KONTRIBUSI
REVOLUSI SAINS THOMAS S KUHN
BAGI
PERKEMBANGAN FILSAFAT ILMU MODERN
Oleh
Ahmad Faqih, S.Ag, M.Si
A. Latar
Belakang
Perkembangan
filsafat abad 18 oleh para ahli di Jerman disebut zaman Aufklarung atau
zaman pencerahan, berbeda dengan di Inggris mereka menyebut sebagai Enlightenment.[1]
Pemberian nama itu berkaitan dengan zaman dimana manusia mencari cahaya baru
dalam rasionya. Immanuel Kant, mendefinisikan zaman ini sebagai masa dimana
manusia telah keluar dari keadaan bersalah karena tidak menggunakan potensi
rasionya.
Trend
pencerahan di kawasan Eropa secara simultan terjadi dari suatu negara satu ke
negara lainnya. Pencerahan pertama kali terjadi di Inggris, dengan prestasi
ilmiah Isaac Newton dan
perubahan-perubahan politis yang relatif cepat tanpa pertumpahan darah pad
akhir abad ke 17. Kemudian trend pencerahan bergerak menuju Prancis yang
dibawa oleh para intelektual muda seperti Voltaire dan mencapai puncaknya pada
peristiwa Revolusi Prancis 1789.
Kemudian pencerahan berlanjut ke selatan dan timur sampai ke Spanyol,
Italia, dan Jerman, disana ia menghadapi perlawanan dari kaum gereja dan kaum
tradisional. Sikap yang ditunjukkan oleh mereka--- merupakan bentuk
kekhawatiran memudarnya otoritas akal yang akan mengalahkan otoritas gereja. Salah
satu contohnya, Gereja Katholik membuat suatu suatu hukum yang mendasarkan
suatu masalah mengenai ilmu pengetahuan bahwa matahari berjalan mengelilingi
bumi (teori Claudius Ptolomaeus). Pendapat Gereja ini bertentangan dengan teori
heliosentris yang dipegangi kaum ilmuan,[2] bahwa
bumilah yang mengelilingi matahari. Sejak saat ini pula, dimulai pertikaian
panjang antara sains dan dogma agama yang diajarkan gereja, yang berakhir
dengan kemenangan sains.[3]
Dengan
kebebasan akal yang telah dimiliki kembali oleh umat manusia, dan kehidupan
sekulernya secara perlahan-lahan umat manusia akan melepaskan diri dari
otoritas agama dan gereja. Bersamaan dengan itu, agama yang sebelumnya menyatu
dengan filsafat, segera ditinggalkan oleh filsafat. Agama dan filsafat masing-masing
berdiri sendiri-sendiri dan berkembang sesuai dasar dan arah pemikirannya dengan
landasan ontologi, epistemologi, dan aksiologinya.[4] Dalam
tahap berikutnya filsafat juga ditinggalkan oleh cabang keilmuan untuk
mengembangkan spesialisme dengan metode-metode yang disesuaikan dengan sifat
dan corak masing-masing cabang ilmu.
Meskipun
pencerahan tidak antireligius---, beberapa dari partisipannya adalah orang yang
religius. Namun mengikuti Descartes dan ilmu-ilmu baru, yang mengoptimalkan
rasio, dengan otonomi intelektual mereka sendiri akan memunculkan temuan-temuan
yang bertentangan dengan alam pikiran kaum gereja. Tetapi para filsuf abad
pencerahan tetap bergerak maju, untuk mendesakkan “kosmopolitan”, bagi warga
dunia dengan mengabaikan batas-batas nasional, dan afiliasi sektarian. Kebenaran-kebenaran
yang dicari filsuf adalah kebenaran universal, tanpa ada usaha pemaksaan dari
pihak lain untuk menerima suatu kebenaran ilmiah. Tetapi mereka menemukan
sendiri kebenaran itu secara bebas dengan kekuatan akal budi. Para filsuf
percaya akal budi, tidak hanya mampu menguak rahasia dasariah alam juga mampu
membangun kehidupan surgawi, sebuah tatanan masyarakat yang di dalamnya tidak
ada kesengsaraan dan ketidakadilan.[5]
Di
Inggris muncul seorang John Locke (1632-1704) dikenal sebagai salah seorang peletak dasar empirisme. Ia
terpengaruh dengan pandangan keilmiahan Newton dan filsafat Descartes, tetapi
justru ia mengambil jalan berbeda dengan mengkritik padangan rasionalisme Descartes.
Locke menolak gagasan Descartes mengenai ide dan pengetahuan bawaan. Segala
sesuatu yang ada pada pikiran kita, menurut Locke berasal dari pengalaman
indrawi (teori tabularasa). Kita lahir seperti kertas putih dan pengalaman
indrawilah yang mengisi otak dan pikiran itu.[6] Semua
ide menurut Locke berasal dari pengalaman, dan ide itu terdiri dari dua macam: Pertama,
ide-ide yang berasal dari pengalaman lahiriah atau eksternal (external
sensation). Seperti penglihatan, pendengaran, sentuhan/rabaan, penciuman,
atau rasa yang masuk ke otak melaui rangsangan pengamatan dunia eksternal. Kedua,
ide yang berasal dari pengalaman batin atau internal (internal sense atau
reflexion).Bila pengalaman lahir memberi informasi tentang dunia eksternal,
maka pengalaman batin member informasi tentang dunia dalam (jiwa). Informasi
yang dihasilkan adalah hasil aktivitas pemikiran (refleksi) atas ide-ide
kompleks.[7] Empirisme
Locke dibangun di atas suatu prinsip tunggal “semua pengetahuan berawal dari
pengalaman”. Tradisi empirisme Inggris ini segera diikuti oleh uskup Irlandia
George Berkeley dan filsuf David Hume berkebangsaan Skotlandia.
Di
Prancis muncul dua filsuf terkenal yaitu Voltaire (1694-1778) dan Jean-Jacques
Rousseau (1712-1778). Voltaire mengagumi Pencerahan Inggris khususnya filsafat
politik Locke. Voltaire membela akal budi dan otonomi individu untuk melawan
metafisika dan teologi. Sementara Rousseau
adalah pemikir yang lebih tajam dan kompleks. Ia mengembangkan teorinya
tentang hakekat manusia “pada dasarnya baik” dan konsepsinya tentang masyarakat
manusia. Manusia tidak mau bergabung dalam kehidupan masyarakat, bukan karena
ketidakamanan bersama tetapi saling menyadari hakikat moral manusia “yang lebih
tinggi”.
Di
Jerman pembela filosofisnya adalah Immanuel Kant (1714-1804), ia filsuf yang
paling ulung. Karakteristik pemikiran Kant sangat rasional, ia menentang
usaha-usaha Hume yang bermuara pada skeptisisme, ilmu akan dibenarkan secara
rasional termasuk moralitas dan iman yang dianggap sebagai lambang irasionalitas.
Dengan epistemologinya, Kant ingin menunjukkan rasio dapat menjadi kritis
terhadap kemampuannya sendiri dan dapat menjadi “pengadilan tertinggi” terhadap
hasil-hasil refleksinya sendiri yaitu ilmu pengetahuan dan metafisika. Kritik
ini secara historis dimunculkan oleh adanya “bentrokan” yang terjadi antara
tradisi epistemologis rasional-metafisis Jerman seperti Christian Wolf, dengan
tradisi epistemologis-empiris Inggris seperti David Hume.[8]
Perkembangan
filsafat ilmu berikutnya adalah zaman kontemporer yang muncul pada abad 20
sampai sekarang. Bidang fisika menempati kedudukan paling tinggi dan banyak
diperdebatkan di kalangan filsuf.[9] Pada
masa ini lahir tokoh-tokoh filsafat ilmu baru seperti Thomas S. Kuhn, Paul
Feyerabend, N.R. Hanson, Robert Palter, Stephen Toulmin, dan Imre Lakatos.[10] Mereka berambisi pada diskursus sejarah ilmu,
dan peran sejarah ilmu dalam upaya mendapatkan dan mengkonstruksikan wajah ilmu
pengetahuan dan kegiatan ilmiah yang sesunggunya terjadi, Perkembangan baru ini
sering dinamakan “pemberontakan terhadap positivisme”.[11]
Sejarah
ilmu merupakan disiplin ilmu baru, yang berasal dari ilmu fisika. Pada awal
perkembangannya sejarah ilmu ditangani dan dikembangkan oleh ahli fisika,
kemudian tahap berikutnya secara khusus dikerjakan oleh para filsuf. Perubahan
ini mengakibatkan perkembangan pesat dalam kualitas ilmiah disiplin ini.
Sejarah ilmu yang semua praktis, mencari upaya untuk melihat urutan kronologis
prestasi-prestasi ilmiah individual menjadi semakin ketat, teliti.
Penemuan-penemuan pada masa ini meruntuhkan mitos-mitos ilmiah yang terbentuk
masa sebelumnya.
Thomas
S.Kuhn merupakan tokoh yang concern dalam sejarah ilmu melalui karya
monumental yang berjudul The Structure of Sientific Revolution. Makalah
ini akan berusaha membedah pemikiran sang tokoh dalam konteks perkembangan
filsafat ilmu pada abad pertengahan.
B. Pembahasan
1.
Biografi Thomas S. Kuhn
Thomas
Samuel Kuhn yang lebih dikenal dengan sebutan Thomas S Kuhn dilahirkan di
Cincinnati Ohio pada tahun 1922[12], adalah
seorang ahli fisika, sejarawan dan filsuf ilmu berkebangsaan Amerika. Kehidupan
akademik Kuhn dimulai dalam ilmu fisika, beralih ke sejarah ilmu pengetahuan,
dan akhirnya menekuni filsafat ilmu. Pendidikannya diperoleh dari ilmu fisika
mulai sarjana, magister dan doktonya. Ia lulus dari Harvard tahun 1943 dengan
predikat summa cumlaude, tahun 1946 ia menyelesaikan magisternya, dan
gelar doktornya diperoleh tahun 1949.
Setelah
lulus program Ph.D sampai tahun 1956, Kuhn mengajar pada fakultas humaniora di
kampus almamaternya. Ia juga mengikuti kursus dalam studi sejarah, yang
mengantarkannya membaca karya Aristoteles. Hal ini menyebabkan Kuhn concern
pada sejarah ilmu pengetahuan. Selama periode ini karyanya difokuskan pada
teori abad 18 dan awal sejarah yang termodivikasi. Kemudian ia beraih ke sejarah
ekonomi, dan pada tahun 1957 ia menerbitkan buku pertamanya yang berjudul “The Revolution
Copernicus”.[13]
Tahun
1961 Kuhn menjadi professor di California University di Berkeley. Pada rekannya
Stanley Cavell, dikenalkan dengan karya-karya Wittgenstein dan Paul Feyerabend.
Dengan Feyerabend menyusun rancangan The Structure of Scientific of
Revolutions yang diterbitkan tahun 1962. Menurut Kuhn, karyanya ini
membangkitkan minat kalangan ilmuan sosial dan kalangan filsuf. Meskipun
mengakui pentingnya gagasan Kuhn, penerimaan filosofis tetap diperdebatkan, dan
dikritik. Saah satunya adalah kritik yang dilontarkan oleh Dudley Shapare
(1964), klaim Kuhn bahwa para ilmuan tidak menggunakan aturan dalam mencapai
keputusan mereka, sama saja klaim bahwa ilmu pengetahuan yang mereka temukan
tidak rasional.
Pada
tahun 1964 Kuhn berpindah ke Princeton University untuk mengambil posisi
M.Taylor Pyne Profesor Filsafat dan Sejarah Ilmu Pengetahuan. Pada tahun
berikutnya, Kuhn memperoleh kesempatan memperkenalkan gagasannya dalam forum
kolokium internasional di London. Gagasan Kuhn dan Popper dibahas dalam diskusi
tersebut dimana kedua filsuf ini juga bertemua muka. Makalah dari hasil diskusi
tersebut dengan kontribusi Feyerabend dan Lakatos diterbitkan beberapa tahuan
kemudian.
Pada
tahun 1980-an dan 1990-an Kuhn bekerja pada topik sejarah dan filsafat ilmu,
sampai tahun 1996 ia bekerja pada sebuah monograf filosofis untuk mengembangkan
sebuah konsep evolusi perubahan ilmiah dan kemungkinan perspektif psikologi
perkembangan.
Kuhn
termasuk filsuf yang produktif dalam menghasilkan karya-karya ilmiah terutama
yang berkaitan dengan gagasan besarnya. Karya itu dalam bentuk buku dan paper
ilmiah, antara lain:[14]
a.
Buku
-
1957, The
Copernican Revolution: Planetary Astronomy in the Development of Western
Thought, Cambridge Mass: Harvard University Press.
-
1962/1970a, The
Structure of Scientific Revolutions, Chicago: University of Chicago Press
(1970, 2nd edition, with postscript).
-
1977a, The
Essential Tension. Selected Studies in Scientific Tradition and Change,
Chicago: University of Chicago Press.
-
1978, Black-Body
Theory and the Quantum Discontinuity, Oxford: Clarendon Press (2nd edition,
Chicago: University of Chicago Press).
-
2000, The Road
Since Structure, edited by James Conant and John Haugeland, Chicago:
University of Chicago Press.
b.
Paper ilmiah
-
1959, “The Essential
Tension: Tradition and Innovation in Scientific Research”, in The Third
(1959) University of Utah Research Conference on the Identification of
Scientific Talent C. Taylor, Salt Lake City: University of Utah Press:
162–74.
-
1963, “The Function of
Dogma in Scientific Research”, in Scientific Change, A. Crombie
(ed.), London: Heinemann: 347–69.
-
1970b, “Logic of
Discovery or Psychology of Research?”, in Criticism and the Growth of Knowledge,
edited by I. Lakatos and A. Musgrave, London: Cambridge University Press: 1–23.
-
1970c, “Reflections on my
Critics”, in Criticism and the Growth of Knowledge, I. Lakatos and
A. Musgrave (eds.), London: Cambridge University Press: 231–78.
-
1974, “Second Thoughts on
Paradigms”, in The Structure of Scientific Theories F. Suppe
(ed.), Urbana IL: University of Illinois Press: 459–82.
-
1976, “Theory-Change as
Structure-Change: Comments on the Sneed Formalism”Erkenntnis 10:
179–99.
-
1977b, “The Relations between
the History and the Philosophy of Science”, in his The Essential
Tension, Chicago: University of Chicago Press: 3–20.
-
1977c, “Objectivity,
Value Judgment, and Theory Choice”, in his The Essential Tension,
Chicago: University of Chicago Press: 320–39.
-
1979, “Metaphor in
Science”, in Metaphor and Thought, edited by A. Ortony Cambridge:
Cambridge University Press: 409–19.
-
1980, “The Halt and the
Blind: Philosophy and History of Science”, (review of Howson Method and
Appraisal in the Physical Sciences, Cambridge: Cambridge University Press)
British Journal for the Philosophy of Science 31: 181–92.
-
1983a, “Commensurability,
Comparability, Communicability”, PSA 198: Proceedings of the 1982
Biennial Meeting of the Philosophy of Science Association, edited by P.
Asquith. and T. Nickles, East Lansing MI: Philosophy of Science Association:
669–88.
-
1983b, “Rationality and
Theory Choice”, Journal of Philosophy 80: 563–70.
-
1987, “What are
Scientific Revolutions?”, in The Probabilistic Revolution edited
by L. Krüger, L. Daston, and M. Heidelberger, Cambridge: Cambridge University
Press: 7-22. Reprinted in Kuhn 2000: 13–32.
-
1990, “Dubbing and
Redubbing: The Vulnerability of Rigid Designation”, in Scientific
Theories edited by C. Savage, Minnesota Studies in Philosophy of
Science 14, Minneapolis MN: University of Minnesota Press: 298–318.
-
1991a, “The Road Since
Structure”, PSA 1990. Proceedings of the 1990 Biennial Meeting of the
Philosophy of Science Association vol.2, edited by A. Fine, M. Forbes, and
L. Wessels., East Lansing MI: Philosophy of Science Association: 3–13.
-
1991b, “The Natural and
the Human Sciences”, in The Interpretative Turn: Philosophy, Science,
Culture, edited by D. Hiley, J. Bohman, and R. Shusterman, Ithaca NY:
Cornell University Press: 17–24.
-
1992, “The Trouble with
the Historical Philosophy of Science”, Robert and Maurine Rothschild
Distinguished Lecture, 19 November 1991, An Occasional Publication of the
Department of the History of Science, Cambridge MA: Harvard University Press.
-
1993, “Afterwords”
in World Changes. Thomas Kuhn and the Nature of Science, edited by
P. Horwich, Cambridge MA: MIT Press: 311–41.
2.
Pokok Pikiran Revolusi Sains
Sebelum
penulis mendeskripsikan pokok pikiran Thomas S Kuhn tentang revolusi sains,
terlebih dahulu akan diuraikan pengertian paradigm. Paradigma adalah suatu cara
pendekatan investigasi suatu objek atau titik awal mengungkapkan point of
view, formulasi suatu teori, mendesign pertanyaan atau refleksi yang
sederhana. Akhirnya paradigma dapat diformulasikan sebagai keseluruhan sistem
kepercayaan, nilai dan teknik yang digunakan bersama oleh kelompok komunitas
ilmiah. Paradigma identik sebagai sebuah bentuk atau model untuk menjelaskan
suatu proses ide secara jelas. Paradigma sebagai seperangkat asumsi-asumsi
teoritis umum dan hukum-hukum serta teknik-teknik aplikasi yang dianut secara
bersama oleh para anggota suatu komunitas ilmiah.[15]
Paradigma
dipahami sama dengan world view (pandangan dunia), general
perspective (cara pandang umum), atau way of breaking down the complexity
(cara untuk menguraikan kompleksitas). Makna worldview sebagai
kepercayaan, perasaan dan apa-apa yang terdapat dalam pikiran orang yang
berfungsi sebagai motor bagi keberlangsungan dan perubahan sosial dan moral. Perspective
sama dengan world view diartikan sebagai pandangan manusia terhadap
dunia realitas. Penekanannya pada fungsi worldview sebagai motor
perubahan sosial dan moral. Sehingga worldview diartikan sebagai sistem
kepercayaan asas yang integral tentang hakekat diri manusia, realitas, dan tentang
makna eksistensi. Dalam kaitannya dengan aktivitas ilmiah Alparslan Acikgence
memaknai worldview sebagai asas bagi setiap perilaku manusia, termasuk
aktivitas-aktivitas ilmiah sains. Setiap aktivitas manusia akan mencari dan
menguraikan ke dalam worldview.
Suatu worldview
umumnya memiliki 5 struktur konsep atau pandangan yang terdiri dari 1)
struktur konsep tentang ilmu, 2) tentang alam semesta, 3) tentang manusia, 4)
tentang kehidupan, dan 5) tentang nilai moralitas. Paradigma adalah kerangka
interpretatif, yang dipandu oleh seperangkat keyakinan dan perasaan tentang
dunia dan bagaimana harus dipahami dan dipelajari. Paradigma sebagai pandangan
dasar yang concern terhadap subject matter daripada sains.
Sehingga paradigma digunakan untuk merumuskan to learn (ingin
dipelajari), question to answer (mempersoalkan jawaban), atau memfollow
up suatu interpretasi dalam menjawab problem dalam bentuk pertanyaan.
Paradigma dipengaruhi determinan dengan rule of man atau rule of
human being atau rule of other beings. Kebenaran berdasarkan worldview
individualistis, sehingga kebenaran bersifat universal (semesta) tidak ada
klaim terhadap kebenaran bahkan yang terjadi secara objektif adalah agreement
legitimed yang mengarah kepada pembentukan worldview. Paradigma yang
diinterpretasikan ke dalam worldview akan dimunculkan ke permukaan
adalah yang memiliki tingkat important, legitimate, and reasonable yang
kuat dan akurat.[16]
Dalam
pengamatan Kuhn, para ilmuan menekuni bidang ilmunya secara membosankan, di
satu sisi mereka mengembangkan ilmu dan riset berdasarkan metode-metode yang
sudah ada dan baku. Pada sisi lain berusaha memperluas jangkauan metode-metode
tersebut. Dengan kata lain para ilmuan bergerak dalam kerja metode
ilmiah---observasi, deduksi dan konklusi---untuk mencapai objektivitas dan
universalisme ilmu pengetahuan. Kerja seperti ini menurut Kuhn ilmuan bukanlah
para pahlawan pencari kebenaran, tetapi pemecah teka-teki alam berdasarkan
model tertentu yang sudah disepakati bersama.[17]
Model
kerja ilmuan seperti ini dapat menjerumuskan mereka pada “pelanggaran etika
ilmiah”, karena hasil akhir yang hendak dicapai sebetulnya sudah dapat
diantisipasi sebelumnya berdasarkan metode keilmuan yang sudah baku. Mereka
juga cenderung akan memilah-milah dan memisahkan antara yang periferi dari inti
sains. Selain itu praktik sains dan riset yang hanya bergerak di dalam constraint
metode ilmiah sama sekali tidak sesuai dengan sejarah sains.
|
|
|
|
|
|
Ilmu
pengetahuan pada suatu ketika didominasi oleh satu paradigm tertentu, dimana
para ilmuan mendasarkan aktivitas ilmiahnya pada paradigm tersebut (Paradigma
I). Kondisi itu berjalan pada kurun waktu tertentu, dimana para ilmuan
bekerja dan mengembangkan paradigm yang sedang berpengaruh (Normal
Science). Selanjutnya para ilmuan tidak dapat mengelak munculnya
pertentangan dengan penyimpangan yang terjadi, karena Paradigma I tidak memberi
penjelasan terhadap problem keilmuan secara memadai (Anomalies).
Berbagai macam penyimpangan itu secara akumulatif akan melahirkan krisis dimana
Paradigma I disanksikan validitasnya (Crisis). Jika kondisi
krisis sedemikian seriusnya, maka suatu revolusi akan terjadi dikalangan ilmuan
(Revolusi). Selanjutnya revolusi akan melahirkan paradigm
baru yang mampu menyelesaikan persoalan
yang dihadapi paradigm sebelumnya (Paradigma II). Paradigma yang
lama mulai menurun pengaruhnya, digantikan paradigm baru yang lebih dominan.
Demikian seterusnya perkembangan ilmu pengetahuan akan berganti-ganti terus
dengan gugurnya paradigm lama, yang akan digantikan dengan paradigm yang baru.[20] Adapun
penjelasan setiap fase perkembangan paradigm sebagai berikut:
a.
Fase Pra-Paradigma
Fase ini merupakan masa dimana
kerja ilmiah para ilmuan dilakukan tanpa arah dan tujuan tertentu. Muncul
berbagai macam aliran pemikiran yang saling bersaing dan meniadakan satu sama
lain. Mereka memiliki konsepsi yang berbeda-beda mengenai masalah dasar
disiplin ilmu dan kriteria yang harus digunakan untuk mengevaluasi teori-teori yang ada. Dalam karyanya Kuhn
tidak penjelasan yang memadai mengenai fase ini, tetapi fase ini terjadi
sebelum abad ke-19 dimana karya Aristoteles, Newton, Franklin dan lain-lain
memainkan peran penting dalam menjelaskan persoalan – persoalan yang dihadapi
masyarakat dan para ilmuan sendiri.
b.
Fase Sains Normal
Pada fase ini sudah ada satu aliran
pemikiran atau teori yang mendominasi disiplin-disiplin teori atau ilmu
lainnya. Sekolah-sekolah atau aliran pemikiran lainnya berkiblat dan mengakui
superioritasnya, yang dianggap lebih akurat dalam menjelaskan dan memecahkan
masalah yang dihadapi para ilmuan dan masyarakat secara umum.
Menurut Kuhn, keberhasilan
suatu paradima dominan tidak berarti berhasil memecahkan semua masalah tersebut
dengan sempurna. Misalnya analisis Aristoteles tentang gerak, perhitungan
Ptolemeus tentang kedudukan planet, penerapan Lavoisier akan
keseimbangan---pada mulanya janji akan keberhasilan yang dapat ditemukan dalam
contoh-contoh pilihan dan yang belum lengkap.[21]
Para ilmuan yang tunduk pada
paradigm tertentu mengacu matrik-matrik disipliner seperi metode,
prinsip-prinsip teoritis, asumsi-asumsi metafisi, konsep-konsep,
standar-standar evaluasi dalam satu model. Kemudian mereka membentuk komunitas
ilmiah yang diikat oleh pendidikan, interaksi professional dan komunikasi dan
kesamaan minat pada masalah tertentu dan penerimaan atas kemungkinan pemecahan
masalah tertentu.
c.
Fase Anomalies dan Krisis
Pada fase ini para ilmuan mulai
menemukan kesulitan-kesulitan dalam memecahkan masalah keilmuan.
Matriks-matriks yang mereka miliki dari suatu paradigm dominan tidak mampu lagi
memecahkan masalah yang mereka hadapi dan melahirkan krisis dalam komunitas
ilmu. Para ilmuan mulai bersaing kembali dan membentuk strategi-strategi untuk
memecahkan masalah mereka. Keadaan persaingan ini menurut Kuhn akan berakhir
dengan lahirnya paradigm baru.
d.
Fase Paradima Baru
Fase ini menggambarkan masa
dimana para ilmuan sudah menemukan paradigm baru. Pada mulanya mereka secara
diam-diam menerapkan metode, prinsip-prinsip teoritis, asumsi-asumsi metafisis,
dan standar-standar evaluasi yang dibawa paradigm baru. Kemudian secara
perlahan, komunitas ilmuan menerima paradigm baru tersebut. Selanjutnya
paradigm baru ini akan mengalami seperti fase-fase sebelumnya, sampai lahir
kembali paradigm yang baru lagi, dan begitu seterusnya.
3.
Kontribusi Thomas S Kuhn
Dalam
sejarah perkembangan filsafat ilmu sampai abad ke-20, filsafat ilmu modern
mencapai puncaknya di tangan aliran positivism.[22] Tesis
utama aliran positivism yaitu ilmu adalah satu-satunya pengetahuan yang valid,
dan fakta-fakta sajalah yang mungkin dapat menjadi obyek pengetahuan. Maka
positivisme menolak keberadaan segala kekuatan atau subyek di belakang fakta,
dan menolak segala penggunaan metode di luar yang digunakan untuk menelaah
fakta. Menurut Noeng Muhadjir[23],
Ontologik positivism hanya mengakui sesuatu sebagai nyata dan benar,
bila sesuatu itu dapat diamati dengan indra. Apa yang ada di hati, dan akal
pikiran bila tidak dapat dideskripsikan dalam perilaku, tidak dapat ditampilkan
dalam gejala yang teramati, tidak dapat diterima sebagai fakta. Maka sesuatu
itu tidak dapat diterima sebagai dasar untuk membuktikan bahwa sesuatu itu
benar. Misalnya rasa marah agar dapat diamati dan menjadi fakta harus
diekpresikan dalam bentuk perilaku marah terhadap obyek yang dimarahi dalam
bentuk kata-kata, dan tindakan kekerasan. Aliran positivism ini telah banyak
melahirkan ilmu-ilmu baru seperti sosiologi, antropologi, ekonomi, politik,
hukum, psikologi---. Tokoh- tokoh pendukung aliran positivism antara
lain Auguste Comte, John Stuart Mill, Saint Simon, Thomas matus, David Ricardo,
Herbert Spencer, Wilhelm Wundt, A.E. Blumberg, Herbert Fiegel---.
Sains
Barat yang berlandaskan filsafat positivisme itu sampai pertengahan abad ke-20,
mulai goyah ditangan Karl Raimund Popper dengan “falsification test” nya,
ditambah dengan karya Thomas S Kuhn “The Structure of Scientific revolution”,[24] termasuk yang menolak positivisme Richard
Rorty dan Paul feyerabend. Mereka menamakan diri sebagai kelompok
pascapositivisme, sebuah gerakan perlawanan terhadap aliran positivism di
berbagai domain ontology, epistemology, dan aksiologi.
Pascapositivisme
bertolak dari beberapa asumsi dasar: Pertama, fakta tidak bebas
melainkan bermuatan teori. Fakta selalu dipahami dalam sudut pandang teori
tertentu. Kedua, falibilitas teori. Tidak satu pun teori yang sepenuhnya
dapat dijelaskan dengan bukti-bukti empiris, kemungkinan fakta anomaly selalu
ada. Ketiga, fakta tidak bebas nilai melainkan sarat nilai. Keempat,
interaksi antar subyek dan obyek penelitian. Hasil penelitian bukan reportase
obyektif, melainkan hasil interaksi manusia dan semesta yang sarat persoalan
dan senantiasa berubah.[25]
Salah
satu yang dikritik Kuh adalah tesis kesatuan ilmu yang selama ini diadopsi positivism.
Ilmu tidaklah tunggal melainkan plural, ilmuan selalu bekerja dibawah satu payung
paradigm yang memuat asumsi ontologism, metodologis, dan struktur nilai.
Karena itu tidak ada observasi yang netral, semua pengalaman intelektual selalu
dibentuk oleh suatu kerangka konseptual.
Kuhn
mendekonstruksi dogmatism konteks pembuktian yang a-historis positivistic
dengan menekankan pentingnya konteks penemuan ilmu yang historis. Ilmu
pengetahuan tidak sekedar pengumpulan fakta-fakta untuk membuktikan satu teori
yang stagnan. Selalu ada anomali, kejanggalan yang ada pada akhirnya akan
mematahkan teori yang selama ini dominan. Kemudian lahirlah paradigm
baru, dan begitu seterusnya ilmu akan mengalami siklus revolusionernya dari
satu paradigm satu ke paradigm lain. Meskipun gagasan baru yang
diperjuangkan Kuhn banyak menuai kritik dari para ilmuan, tetapi paing tidak ia
“para pengikut-pengikutnya” telah memberikan perspektif baru dalam usaha
menemukan kebenaran ilmu sesuai dengan konteks tempat dan zamannya.
C.
Kesimpulan
Sejarah ilmu pengetahuan selalu menarik untuk
dikaji, karena pada setiap masa selalu ada pergumulan antara dunia teori dan
dunia praktik. Dunia teori yang tidak lain adalah dunianya para ilmuan dituntut
untuk selalu memperdalam, mengembangkan, dan mempublikasikan hasil-hasil
temuanya kepada komunitas akademik dan masyarakat luas. Dunia praktik
membutuhkan hasil-hasil temuan dunia teori untuk memahami fenomena yang
berkembang secara cepat, dan dinamis. Problem-problem sosial juga membutuhkan
landasan teori untuk membedah dan memecahkannya secara memuaskan.
Thomas S Kuhn telah memberi “jalan baru”, bahwa
hasil-hasil kerja para ilmuan mengenal batas waktu dan tempat. Pada suatu masa
dan tempat tertentu, sebuah teori mampu menjadi “lentera” yang dapat menerangi
“kegelapan” manusia. Masa ini yang disebut Kuhn sebagai periode normal
science. Tetapi masa ini akan berakhir ketika “lentera” itu tidak mampu
lagi berfungsi dengan baik, bahkan menimbulkan masalah baru dalam kehidupan.
Pada titik ini sebuah teori mengalami anomali-anomali yang berujung dengan
krisis. Artinya para ilmuan sebaiknya menyadari bahwa seluruh produk ilmiahnya,
mempunyai batas masa dimana pada saat tertentu teori-teorinya yang telah mapan
tidak berlaku lagi. Sehingga mereka juga harus bersikap terbuka untuk
dipertanyakan, dikritisi, diteliti dan diuji ulang. Dengan alur perkembangan
sains yang telah ditunjukkan Thomas S Kuhn, ilmu pengetahuan akan berkembang
sesuai denga kebutuhan dan tuntutan jaman, dalam rangka mencapai tatanan
peradaban yang semakin sempurna.
Beberapa tahun sebelum meninggalnya Kuhn, tahun
1993 dunia ilmu pengetahuan modern dikejutkan oleh Richard Tarnas melalui
karyanya yang berjudul The Passion of
the Western Mind. Dalam salah satu babnya “The Crisis of Modern Science”,
Tarnas menjelaskan secara komprehensip bahwa dunia sains telah mengalami krisis
dengan landasan-landasan yang sangat mendasar sehingga sulit dibantah.[26] Para
ilmuan Barat mulai sadar bahwa mereka telah meninggalkan agama dan beralih
kepada sains yang dinilai dapat menjamin kepastian. Tetapi sekarang sains itu
juga dirundung ketidakpastian sebagai akibat dari tidak benarnya kemampuan
observasi manusia. Dengan demikian sudah saatnya sains modern dievaluasi
sepenuh hati, tapi bagaimana? Kemana sains akan melangkan selanjutnya? Apakah
paradigm integrasi-interkoneksi atau paradigm kesatuan ilmu (unity of
science)? Karena basis filosofis lahirnya kedua paradigm tersebut
adalah suatu klaim bahwa kerusakan-kerusakan dunia yang terjadi dimana-mana
dinisbahkan kepada sains modern. Wallhu a’lam bi al-sawab.
DAFTAR
PUSTAKA
C.Verhaak dan R.Haryono Imam, Filsafat Ilmu
Pengetahuan, Jakarta: Gramedia, 1995.
Damopolili, Mujadid, “Tradisi Pemikiran Ilmiah
Renaisance, Aufklarung serta Zaman Modern”, dalam Jurnal Tadbir Vol.02 No.2
Agustus 2014.
Jalaluddin, Filsafat Ilmu Pengetahuan:
Filsafat, Ilmu Pengetahuan, dan Peradaban, Jakarta: Rajawali Pers, 2014.
Jena, Yeremias, “Thomas Kuhn tentang
Perkembangan Sains dan Kritik Larry Laudan”, dalam Jurnal Melintas 28.2.2012.
Latif, Mukhtar, Orientasi Ke Arah Pemahaman
Filsafat Ilmu, Jakarta: Kencana, 2014.
Muhadjir, Noeng, Filsafat Ilmu Telaah
Sistematis Fungsional Komparatif, Yogyakarta: Rakesarasin, 1998.
Nurkhalis, “Konsep Epistemologi Paradigma Thomas
Kuhn”, dalam Jurnal Substantia vo. 14 No. 2 Oktober 2012.
Ritzer, George, Sociology: A Multiple
Paradigm Sience, terjemahan Alimandan, Jakarta: Rajawali Pers, 1985.
Tarnas, Richard, The Passion of the Western
Mind, New York: Ballantine, 1993.
Solomon, Robert C. dan Kathleen M.Higgins, A
Short History of Philosophy, terjemahan Saud Pasaribu, Jakarta: Bentang
Budaya, 2002.
Sholihan, Pengantar Filsafat: Mengenal Filsafat
melalui Sejarah dan Bidang Kajiannya, Semarang: CV.Karya Jaya Abadi, 2015.
Soewardi, Herman, Mempersiapkan Kelahiran
Sains Tauhidullah, Bandung:Bakti Mandiri, 2000.
Syamsuri, “Doktrin Objektivisme Ilmu Pengetahuan
Modern”, dalam Jurnal Refleksi Vo.13 No.4 April 2013.
Syukur, Suparman, Epistemologi Islam
Skolastik Pengaruhnya pada Pemikiran Islam Modern, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar dan IAIN Walisongo Semarang, 2007.
Kuhn, Thomas S, The Structure of Scientific Revolution.
Terjemahan dalam Bahasa Indonesia
oleh Tjun Sujarman. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000.
Yusuf Lubis, Akhyar, Filsafat
Ilmu: Klasik hingga Kontemporer, Jakarta: Rajawali Pers, 2015.
[1] Mujadid Damopolili, “Tradisi Pemikiran
Ilmiah Renaisance, Aufklarung serta Zaman Modern”, dalam Jurnal Tadbir
Vol.02 No.2 Agustus 2014, hal. 211.
[2] Jalaluddin, Filsafat Ilmu Pengetahun
: Filsafat, Ilmu Pengetahuan, dan Peradaban (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2014), hal. 59.
[3] Sholihan, Pengantar Fisafat :Mengenal
Filsafat melaui Sejarah dan Bidang Kajiannya (Semarang: CV.Karya Abadi
Jaya, 2015), hal. 169.
[4] Suparman Syukur, Epistemologi Islam
Skolastik Pengaruhnya pada Pemikiran Islam Modern (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar dan IAIN Walisongo Semarang, 2007), hal. 171.
[5][5] Robert C.Solomon dan Kathleen M.Higgins,
A Short History of Philosophy, terjemahan Saud Pasaribu (Jakarta:
Bentang Budaya, 2002), hal. 382-383.
[6] Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu:
Klasik hingga Kontemporer (Jakarta: PT.rajaGrafindo Persada, 2015), hal.
119-120.
[7] I b I d, hal.120.
[8] Sholihan, Op.Cit, hal. 179-180.
[9] Mukhtar latif, Orientasi Ke Arah
Pemahaman Filsafat Ilmu (Jakarta:
Kencana, 2014), hal.73.
[10] C.Verhaak dan R.Haryono Imam, Filsafat
Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Gramedia, 1995), hal. 163.
[11] I b I d, hal. 163.
[13] Thomas S Kuhn, I b I d
[14] Thomas S Kuhn, I b I d
[15] Nurkhalis, “Konsep Epistemologi
Paradigma Thomas Kuhn”, dalam Jurnal Substantia vo. 14 No. 2 Oktober 2012,
hal. 212.
[16] Nurkhalis, I b I d
[17] Yeremias Jena, “Thomas Kuhn tentang
Perkembangan Sains dan Kritik Larry Laudan”, dalam Jurnal Melintas 28.2.2012,
hal.167.
[18] Yeremias Jena, Op.Cit, hal.
168-170.
[19] George Ritzer, Sociology: A Multiple
Paradigm Sience, terjemahan Alimandan( Jakarta: Rajawali Pers,1985), hal.
4.
[20] I b
I d, hal. 4-5.
[21] Thomas S Kuhn, The Structure of
Scientific Revolutions, terjemahan Tjun Surjaman (Bandung: Rosdakarya,
2000), hal. 22-23.
[22] Istilah positivism digunakan pertama
kali oleh Saint Simon (1825) yang berakar pada empirisme Fancis Bacon (1600),
lihat Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu Telaah Sistematis Fungsional Komparatif
(Yogyakarta: Rakesarasin, 1998), hal.61.
[23] Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu Telaah
Sistematis Fungsional Komparatif (Yogyakarta, Rakesarasin, 1998), hal. 68.
[24] Herman Soewardi, Mempersiapkan
Kelahiran Sains Tauhidullah (Bandung:Bakti Mandiri, 2000), hal.16.
[25] Syamsuri, “Doktrin Objektivisme Ilmu
Pengetahuan Modern”, dalam Jurnal Refleksi Vo.13 No.4 April 2013, hal.
424.
[26] Herman Soewardi, Op.Cit, hal.20 –
24.
0 Comments