBAHAN YANG DIKEHENDAKI
|
||
|
Perubahan
Perorangan
|
Perubahan
Sosial
|
|
Sebagian
|
Alternative
Movement
|
Reformative
Movement
|
|
Menyeluruh
|
Redemptive
Movement
|
Transformative
Movement
|
Sumber: Adaptasi
dari Kamanto, 2000, hlm.204
Tipe Pertama, alternatif
movement merupakan gerakan yang bertujuan mengubah sebagian perilaku
perseorangan. Dalam kategori ini dapat kita masukkan berbagai kampanye untuk
mengubah perilaku tertentu, misalnya kampanye agar orang tidak merokok, tidak
meminum minuman keras, dan tidak menyalahgunakan zat. Tipe Kedua, redemptive
movement lebih luas dari tipe pertama, karena yang hendak dicapai adalah
perubahan menyeluruh pada prilaku perseorangan. Gerakan ini kebanyankan
terdapat dibidang agama; melalui gerakan ini, misalnya, perseorangan diharap
untuk bertobat dan mengubah cara hidupnya sesuai dengan ajaran agama. Pada tipe
ketiga, reformative movement, yang hendak diubah bukan perseorangan
melainkan masyarakat namun ruang lingkup yang hendak diubah hanya segi-segi
tententu masyarakat. Misalnya gerakan kaum homoseks untuk memperoleh pengakuan
terhadap gaya hidup mereka atau kaum perempuan untuk memperjuangkan persamaan
hak dengan laki-laki. Sedangkan transformative movement merupakan
gerakan untuk mengubah masyarakat secara menyeluruh. Misalnya gerakan orang
India yang dianggap tak berkasta untuk menentang diskriminasi oleh orang
kasta-kasta bawah, menengah dan ataspun dapat dikategorikan dalam tipe ini
karena keberhasilan gerakan mereka akan berarti pula perombakan mendasar pada
masyarakat India.
Sementara
menurut Peter Burke, bahwa untuk memahami gerakan sosial ada gunanya membedakan
dua tipe gerakan sosial yaitu apakah gerakan tertentu pada dasarnya untuk
memulai sebuah proses perubahan atau gerakan tersebut merupakan reaksi atas
perubahan yang sedang terjadi.[17]
Jika dilihat
dari orientasi pada awal munculnya gerakan sosial keagamaan, pada abad 19 dan
awal abad 20, maka tipe gerakan tersebut lebih dekat dengan tipe yang kedua
yaitu gerakan sosial keagamaan muncul sebagai reaksi terhadap kolonialisme
Belanda. Penjajahan Belanda dalam kurun waktu 3,5 abad, telah mengakibatkan
penderitaan masyarakat pribumi dalam semua segi kehidupan. Hal ini juga
dibenarkan beberapa sosiolog seperti Giddens dan Keller bahwa faktor yang
mendorong terjadinya gerakan sosial adalah terjadinya deprivasi di masyarakat
seperti kehilangan, kekurangan, penderitan, kenaikan harga-harga kebutuhan
pokok. Misalnya terjadi pada saat menjelang kelahiran orde baru, dan menjelang
kelahiran orde reformasi. Seiring dengan adanya sekelompok masyarakat dan umat
Islam yang terdidik, maka untuk memperjuangkan kemerdekaan harus dilakukan
melalui tindakan-tindakan kolektif. Sehingga kepeloporan tokoh-tokoh
kharismatik di berbagai daerah merupakan wujud dari menggeloranya semangat dan
orientasi yang sama untuk terbebas dari belenggu penjajah. Tokoh kharismatik,
dalam istilah Max Weber dengan kelebihan yang dimilikinya sebagai manusia super
mampu menggerakkan berbagai sumberdaya lokal untuk melakukan gerakan-gerakan
perubahan yang diiginkan. Selain itu muncul pula gerakan-gerakan yang lebih
terorganisir dengan mengadopsi organiasi modern dengan tujuan dan kepentingan
masing-masing, baik perubahan yang bersifat sebagian maupun perubahan yang
menyeluruh.
Sebagaimana
dicatat dalam sejarah, bahwa gerakan sosial keagamaan dengan orientasi perjuangan
melawan penjajah berhasil dicapai dengan adanya deklarasi kemerdekaan yaitu
proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945. Dengan keberhasilan ini, orientasi gerakan sosial keagamaan mengalami pergeseran dari orientasi perjuangan
menjadi berorientasi pada politik praktis. Hal ini merupakan konsekuensi logis
dari perjuangan panjang yang secara mayoritas dilakukan oleh umat Islam di
seluruh tanah air. Tetapi pergeseran orientasi ini mengadung resiko di kemudian
hari, karena ketika tokoh-tokoh gerakan sosial keagamaan ini berkecipung di
pemerintahan dan politik praktis, perbedaan pemikiran, kepentingan, dan
strategi mengakibatkan perpecahan dikalangan umat Islam itu sendiri. Sehingga
dampak latennya, meminjam istilah dari Robert Merton perubahan yang menyeluruh
dalam rangka mengisi kemerdekaan kandas di tengah jalan. Karena elit birokrasi
dan elit politik yang berkuasa (umat Islam) sibuk bertikai sendiri, sementara
masalah-masalah sosial seperti ekonomi, hukum, pendidikan, kependudukan,
kesehatan semakin tidak terurus. Inilah yang kemudian melahirkan gerakan
pelengseran orde lama, untuk beralih pada orde baru.
Pada permulaan
orde baru, diakibatkan oleh kegagalan umat Islam memimpin pada orde lama,
akhirnya gerakan sosial keagamaan Islam mengubah orientasi perjuangannnya
melalui jalur kultural. Dengan orientasi ini dari sisi pengembangan sumberdaya
manusia, umat Islam mengalami peningkatan yang luar biasa. Tahun 1980-an dan
1990-an merupakan masa “panen raya” bagi inteligensia muslim Indonesia dari
berbagai gerakan. Bukan hanya jumlah inteligensia yang memiliki
kualifikasi-kualifikasi pendidikan tinggi mencapai tingkatan yang belum pernah
ada sebelumnya, melainkan juga jumlah mereka yang meraih gelar pasca-sarjana
dari luar negeri, terutama dari pusat-pusat studi di Barat, juga lebih besar
dibandingkan dengan periode mana pun dalam sejarah Indonesia. Pada tahun 1985
terdapat 71.516 muslim dari kelompok usia muda menyelesaikan S1. Angka ini
sekitar 0,2 % dari total penduduk muslim dari kelompok usia ini atau sama
dengan 76 % dari total penduduk Indonesia dari kelompok usia ini yang
menyelesaikan S1. Pada tahun 1995, kelompok muslim dari kelompok usia ini yang
menyelesaikan S1 naik menjadi 553.257. Angka ini sama dengan 1,8 % dari total
penduduk muslim dari kelompok usia ini atau 77,5 % dari total penduduk Indonesia
yang menyelesaikan S1 (Latif, 581-582). Data dari Departemen Agama menunjukkan
bahwa antara 1987-1994 saja, tak kurang dari 153 dosen IAIN yang menyelesaikan
studi pasca-sarjananya di universitas-universitas Barat dan 1033 staf masih
sedang berpartisipasi dalam program yang sama.
Dengan semakin
meningkatnya kualitas umat Islam, dan semakin ada kepercayaan dari pemerintah
orde baru---gerakan sosial keagamaan Islam kembali berorientasi pada jalur politik.
Pergeseran orientasi gerakan ini mungkin tidak semata persoalan kualitas
generasi muda yang meningkat dengan pendidikan tinggi dan pasca-sarjana dari
dalam dan luar negeri, juga lebih karena kondisi sosial pada akhir-akhir tahun
1997 mengalami titik balik dengan krisis moneter yang terjadi. Sehingga hasrat
ke jalur politik kembali dilakukan untuk mengawal agenda-agenda reformasi. Ada
kecenderungan nasib gerakan sosial keagamaan periode ini juga hampir serupa
pada saat orde lama, karena perpecahan dikalangan elit parpol Islam dan elit
birokasi Islam mengalami degradasi moral yang ditandai dengan perilaku korupsi
yang semakin mengkhawatirkan.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar ,M.Syafi’I , “Negara dan Cendikiawan Muslim Indonesia Orde Baru”,
dalam Syaful Muzani E.d., Pembangunan
dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Jakarta: LP3ES, 1993.
Burke, Peter, Sejarah dan Teori Sosial, Jakarta: YOI, 2001.
Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus, “Tipologi Gerakan Islam Kontemporer
di Indonesia”, dalam Islam Negara dan Civil Society Gerakan dan Pemikiran
Islam Kontemporer, Jakarta: Paramadina, 2005.
Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi, Bandung:
Mizan, 1998.
Latif , Yudi, Intelingensia Muslim dan Kuasa: Geneologi Inteligensia
Muslim Indonesia Abad Ke-20, Bandung: Mizan, 2005.
Ma’arif , A.Syafi’I, Islam dan Politik di Indonesia, Yogyakarta:
IAIN Sunan Kalijaga Press, 1998.
Mulkhan ,Abdul Munir, Teologi Kebudayaan dan Demokrasi Modernitas,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.
Sanderson ,Stephen K., Makro Sosiologi, terj.Farid Wijidi,
S.Menno Jakarta: RajaGrafindo Persada, 200.
Sugiharto, I.Bambang, Postmodernisme tantangan Bagi Filsafat,
Jakarta: Kanisius, 1996.
Sunarto, Kamanto, Pengantar Sosiologi Edisi Kedua, Jakarta:
Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 2000.
[1]
Artikel ini telah dimuat dalam Jurnal At-Taqaddum IAIN Walisongo Semarang
[2]
Ahmad Faqih, S.Ag, M.Si. Dosen Sosiologi pada Fakultas Dakwah IAIN Walisongo
Semarang.
[3]
Abdul Munir Mulkhan, Teologi Kebudayaan dan Demokrasi Modernitas,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), 126.
[4]
Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi, (Bandung: Mizan,
1998), 195
[5]
Stephen K.Sanderson, Makro Sosiologi, terj.Farid Wijidi, S.Menno
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 200), 532-534
[6]
Yudi Latif, Intelingensia Muslim dan Kuasa: Geneologi Inteligensia Muslim
Indonesia Abad Ke-20, (Bandung: Mizan, 2005), 200.
[7]
Kuntowijoyo, Op.Cit, 196.
[8]
Yudi Latif, Op.Cit, 196.
[9]
Yudi Latif, Ibid, 197.
[10]
A.Syafi’I Ma’arif, Islam dan Politik di Indonesia, (Yogyakarta: IAIN
Sunan Kalijaga Press, 1998), 20
[11]
I b i d, 134
[12]
M.Syafi’I Anwar, “Negara dan Cendikiawan Muslim Indonesia Orde Baru”,
dalam Syaful Muzani E.d., Pembangunan
dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, (Jakarta: LP3ES, 1993), 132.
[13]
I b i d, 139
[14]
I.Bambang Sugiharto, Postmodernisme tantangan Bagi Filsafat, (Jakarta:
Kanisius, 1996), 28
[15]
Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus, “Tipologi Gerakan Islam Kontemporer di
Indonesia”, dalam Islam Negara dan Civil Society Gerakan dan Pemikiran Islam
Kontemporer, (Jakarta: Paramadina, 2005), 488-489
[16]
Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi Edisi Kedua, (Jakarta: Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 2000), 203.
[17]
Peter Burke, Sejarah dan Teori Sosial, (Jakarta: YOI, 2001), 135.
0 Comments