Studi Pemikiran Ilmu Sosial Profetik Kuntowijoyo


STUDI PEMIKIRAN ILMU SOSIAL PROFETIK KUNTOWIJOYO
PERSPEKTIF HERMENEUTIKA PAUL RICOEUR
Oleh Ahmad Faqih, S.Ag, M.Si
A.     Latar Belakang Masalah
Pada akhir abad ke-21 hingga saat ini, kondisi ilmu sosial di negara-negara berkembang seperti Indonesia mengalami masa infertilitas.[1] Hal ini ditandai belum lahirnya gagasan-gasan besar yang mampu memberikan jawaban pemecahan masalah-masalah kemanusiaan dan peradaban yang semakin kompleks dan cepat ditengah perubahan global. Para ilmuan sosial sebagaimana diakui Sunyoto Usman, merasa gelisah dengan kemampuan pelbagai paradigm, teori, metoodologi dan metode penelitian yang ada selama ini, semakin sukar digunakan untuk membaca atau membuat analisis yang sistematis terhadap fenomena yang kian kompleks.[2] Perangkat-perangkat ilmiah tersebut seakan-akan stagnant, hampir tidak menemukan urgensinya.
Kondisi ini semakin mendekati titik kritis, karena ilmuan sosial juga terperangkap dengan “imported theory”[3] dari Barat yang sarat dengan proses interaksi sosial yang terjadi dalam mengkaji fakta-fakta empiris masyarakat Barat. Jika asumsi dan teori tersebut digunakan secara “langsung” untuk meneliti fenomena sosial di negara-negara non Barat dalam kuruan waktu waktu yang berbeda, maka yang akan terjadi adalah irrelevansi dan ketidakterapan.[4] Misalnya, cara pandang Barat tentang modern dan tradisional, modern adalah “progress” dari fase masyarakat sebelumnya dinilai menggunakan nilai dan budaya Barat sebagai titik tolak pemikiran. Berbeda dengan pemikiran yang berkembang saat ini, bahwa “tradisional” yang selalu dikonotasikan Barat dengan suatu kemunduran dan keterbelakangan, oleh ilmuan sosial Asia menemukan nilai-nilai kearifan (local wisdom) dari masyarakat tradisional. Local wisdom ini ada diantaranya mengandung nilai-nilai kemoderenan yang lebih baik daripada modern versi Barat. Hasil akhir dari proses irrelevansi dan ketidakterapan adalah kegagalan untuk menangkap dan menginterpretasikan realitas sosial. Lebih dari itu, kegagalan dalam mencari penyelesaian masalah sosial yang historis. 
Kuntowijowo juga mempunyai pendapat yang sama, bahwa ilmu sosial juga sedang mengalami “kemandegan”[5], karena ilmuan sosial terdominasi dari sisi metodologis atau paradigm tertentu. Paradigma yang ada hanya mampu mendeskripsikan fenomena, itupun belum sepenuhnya mampu mengungkap secara tuntas. Meminjam istilah Thomas S Kuhn, paradigm lama sudah sampai fase anomalies, bahkan fase kritis,[6] sehingga mendesak untuk lahir paradigm baru yang mampu menjawab permasalahan keilmuan yang sedang dihadapi.

Kuntowijoyo melalui gagasan besarnya tentang ilmu sosial profetik menarik untuk dikaji, sebagai salah satu opsi pengembangan ilmu sosial di masa depan. Ilmu sosial yang dibangun menggunakan bahan dasar khazanah peradaban dunia, tidak terbatas peradaban Barat, dan peradaban Islam, juga seluruh warisan pedaban lainnya. Untuk membedah gagasan Kuntowijoyo tentang ilmu sosial profetik, akan digunakan perspektif hermeneutik fenomenologis Paul Ricoeur sebagai metode hermenuetik terbaru yang relevan untuk kepentingan kajian ini.
  
B.     Biografi Kuntowijoyo
Kuntowijoyo lahir di Yogyakarta 18 September 1943, mempelajari ilmu sejarah mulai tingkat sarjana di UGM Yogyakarta tahun 1969, tingkat magister di Connecticut University USA tahun 1974, tingkat doktoral di Columbia University tahun 1980. Disertasi yang berhasil dipertahankan berjudul “Social Change in an Agrarian Society: Madura 1850-1940.[7]
Keseriusan Kuntowijoyo dalam mendalami dan mengembangkan ilmu sejarah terutama sejarah Islam dan problematika sosial umat Islam dapat dilihat dari beberapa karya yang telah dihasilkan dalam bentuk buku antara lain: Dinamika Sejarah Umat Islam (1985), Paradigma Islam:Interpretasi untuk Aksi (1991), Identitas Politik Umat Islam (1997), Muslim Tanpa Masjid:Esai-Esai Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transendental (2001), Maklumat Sastra Profetik (2006), Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika (2006).
Kuntowijoyo juga menunjukkan perhatiannya pada problem sosial yang dihadapi manusia, dalam bentuk karya fiksi seperti puisi, cerpen, novel, drama, dan fabel. Dari sejumlah karya dalam bentuk fiksi ini, Kuntowijoyo menyisipkan kritik sosial dan pesan-pesan religius di dalamnya. Diantara karya-karya itu antara lain:   Suluk Awang-Awang (Puisi, 1975), Isyarat (Puisi, 1976), Makrifat dan Daun Makrifat (Puisi, 1995), Kereta Api yang Berangkat Pagi (Novel, 1966), Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (Cerpen, 1992), Khotbah di Atas Bukit (Novel, 1993), Pasar (Novel, 1972), Mengusir Matahari (Kumpulan Fabel, 1999), Hampir Sebuah Subversi (Kumpulan Cerpen, 1999), Impian Amerika (Novel, 1998), Mantra penjinak Ular (Novel, 2000), Topeng Kayu (drama, 2001).[8]
Bahkan melalui karya fiksi tersebut, Kuntowijoyo mendapat beberapa penghargaan dari pemerintah dan lembaga swasta dari dalam dan luar negeri. Diantara penghargaan yang diraih yaitu:
1)     Penghargaan Sastra Indonesia dari Pemda DIY (1986)
2)     Penghargaan Penulisan Sastra dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1994)
3)     Penghargaan Kalyanakretya Utama untuk Teknologi Sastra dari Menristek (1999)
4)     Penghargaan Satya Lencana Kebudayaan RI (1997)
5)     Pengharhaan Kebudayaan ICMI (1995)
6)     Penghargaan S.E.A Write Award dari Pemerintah Thailand (1999)
7)     Penghargaan ASEAN Award on Culture (1997)[9]

 Dunia seni bagi Kuntowijoyo sudah dikenali sejak kecil, karena ia hidup di lingkungan dunia seni dari ayahnya yang notabenenya seorang dalang. Ia diajarkan mendalang dan mendidiknya untuk mendalami seni dan agama. Jiwa seninya semakin terasah ketika belajar di sekolah, karena kebetulan gurunya juga seorang penyair (Sariamsi Arifin) dan guru lainnya seorang pengarang (Yusmanam). Keduanya juga ikut membentuk seorang Kuntowijoyo kecil gemar membaca dan menulis.[10] Ketika kuliah di Fakultas Sastra UGM, ia juga aktif dalam kegiatan seni dan teater kampus. Kematangan dalam bidang seni ini, menjadikan Kutowijoyo diakui dikalangan seniman Yogyakarta, sehingga ia dipercaya menjabat sebagai Sekretaris Lembaga Kebudayaan Islam (Leksi) dan Ketua Studi Grup Mantika sampai tahun 1971. Kuntowijoyo melalui lembaga seni ini, berkenalan dengan beberapa seniman dan kebudayaan seperti Arifin C. Noer, Syu’ban Asa, Ikranegara, Chaerul Umam, dan Salim Said.[11]

C.      Gagasan Pokok Ilmu Sosial Profetik Kuntowijoyo
a.       Ontologi Ilmu Sosial Profetik
1)     Pengertian Ilmu Sosial Profetik
Adalah ilmu sosial yang berfungsi untuk menjelaskan  fenomena sosial, dan mengubah berdasarkan cita-cita profetik yang diderivasi dari misi historis Islam yaitu humanisasi, liberasi dan transendensi.[12]
2)     Kebutuhan Ilmu Sosial Profetik
Kuntowijoyo menyadari bahwa ilmu sosial yang ada sampai saat ini mengalami kemandegan. Ilmu sosial hanya mampu menjelaskan fenomena sosial, tetapi tidak dapat mengubah fenomena sesuai yang dicitakan masyarakat. Dominasi pemikiran mengenai sistem di Amerika terasa antara Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Setelah dalam Perang Dunia I negeri ini keluar keluar sebagai pemenang, Amerika menjadi sangat optimis akan sistemnya, maka timbullah fungsionalisme dalam sosiologi. Rasa optimis itu sampai Perang Dunia II, fungsionalisme dianggap sebagai satu-satunya ilmu sosial akademis, objektif dan empiris.[13] Fungsionalisme sangat menekankan sistem, ekuilibrium, adaptasi, maintenance, dan latency, sehingga ia tampak konservatif. Kecenderungan sistem ini adalah ideologi kaum borjuis. Fungsionalisme telah mengantarkan Amerika menuju welfare strate.
Tetapi fungsionalisme  yang konservatif itu menuai kritik dari gerakan intelektual The New Left pada akhir 1960-an yang banyak dipengaruhi oleh Critical Theory dari Mazhab Frankfurt, suatu varian dari Marxisme Eropa. Sosiologi jenis ini juga bersifat elitis, terjerat pada profesionalisme organisasi, terikat pada lembaga-lembaga yang mapan, dan hanya menjalankan tugas yang sudah rutin. Sosiologi akademis yang diklaim kaum fungsionalis value free, ternyata tetap berpihak. Memilih teori, pengumpulan data, klasifikasi data, dan intepretasi atas fakta, semuanya ternyata merupakan ketidakbebasan. Laporan-laporan sosiologi di Amerika berpihak pada yang kuat. Misalnya berpihak kepada mayoritas orang kulit putih, tidak pada kulit hitam. Ilmu sosial empiris-analitis selalu menghasilkan ilmu-ilmu yang nomologis, menerangkan saja tanpa mengandung nilai moral mengenai tujuan.
Michael Root  sebagaimana dikutip Kuntowijoyo, membagi ilmu sosial menjadi dua yaitu ilmu sosial liberal dan ilmu sosial perfeksionis. Ilmu sosial liberal, tidak mempromosikan satu cita-cita sosial, nilai kebajikan tertentu. Ia berusaha netral terhadap objek penelitiannya. Tetapi hal ini mungkin terjadi pada tingkat individual peneliti, tidak pada tingkat institusional. Sedangkan ilmu sosial perfeksionis, berusaha menjadi wahana cita-cita kebajikan, bersifat partisan (tidak value neutral). Contoh dari perfeksionisme dalam ilmu sosial adalah Marxisme dan Feminisme. Marxisme mencita-citakan masyarakat tanpa kelas, dan Feminisme mencitakan masyarakat tanpa ekploitasi seksual.
Michael Root  mengusulkan mengganti cita-cita liberal dengan perfeksionisme, yang communitarian, ilmu pengetahuan yang memperhatikan nilai-nilai pada suatu objek penelitian, komunitas. Jenis ilmu sosial yang cocok dengan communitarian adalah partisipatory research, bukan empiris-analitis, dan terapan. Maka suatu ilmu yang mengandung nilai-nilai Islam dan berpihak kepada umat adalah sah sebagai ilmu.
Ilmu sosial profetik memiliki prospek di masa datang, karena didukung oleh maraknya peradaban postmodernisme. Peradaban yang menolak pemisahan antara agama dengan ekonomi, agama dengan politik, dan agama dengan ilmu. Peradaban postmodernisme menjadi sintesa dari peradaban abad pertengahan dengan teosentrisme, dimana wahyu sebagai satu-satunya kebenaran.  Juga peradaban modernism yang dimulai sejak renaissance yang berwatak antroposentrisme. Semangat yang dibangun menghargai nilai-nilai yang dibangunan manusia sendiri.  Maka ilmu yang tidak memisahkan antara agama dan ilmu tentu akan mendapat tempat terhormat di masa yang akan datang.[14]
b.      Epistemologi Ilmu Sosial Profetik
1)  Sumber pengetahuan
Kuntowijoyo mengadopsi konsep epistemologi Islam, memposisikan wahyu (al-Qur’an) sebagai sumber pengetahuan. “Wahyu” menempati posisi sebagai pembentuk realitas, sebab wahyu diakui sebagai “ayat-ayat Tuhan” yang memberikan pedoman dalam pikiran dan tindakan seorang muslim.[15] Ia tidak secara tegas menolak rasionalisme dan empirisme sebagaimana epistemologi yang dikembangkan epistemologi Barat. Sumber pengetahuan hanya berasal dari akal saja, atau observasi saja. Dengan kata lain sumber pengetahuan.  yang digunakan untuk membangun ilmu sosial profetik mencakup wahyu, akal dan observasi.
2)  Pendekatan
Pendekatan yang digunakan adalah struktur transendental yang menempatkan wahyu sebagai salah satu sumber pengetahuan. Pendekatan ini mengakui adanya ide murni, yang sumbernya berasal diri manusia, suatu struktur nilai-nilai yang berdiri sendiri dan bersifat transendental. Al -Qur’an dipahami memiliki bangunan ide yang transendental, suatu orde, atau sistem gagasan yang otonom dan sempurna.[16] Konstruksi pengetahuan yang dimaksud tidak hanya berdasar warisan historis sebagai referensi untuk membangun pemahaman terhadap wahyu. Tetapi pendekatan ini juga perlu mentransendensikan al- Qur’an yang berarti melepaskan diri dari bias-bias penafsiran yang terbatas karena keterbatasan situasi historis. Pengembangan eksperimen-eksperimen ilmu pengetahuan yang berdasarkan pada paradigm al-Qur’an akan memperkaya khazanah ilmu pengetahuan umat manusia. Kegiatan ini akan memjadi rambahan baru munculnya ilmu-ilmu pengetahuan alternatif. Premis-premis normatif al-Qur’an dapat dirumuskan menjadi teori-teori yang empiris dan rasional. Hal ini juga ditempuh oleh ilmu-ilmu empiris dan rasional yang dikembangkan peradaban Barat yang berasal dari paham-paham etik, dan filosofis yang bersifat normatif. Dari ide-ide normatif, perumusan ilmu-ilmu dibentuk sampai pada tingkat yang empiris, dan sering dipakai sebagai basis untuk kebijakan-kebijakan aktual.
3)  Analisis
Kuntowijoyo menawarkan dua pendekatan untuk menganalisis secara komprehensip terhadap al-Qur’an. Pendekatan sintetik - analitik membagi kandungan al-Qur’an menjadi dua bagian yaitu berisi konsep-konsep, dan bagian kedua berisi kisah-kisah sejarah dan amtsal.[17]Pada bagian pertama berisi konsep-konsep yang merujuk kepada pengertian-pengertian normatif khusus, doktrin-doktrin etik, aturan-aturan legal, dan ajaran-ajaran keagamaan pada umumnya. Terdapat konsep-konsep yang abstrak dan yang konkrit. Konsep yang abstrak seperti tentang Allah, tentang malaikat, tentang akhirat, tentang ma’ruf, dan munkar. Sementara konsep yang konkrit merujuk kepada fenomena konkrit dan dapat diamati (observable), misalnya konsep tentang fuqara, dhu’afa, mustadh’afin, zhalimun, aghniya’, mustakbirun, dan mufsidun. Kesemua konsep ini memiliki makna semantic dan kaitannya dengan matriks struktur normatif dan etik tertentu yang melaluinya al-Qur’an dipahami. Dalam kaitan ini konsep al-Qur’an bertujuan memberikan gambaran utuh tentang doktrin Islam dan lebih jauh lagi tentang weltanschauung (pandangan dunia) nya.[18] Bagian kedua dari al-Qur’an berisi kisah-kisah historis dan amtsal (perumpamaan). Al-Qur’an ingin mengajak dilakukannya perenungan untuk memperleh wisdom (hikmah). Melalui kontemplasi terhadap peristiwa-peristiwa historis, dan juga melalui metamor-metamor yang berisi hikmah tersembunyi, manusia diajak untuk merenungkan hakikat dan makna kehidupan. Misalnya rapuhnya rumah laba-laba, luruhnya sehelai daun yang tidak lepas dari pengamatan Tuhan, keganasan samudra yang membuat orang-orang kafir berdo’a.
c.       Aksiologi Ilmu Sosial Profetik
1)  Etika
Etika ilmu sosial profetik dirumuskan dari kandungan al-Qur’an surat ali ‘Imran ayat 110:
“Kuntum khaira ummah ukhrijat linnasi ta’muruna bil-ma’rufi wa tanhauna ‘anal-munkar wa tu’minuna billahi”
(Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah)[19]

Berdasarkan ayat ini tersirat empat hal yaitu konsep umat terbaik, aktivisme sejarah, pentingnya kesadaran, dan etika profetik. Pertama, konsep umat terbaik dengan syarat mengerjakan tiga hal sebagaimana disebut dalam ayat itu. Kedua, aktivisme sejarah adalah suatu bentuk keterlibatan umat Islam dalam sejarah  di tengah-tengah manusia merupakan sesuatu yang ideal bagi  Islam. Ketiga, pentingnya kesadaran, nilai-nilai ilahiah (ma’ruf, munkar, iman) menjadi tumpuan aktivisme Islam. Peranan kesadaran ini membedakan etika islam dengan etika materiaisme, individualism, eksistensialisme, liberalism, sekularisme, dan kapitalisme. Semua etika itu bertentangan dengan Islam, karena yang menentukan kesadaran bukan individu, tetapi Tuhan. Keempat, etika profetik. Ayat ini berlaku umum, untuk siapa saja, baik individu, lembaga, maupun kolektivitas. Ilmu sebagai pelembagaan dari pengalaman, penelitian, dan pengetahuan, diharuskan melaksanakan ayat ini yaitu amar ma’ruf, nahi munkar, dan tu’minuna billah. Ketiganya merupakan unsur yang tidak terpisahkan dari ilmu sosial profetik. Ilmu ini harus merupakan gerakan sadar, yang buahnya akan dipetik dalam waktu lama. 
2)     Tujuan
Kuntowijoyo merumuskan cita-cita profetik berdasarkan misi historis Islam dalam QS. Ali ‘Imran 110. Ada tiga muatan yang dapat diderivasi dari ayat tersebut, sebagai ciri ilmu sosial profetik yaitu nilai humanisasi, liberasi, dan amar ma’ruf untuk diarahkan merekayasa masyarakat menuju cita-cita sosio-etiknya di masa depan.
a)     Humanisasi (amar ma’ruf)
Tujuan humanisasi adalah memanusiakan manusia. Masyarakat dalam alam industri telah menjadikan mereka masyarakat abtrak tanpa wajah  kemanusiaan. Masyarakat mengalami objektivikasi ketika berada di tengah-tengah mesin-mesin politik dan pasar. Ilmu dan teknologi juga membantu kecenderungan reduksionistik yang melihat manusia dengan cara parsial.
b)     Liberasi (nahi munkar)
Tujuan liberasi adalah pembebasan dari kekejaman kemiskinan struktural, keangkuhan teknologi, dan pemerasan kelimpahan. Kita menyatu rasa dengan mereka yang miskin, mereka yang terperangkap dalam kesadaran teknokratis, mereka yang tergusur oleh ekonomi raksasa. Kita ingin membebaskan diri dari belenggu yang kita bangun sendiri.
c)      Transendensi (transendensi)
Tujuan transendensi adalah menambahkan dimensi transendental dalam kebudayaan. Kita sudah banyak menyerah kepada arus hedonism, materialisme, dan budaya yang dekaden. Kita percaya bahwa sesuatu harus dilakukan yaitu membersihkan diri dengan mengingat kembali dimensi transendental yang menjadi bagian sah dari fitrah kemanusiaan. Kita ingin merasakan kembali dunia ini sebagai rahmat Tuhan. Kita ingin hidup kembai dalam suasana yang lepas dari ruang dan waktu, ketika kita bersentuhan dengan kebesahan Tuhan.[20]
D.     Konsep Hermenuetika  Paul Ricoeur
Paul Ricoeur[21] dikalangan pemikir hermenuetika mempunyai pemikiran yang khas, memiliki sisi perbedaan dengan para pemikir sebelumnya. Bleicher menganggapnya sebagai mediator tradisi hermenuetika romantik dari F.D.E. Schleiermacher dan Wilhelm Dilthey dengan tradisi hermeneutika filosofi dari Martin Heidegger.[22] Ricoeur juga dianggap sebagai mediator antara teori hermenuetika Emilio Betti dengan teori hermenuetika Hans George Gadamer ---. Pendek kata Ricoeur mencoba mengembangkan hermenuetika yang telah eksis sebelumnya, dengan membuat sintesa dari kecenderungan hermeneutika yang menekankan analisis teks dari sisi pengarang (pembuat teks), sehingga output kajian hermenuetika sebatas melakukan reproduksi teks. Dengan kecenderungan hermenuetika yang menekankan analisis teks dari sisi penafsir yang dipengaruhi oleh kepentingan ideologi tertentu. Sehingga hasil kajian hermeneutika bersifat subyektif sesuai dengan kepentingan yang menafsirkan.[23]
Ricoeur membuat sintesa baru bahwa kajian hermeneutika berawal dari sisi teks yang diposisikan sebagai sesuatu yang bersifat otonom. Sifat otonom teks yang dimaksudkan untuk melakukan “dekontektualisasi” dan “rekontekstualisasi”.[24] “Dekontekstualisasi” adalah materi suatu teks melepaskan diri dari cakrawala intensi yang terbatas dari pengarangnya, sedangkan “rekontekstualisasi” yaitu suatu teks membuka diri untuk ditafsirkan secara lebih luas dan berbeda-beda. Otonomi dan totalitas suatu teks dapat dilihat dari empat hal: Pertama, makna teks yang terdapat pada pa yang dikatakan terlepas dari proses pengungkapannya, sedangkan dalam bahasa lisan kedua proses itu dapat dipisahkan. Kedua, makna teks tidak lagi terikat kepada pembicara, sebagaimana bahasa lisan. Ketiga, teks tidak terikat lagi dengan konteks semula (otensive reference), ia tidak terikat pada konteks asli pembicaraan. Keempat, teks ditulis bukan untuk pembaca tertentu, melainkan kepada siapapun yang bisa membaca dan tidak terbatas ruang dan waktu.[25]
Konsep teks menurut Ricoeur tidak sebatas bahasa tulisan, tetapi juga setiap tindakan manusia yang memiliki makna yaitu setiap tindakan yang disengaja untuk mencapai tujuan tertentu. Pandangan ini dimaksudkan Ricoeur untuk membangun sebuah epistemologi baru bagi ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Bagi Ricoeur objek kajian kedua ilmu yang disebutkan terakhir ini memiliki karakter sebuah teks, sehingga metodologi kajiannya harus menyerupai kajian interpretasi yang ada pada hermeneutika.[26] Ada empat karakter realitas sosial memiliki persamaan dengan teks: Pertama, fixation of action yaitu realitas sosial dapat dijadikan objek kajian ilmiah, jika telah dibakukan dalam mekanisme dan strukturnya, seperti terbakukannya discourse dalam tulisan. Kedua, the outomatization of action yaitu tindakan sosial memiliki makna objektif yang tidak bergantung pada maksud pengarang, sebagaimana makna teks yang terlepas dari intensitas psikologis pengarang. Ketiga, relevance and importance yaitu teks tidak lagi dipahami sesuai konteks awalnya, nilai penting suatu tindakan sosial tidak lagi terikat nilai pentingnya. Keempat, Human action as an “open work”, yaitu sebuah teks tidak terikat lagi dengan audience awal dalam proses dialogis bahasa lisan, demikian juga suatu perbuatan tidak hanya dapat dinilai oleh orang-orang yang menjadi saksi mata. Tindakan sosial menjadi terbuka untuk selamanya, bagi penanggap baru yang datang dari ruang dan waktu yang berbeda.[27]
Pandangan Paul Ricoeur tentang teks tersebut, ia berusaha untuk mengubah arah hermeneutika sebagai seni interpretasi menuju epistemologi pemahaman dan ontology of understanding.[28] Untuk memperoleh hasil yang lebih baik dari kajian hermeneutika, Ricoeur menggunakan analisis struktural dan analisis fenomenologis sekaligus yang tercermin dari tiga tahap langkah pemahaman sebagai berikut:
1.                  Level semantik
Tugas hermeneutika adalah mencari di dalam teks itu sendiri dinamika yang diarahkan oleh strukturasi karya dan mencari di dalam teks untuk memproyeksikan diri keluar dari dirinya dan melahirkan suatu dunia yang merupakan pesan dari teks itu.[29] Menurut Ricoeur, peran utama makna teks tidak dipegang oleh pengarang, melainkan oleh teks  tertulis. Berbeda dengan bahasa lisan, pembicara menjadi unsur penting yang menentukan makna objektivitas pembicaraan.[30] Ricoeur menentukan beberapa hal untuk menganalisis teks tahap yaitu: Pertama, untuk mengartikan makna verbal teks adalah dengan mengartikannya secara utuh. Kedua, memaknai teks adalah memaknainya sebagai sebuah individu. Ketiga, teks literer melibatkan horizon potensial makna, yang dapat diaktualisasikan dalam cara-cara yang berbeda.[31]
2.                  Level refleksi
Analisis level refleksi dalam perspektif hermenuetik Ricoeur memasuki tahap yang lebih tinggi untuk memperoleh posisi sebagai sebuah filsafat. Tujuan hermeneutik adalah memahami diri sendiri melalui pemahaman orang lain dengan mengatasi jarak waktu yang memisahkan antara hermeneut dengan teks. Dialektika pemahaman teks dengan pemahaman diri ini menandai pertemuan antara dunia yang disarankan teks dengan dunia konkrit pembaca.[32]
3.                  Level eksistensial
Level eksistensial merupakan tahapan paling kompleks yaitu tahap ontologi atau menjelaskan hakekat pemahaman melalui metode interpretasi. Menurut Ricoeur, ontologi pemahaman bisa ditarik kepada arah awal dan ke dalam.  Karena manusia memiliki akar pada kesadarannya terhadap realitas yang lebih tinggi dari kesadarannya sendiri.[33] Melakukan interpretasi atau proses pemaknaan sebuah teks menurut Ricoeur bukanlah berupaya mengungkapkan sesuatu yang tersembunyi di balik teks tersebut atau memahami apa maksud aslinya dalam konteks sosial historis yang tepat dan akurat. Bukan pula sebuah usaha untuk mengetahui apa yang dimaksudkan oleh pengarangnya dengan cara berempati dan masuk ke dalam pemahaman kehidupan psikologisnya. Memaknai sebuah teks adalah sebuah proses panjang dan berliku dalam memahami diri sendiri di hadapan teks dalam konteks yang aktual.

E.      Analisis Pemikiran Ilmu Sosial Profetik Perspektif Hermenuetika  Paul Ricoeur
1.     Level Semantik
Analisis hermeneutika Paul Ricoeur terhadap pemikiran ilmu sosial profetik Kuntowijoyo, dimulai tahap semantik. Teks yang akan dianalisis  terkait ilmu sosial profetik Kuntowijoyo terdapat dalam bukunya yang berjudul “Islam Sebagai Ilmu Epistemologi, Metodologi, dan Etika” diterbitkan Tiara Wacana Yogyakarta tahun 2006 pada bab satu, bab dua, dan bab tiga. Buku ini merupakan kumpulan dari beberapa tulisan pengarang dalam buku berjudul “Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi” tahun 1991, dan “Muslim Tanpa Masjid” tahun 2001. Beberapa bagian yang terkait dengan gagasan ilmu sosial profetik akan diuraikan sebagai berikut:
Pertama, Istilah ilmu sosial profetik secara jelas dituangkan dalam sub bab empat “Perlunya Ilmu Sosial Profetik”. [34]Bagian ini menjelaskan latar belakang perlunya penggunaan istilah ilmu sosial profetik, sebagai tawaran aternatif di tengah perdebatan istilah sebelumnya dengan maksud dan tujuan yang sama yaitu “teologi transformatif”.  Penggunaan istilah teologi dikalangan umat Islam dipahami dengan persepsi yang berbeda-beda. Sebagian mengartikan sebagai suatu cabang khazanah ilmu pengetahuan keislaman yang membahas tentang doktrin ketuhanan, tentang tauhid. Sehingga gagasan pembaharuan teologi sebagai hal yang aneh dan membingungkan, karena hal itu berarti mengubah doktrin sentral Islam mengenai keesaan Tuhan.
Kedua, “Ilmu Sosial Transformatif”.[35] Bagian ini menjelaskan alasan perdebatan dan salah paham yang terus terjadi dari istilah “Teologi Transformatif”, kemudian mengenalkan istilah baru “Ilmu Sosial Transformatif”. Istilah ilmu sosial lebih sesuai dengan lingkup yang menjadi sasaran dari gagasan rekayasa untuk transformasi sosial. Pemilihan istilah “ilmu sosial” akan membuka kemungkinan perumusan ulang, revisi, dan rekonstruksi terus-menerus baik melalui refleksi empiris maupun normatif. Sesuatu yang jauh sulit dilakukan jika menggunakan istilah “teologi”.
Ketiga, “Ilmu Sosial Profetik”.[36] Sub bab ini menjelaskan maksud dan tujuan ilmu sosial profetik, dan karakteritiknya. Ilmu sosial profetik, suatu ilmu yang tidak hanya untuk menjelaskan dan mengubah fenomena sosial, tetapi juga memberi petunjuk ke arah mana transformasi dilakukan, untuk apa, dan oleh siapa. Karakteristik ilmu sosial profetik diantaranya ilmu yang memuat nilai-nilai profetik sebagai nilai dasar dan tujuannya yaitu nilai humanisasi, nilai liberasi, dan nilai transendensi. Karakteristik yang lain, sumber ilmu sosial profetik tidak hanya rasio, empiri, tetapi juga dari wahyu. Ilmu sosial profetik dibangun, tidak perlu khawatir dengan dominasi sains Barat. Karena dalam proses globalisasi dan universalisasi ilmu pengetahuan dan teknologi, harus membuka diri terhadap seluruh warisan peradaban.
Keempat, “Islam: Suatu Paradigma yang Terbuka”.[37] Bagian ini memperkuat argumentasi pentingnya bersikap optimis dan terbuka terhadap seluruh warisan peradaban manusia. Semua peradaban dan semua agama mengalami proses meminjam dan memberi dalam interaksi diantara mereka sepanjang sejarah. Sikap eksklusif adalah sikap yang ahistoris dan tidak realistis. Sikap ini juga dibutuhkan dalam dalam membangun ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kelima, “Epistemologi Paradigma Islam”.[38] Bagian ini memberikan informasi tentang Islam yang ontentik mempunyai kapasitas structuring, baik sebagai agama maupun sebagai ilmu. “Strukturalisme transendental” merupakan metode yang cocok untuk menerapkan ajaran-ajaran sosial yang terkandung dalam teks lama pada konteks sosial masa kini tanpa mengubah strukturnya. Selanjutnya teks ini menjelaskan secara berkesinambungan, konsep struktur, konsep strukturalisme, konsep transendental, dan konsep strukturalisme transendental.
Keenam, “Struktur”[39] merupakan bagian yang menjelaskan asal kata struktur dan ciri-cirinya. Struktur berasal dari bahasa Latin Structure yang artinya bangunan, dari kata structus atau stuere yang berarti menyusun. Lima arti dalam kamus itu semuanya merujuk pada bangunan dalam arti konkrit (misalnya gedung) atau bangunan dalam arti abstrak (misalnya social structure, bangunan sosial). Ada tiga ciri struktur yang dikutip dari Jean Piaget yaitu wholeness (keseluruhan), transformation (perubahan bentuk), dan self-regulation (mengatur diri sendiri).
Ketujuh, “Strukturalisme”[40] bagian yang menunjukkan asal-usul istilah strukturalisme dari Ferdinand de Saussure, dan Claude Levi-Strauss. Ada empat ciri strukturalisme: (1) strukturalisme analitis mempelajari unsur selalu diletakkan di bawah suatu jaringan yang menyatukan unsur-unsurnya. (2) Strukturalisme tidak mencari struktur di permukaan pada peringkat pengamatan, tetapi di bawah atau dibalik realitas empiris. (3) Dalam peringkat empiris keterkaitan antar unsur bisa berupa binary opposition (pertentangan antara dua hal). (4) Strukturalisme memperhatikan unsur-unsur sinkronis, bukan diakronis.
Kedelapan, “Transendental”[41] bagian ini menjelaskan asal usul kata transendental berasal dari bahasa Latin transcendere yang artinya memanjat di/ke atas. Dari kelima arti dalam kamus yang paling dekat dengan keperluan ini dengan makna “abstrak, metafisis”, dan “melampaui”. Transendental dalam arti spiritual akan membantu kemanusiaan menyelesaikan masalah-masalah modern. Teknologi, ilmu, dan manajemen telah membawa kemajuan, tetapi gagal membawa kebahagiaan.
Kesembilan, “Strukturalisme Transendental”[42] akan berguna bagi ilmu alam, kemanusiaan, dan agama untuk menyadari totalitas Islam dan adanya perubahan-perubahan. Dalam Islam terdapat sejumlah agenda supaya agama “sesuai” dengan perubahan-perubahan, yaitu unsur-unsur muamalahnya tidak ketinggalan zaman. Saat ini diperlukan perluasan-perluasan supaya muamalah Islam lebih efektif, yaitu kesadaran adanya perubahan, kesadaran kolektif, kesadaran sejarah, kesadaran adanya fakta sosial, kesadaran adanya masyarakat abstrak, dan kesadaran perlunya objektifikasi.
Kesepuluh, “Pendekatan Sintetik Analitik”[43] bagian yang terkait langsung dengan ilmu sosial profetik terdapat pada sub ini. Pendekatan ini untuk menganalisis secara komprehensip terhadap al-Qur’an. Pendekatan sintetik - analitik membagi kandungan al-Qur’an menjadi dua bagian yaitu berisi konsep-konsep, dan bagian kedua berisi kisah-kisah sejarah dan amtsal. Teks ini memberikan penjelasan cara-cara menerapkan pendekatan sintetik analitik, dengan contoh-contoh yang konkrit.
Kesebelas, “Ilmu Sosial Profetik: Etika Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial”.[44] Bagian ini memberikan informasi tentang etika ilmu sosial profetik dirumuskan dari kandungan al-Qur’an surat ali ‘Imran ayat 110. Ada empat hal penting yang terkandung dalam ayat ini: konsep umat terbaik, aktivisme sejarah, pentingnya kesadaran, dan etika profetik. Pada bagian selanjutnya, teks menjelaskan rumusan cita-cita profetik berdasarkan misi historis Islam dalam QS. Ali ‘Imran 110. Ada tiga muatan yang dapat diderivasi dari ayat tersebut, sebagai ciri ilmu sosial profetik yaitu nilai humanisasi, liberasi, dan amar ma’ruf untuk diarahkan merekayasa masyarakat menuju cita-cita sosio-etiknya di masa depan.
2.     Level Refleksi
Dari perspektif ini, apa yang dikemukakan oleh teks tentang ilmu sosial profetik akan ditelusuri dimensi rujukannya pada sebuah realitas riil yang ada di luar teks tersebut. Untuk memudahkan analisis pada level ini, pada setiap bagian akan ditelusuri dimensi rujukannya sesuai dengan pesan teks yang ada dalam level semantik.
Semua informasi teks yang telah diidentifikasi pada level semantik yang berjumlah 11 bagian, secara substansi mengusung gagasan Kuntowijoyo sebagai pengarang tentang bangunan ilmu sosial profetik. Dari sisi filsafat ilmu, pesan teks yang diinginkan mengacu pada struktur fundamental sebuah ilmu pengetahuan, yang mencakup ontologis, epistemologis, dan aksiologis.[45]  Jujun S.Suriasumantri memasukkan ketiganya sebagai objek formal dari sebuah ilmu pengetahuan[46]. Sedangkan objek  materialnya adalah ilmu pengetahuan itu sendiri.[47]
Substansi teks yang dijelaskan pada level semantik mulai bagian pertama sampai keempat,  mengacu pada gagasan pokok ontologi ilmu sosial profetik. Suatu jenis ontologi beraliran dualisme Rene Descartes, yang mengakui dua macam substansi yaitu jiwa dan materi (tubuh jasmaniah). Selain dua substansi, terdapat substansi absolute yang keduanya bergantung padanya, yaitu Tuhan sebagai satu-satunya substansi mutlak.[48] Substansi materi dapat mengekspresikan dalam berbagai macam bentuk di alam semesta, demikian juga substansi jiwa dalam diri manusia dimana karakter utamanya adalah berpikir. Jiwa manusia mampu mengekspresikan pemikiran secara konseptual. Kedua substansi bisa bersifat independen dan dependen.[49] Itu sebabnya sumber ilmu sosial profetik mencakup rasio, empiri, dan wahyu.[50]
Substansi pesan teks pada level semantik mulai bagian kelima sampai kesepuluh, merujuk kepada gagasan pokok epistemologi ilmu sosial profetik. Bagian kelima sampai kesembilan, teks merujuk pada jenis pendekatan yang digunakan dalam ilmu sosial profetik yaitu pendekatan strukturalisme transendental. Hakekat dari pendekatan strukturalis, ia tidak menyoroti mekanisme sebab-akibat dari suatu fenomena, melainkan tertarik pada konsep bahwa suatu totalitas dapat dipahami sebagai suatu rangkaian unsur-unsur yang saling berkaitan. Sebuah unsur hanya bisa dipahami dalam kaitannya dengan rangkaian total. Jadi yang ditekankan strukturalisme bukan hakekat dari unsur itu sendiri, melainkan relasi diantara unsur-unsur.[51]Diantara tokoh yang menaruh perhatian pada epistemologi strukturalisme adalah Ferdinand de Saussure, dan Claude Levi-Strauss, sebagai paradigm yang dominan di Prancis.[52]
Pada bagian kesepuluh, substansi teks merujuk pada jenis pendekatan dalam ilmu sosial profetik yaitu pendekatan sintetik-analitik. Pendekatan ini dalam implementasinya menggunakan metode deduktif dan induktif yang bersifat saing melengkapi. Cara kerjanya mula-mula menggunakan metode analitis (deduktif), kemudian mendukung simpulannya dengan penalaran sintetik (induktif). [53]
Pada bagian kesebelas, substansi teks merujuk pada gagasan aksiologi ilmu sosial profetik yang diderivasi dari al-Qur’an surat ali ‘Imran ayat 110. Jenis aksiologi ini sesuai dengan pandangan Max Weber bahwa ilmu sosial harus bebas nilai dan menjaga nilai yang relevan (value relevant). Weber tidak yakin dengan aktivitas ilmuan yang tidak terpengaruh dengan kepentingan tertentu. Ilmuan secara subyektif akan memilih pokok masalah dan persoalan analisis yang diajukan berdasarkan kepentingan ilmiah yang bersifat khusus. Hal ini juga sesuai dengan klasifikasi ilmu dari Jurgen Habermas, yaitu kelompok ilmu-ilmu emansipatoris-kritis yang membantu manusia dalam bertindak bersama.[54]

3.     Level Eksistensial
Berdasarkan analisis tahap semantik dan tahap refleksif terhadap pemikiran Kuntowijoyo tentang ilmu sosial profetik, dapat disarikan ide-ide pokoknya dalam tiga bagian penting dalam ranah filsafat ilmu pengetahuan yaitu ontologism, epistemologis, dan aksiologis. Ketiganya merupakan inti bangunan keilmuan ilmu sosial profetiknya. Ontologi yang dipilih adalah jenis ontologi dualism, jenis epistemologinya strukturalisme transendental, dan jenis aksiologinya bebas dan sarat nilai.[55]
Penentuan landasan filosofis itu mengandung makna, bahwa ilmu sosial profetik berkarakter sebagai ilmu yang menyatukan antara wahyu Tuhan dengan temuan pikiran manusia (integralistik).[56] Agama (al-Qur’an) merupakan wahyu Tuhan, yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, diri sendiri, dan lingkungan (fisik, sosial, budaya). Kitab ini merupakan petunjuk etika, kebijaksanaan, dan dapat menjadi “grand theory” ilmu pengetahuan. Tetapi ilmu dibangun tidak hanya berdasarkan wahyu Tuhan saja, ilmu juga bisa lahir dari pikiran manusia tanpa melupakan Tuhan. Jadi sumber pengetahuan itu berasal dari dua sumber yaitu Tuhan dan yang berasal dari manusia, dengan kata lain teoantroposentrisme. Agama dan ilmu harus disatukan kembali, untuk membangun paradigm baru menuju peradaban yang melahirkan kemajuan dan kebahagiaan bagi umat manusia. Alur pertumbuhan ilmu-ilmu integralistik dapat digambarkan sebagai berikut:[57]

 



Ilmu sosial profetik menjadi prototype ilmu pengetahuan yang berangkat dari ide integrasi antara agama dan ilmu. Pola hubungan integrasi antara ilmu dan agama, menurut Ian G.Barbour sebagaimana dikutip Sholihan bertumpu pada keyakinan bahwa kawasan telaah, rancangan penghampiran, dan tujuan keduanya adalah sama atau satu.[58] Kesemuanya bersumber dari ayat-ayat Alloh baik yang diperoleh melalui para nabi, eksplorasi akal, maupun eksplorasi alam.
Pola hubungan antara agama dan sains yang terintegrasi, akan berdampak pada bertambahnya wawasan yang lebih mencakup, sehingga keduanya bisa berkerja sama secara aktif. Sains dapat memberikan bukti ilmiah atas wahyu atau pengalaman mistis, sehingga menambah keyakinan dan keimanan umat beragama. Kesejajaran deskripsi ilmiah modern tentang alam dengan deskripsi tentang hal yang sama. Posisi yang sejajar ini yang dianggap memberikan dukungan obyektif ilmiah pada pengalaman subyektif keagamaan.[59]
Penggunaan pola integrasi ini berangkat dari dua pendekatan: pertama pecarian data ilmiah untuk menawarkan bukti konklusif bagi keyakinan agama, untuk memperoleh suatu kesepakatan dan kesadaran akan eksistensi Tuhan. Kedua, suatu pendekatan untuk menelaah ulang doktrin-doktrin agama dalam relevansinya dengan teori-teori ilmiah. Pendekatan kedua ini, dimaksudkan untuk menguji keyakinan agama dengan kriteria-kriteria tertentu dan dirimuskan sesuai dengan penentuan sains terkini dan selanjutnya pemikiran sains keagamaan ditafsirkan dengan filsafat proses dalam kerangka konseptual yang sama.
Pola integrasi antara agama dan sains sebagaimana ditemukan oleh Ian G.Barbour[60], dalam konteks studi Islam di Indonesia telah menjadi trend yang melahirkan berbagai macam varian integrasi, sebagai dasar akademik lahirnya sejumlah UIN seperti: UIN Maulana Malik Ibrahim Malang[61], UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta[62], UIN Walisongo Semarang[63].
UIN Walisongo Semarang dengan basis integrasi, mengusung paradigm Unity of Sciences  dengan pendekatan teo-antroposentrisme pada pandangan Islam tentang ilmu, yang tercermin dalam dimensi ontologism, epistemologis, dan aksiologis. Secara ringkas Sholihan menjelaskan:
Pertama: dimensi ontologism (whatness) ilmu adalah keseluruhan realitas, baik yang metafisik maupun fisik; baik teks Qur’aniyyah maupun teks Kauniyyah. Implikasi dari pandangan demikian adalah tidak adanya dikotomi objek ilmu antara yang metafisik dan yang fisik, dan juga tidak adanya dikotomi jenis ilmu antara ilmu mengenai teks Qur’aniyyah dan ilmu mengenai teks Kauniyyah. Kedua, dimensi epistemologis (howness) ilmu, yang mengakui dua sumber ilmu, yakni dari Tuhan dan dari manusia sekaigus, baik melaui potensi indera, akal, maupun intuisinya. Implikasi dari pandangan demikian adalah tidak adanya dikotomi metodologis dalam memahami realitas. Ada pluralitas metodologis dalam mendapatkan ilmu, sejalan dengan pluralitas realitas yang menjadi objek ilmu. Ketiga, dimensi aksiologis (whyness) ilmu, yang memiliki dua dimensi nilai, yakni ketuhanan dan nilai kemanusiaan sekaligus. Dengan demikian, pengembangan ilmu secara aksiologis menolak pandangan dikotomis antara orientasi pada nilai ketuhanan atau nilai kemanusiaan semata, lebih-lebih pandangan yang menyatakan bahwa ilmu bebas nilai.”[64]

Untuk mewujudkan gagasan paradigm Unity of Sciences atau disebut juga Wahdah al-‘ulum diperlukan strategi khusus di tengah masih dominannya sains Barat. Kondisi dunia saat ini, yang didesain dengan sains Barat yang sekuler telah menimbulkan kerusakan di berbagai belahan dunia dalam berbagai bidang kehidupan, atau meminjam istilah Thomas S. Khun sudah sampai tahap “krisis”. Tetapi kalangan intelektual (termasuk intelektual muslim) sulit melepaskan dari dominasi itu. UIN Walisongo sebagai pengusung paradigm menetapkan tiga startegi yaitu humanisasi ilmu-ilmu keislaman, spiritualisasi ilmu-ilmu modern, dan revitalisasi local wisdom.[65]

F.      Kesimpulan
Setelah mengkaji pemikiran ilmu sosial profetik dengan pedekatan hermeneutika Paul Rocoeur, ada dua poin penting sebagai kesimpulan akhir antara lain:
  1. Pemikiran ilmu sosial profetik Kuntowijoyo, merupakan bentuk nyata respons intelektual yang perlu dihargai. Karakteristik ilmu sosial yang dibangun--- merefleksikan kedalaman ilmu dan pengalaman yang dimiliki khususnya ilmu sejarah, ilmu sastra,ilmu seni, dan ilmu agama. Meskipun basis yang disebutkan terakhir, tidak sekuat dengan ilmu-ilmu yang sebelumnya, tetapi persentuhan dengan kalangan intelektual muslim dan aktivitas pada lembaga sosial agama Islam, melahirkan sebuah semangat untuk memberikan konstribusi bagi pengembangan ilmu-ilmu Islam di masa yang datang.  
  2. Perspektif hermeneutika Paul Ricoeur yang digunakan dalam mengkaji pemikiran ilmu sosial profetik Kuntowijoyo, dengan tiga langkah kerja semantik, relefleksi, dan eksistensial mampu menempatkan ide-ide teks dengan diskursus aktual yang berkembang di dunia keilmuan yang lebih luas. Sehingga ide-ide teks mempunyai kesempatan untuk berkontribusi dalam hal melengkapi, mengkritik,dan  menyempurnakan suatu diskursus. Jika usaha ini dilakukan secara terus-menerus, sangat mungkin suatu diskursus akan mengalami “kematangan”, yang pada saatnya generasi penerus akan memetik hasilnya bagi pengembangan keilmuan yang lebih sempurna. Ilmu yang mampu mendatangkan kemajuan dan kebahagiaan hidup seluruh umat manusia dan alam.
Demikian paper yang dapat saya susun, menyadari keterbatasan mengakses sumber-sumber yang relevan dengan kajian ini, tentunya masih terdapat beberapa kekurangan yang membutuhkan kritik dan saran dari para pembaca.















DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M.Amin, Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.
Achwan, Rochman, “Ilmu Sosial di Indonesia: Peluang, Persoalan dan Tantangan” dalam Jurnal masyarakat dan Budaya, Edisi Khusus Tahun 2010.
Barbour, Ian G., When Science Meets religion Enemies, Strangers, or Partners, New York: Harperone, 2000.
Bleicher, Josef, Contemporary Hermeneutic, London: Routledge and Kegan Paul, 1980.Brooke, John Hedley and Ronald LN, Science and Religion Around the World, New York: Oxford University, 2011.
E. Sumaryono, Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta : Kanisius, 1999.
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Jakarta: Bentang, 1995.
Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika, Yogyakarta, 2006.
Mundiri, Akmal, “Ian G.Barbour: membedah Pola Hubungan Sains dan Agama”, dalam Hasan Baharus, Akmal Mundiri, dkk., Metodologi Studi Islam Percikan Pemikiran Tokoh dalam Membumikan Agama, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.
Permata, Ahmad Norma “Apendiks Hermenuetika Fenomenologis Paul Ricoeur” dalam Paul Ricoeur, Teori Interpretasi Memahami Teks, Penafsiran, dan Metodologinya (terj) Musnur Hery, Yogyakarta : IRCiSoD, 2004.
Rachmat, Aceng, ET AL., Filsafat Ilmu Lanjutan, Jakarta: Kencana, 2011.
Rahardjo, Mudjia, “Desain Kurikulum Universitas Islam Berbasis Integrasi: Pengalaman UIN Maulana Malik Ibrahim Malang”, Materi Workshop Kurikulum UIN Walisongo Seamarang,  21 Nopember 2014.
Ricoeur, Paul, Hermeneutics  and the Human Sciences, New York: Cambridge, 1998
…………………. Hermeneutika Ilmu Sosial, terjemahan Muhammad Syukri, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2012.
………………… “The Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning”, dalam Musnur Hery (Terj.), Filsafat Wacana Membelah Makna dalam Anatomi Bahasa, Yogyakarta: IRCiSoD, 2002.
Rahardjo, Mudjia,  Hermeneutika Gadamerian Kuasa Bahasa dalam Wacana Politik Gus Dur, Malang: UIN Malang Press, 2007
Ritzer, George, Sociology: A Multiple Paradigm Sience, terjemahan Alimandan, Jakarta: Rajawali Pers, 1985.
Rozoqin, Badiatul dkk., 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia, Yogyakarta: e-Nusantara, 2009.
Rusliwa Somantri, Gumilar, “Membebaskan Ilmu Sosial dari Keterperangkapan Ganda”, dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol.9 Nomor 2 November 2005.
Sholihan, Pengantar Filsafat Mengenal Filsafat melaui Sejarah dan Bidang Kajiannya, Semarang: Karya Abadi Jaya, 2015.
Sholihan, “Paradigma Unity of Sciences dan Implementasinya dalam PengambanganIlmu di IAIN/UIN Walisongo”, Materi Workshop Review Kurikulum Pokja Akademik Projek IsDB IAIN Walisongo, Semarang 13 Nopember 2014, hlm. 8.
Supena, Ilyas, Bersahabat dengan Makna melalui Hermeneutika, Abu Rokhmad (Ed.), Semarang: Program Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang, 2012.
Supena, Ilyas, Filsafat Ilmu Dakwah: Perspektif Filsafat Ilmu Sosial, Semarang: Abshor, 2007.
S.Suriasumantri, Jujun, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Sinar Harapan, 1998.
Syukur, Suparman, Epistemologi Islam Skolastik Pengaruhnya pada Pemikiran Islam Modern, Yogyakarta: IAIN Walisongo dan Pustaka Pelajar, 2007.
Usman, Sunyoto, “Ilmu Sosial Moderen: Perkembangan dan Tantangan”, dalam Jurnal JSP Vo.1 No.3 Maret 1998.
Watloly, Aholiab, Sosio-Epistemologi Membangun Pengetahuan Berwatak Sosial, Yogyakarta: Kanisius, 2013.
W.Poepoprodjo, Hermeneutika, Bandung: Pustaka Setia, 2004.
Zaprulkhan, Filsafat Ilmu Sebuah Analisis Kontemporer, Nuran Hasanah (Ed.), Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2016.

 Catatan Perkuliahan Hermeneutika yang diampu Dr.H.Sholihan, M.Ag tanggal 13 Januari 2017

  



[1] Gumilar Rusliwa Somantri, “Membebaskan Ilmu Sosial dari Keterperangkapan Ganda”, dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol.9 Nomor 2 November 2005, hlm. 159.
[2] Sunyoto Usman, “Ilmu Sosial Moderen: Perkembangan dan Tantangan”, dalam Jurnal JSP Vo.1 No.3 Maret 1998, hlm. 1
[3] Gejala ini juga sama dengan istilah “monocropping”, lihat Rochman Achwan “Ilmu Sosial di Indonesia: Peluang, Persoalan dan Tantangan” dalam Jurnal masyarakat dan Budaya, Edisi Khusus Tahun 2010, hlm. 190.
[4] Gumilar Rusliwa Somantri, Op.Cit, hlm.166.
[5] Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Jakarta: Bentang, 1995: hlm. 209.
[6] George Ritzer, Sociology: A Multiple Paradigm Sience, terjemahan Alimandan( Jakarta: Rajawali Pers,1985), hal. 4.
[7] Kuntowijoyo, Loc.Cit, hlm. 209.
[8] Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006, hlm.136.
[9] I b I d, hlm. 135 – 136.
[10] Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Loc.Cit, hlm. 180.
[11] Badiatul Rozoqin, dkk., 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia, Yogyakarta: e-Nusantara, 2009, hlm. 180.
[12] Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu…, Op.Cit. hlm. 87.
[13] I b I d, hlm. 92-93.
[14] I b I d, 92-97.
[15] I b I d, hlm. 17.
[16] I b I d, hlm. 17-18.
[17] I b I d, hlm. 12.
[18] I b I d, hlm. 12-13.
[19] I b I d, hlm. 91.
[20] I b I d, hlm. 87-88.
[21]  Paul Ricoeur adalah seorang filosof Perancis, dilahirkan di Valence, Paris Selatan pada tanggal 27 Febuari 1913. Selengkapnya lihat E. Sumaryono, Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta : Kanisius, 1999, hlm. 103.
[22]  Josef Bleicher, Contemporary Hermeneutic, London: Routledge and Kegan Paul, 1980, p. 218. Baca juga Mudjia Rahardjo, Hermeneutika Gadamerian Kuasa Bahasa dalam Wacana Politik Gus Dur, Malang: UIN Malang Press, 2007, hlm. 103-104.
[23]  Sholihan, Catatan Perkuliahan Hermeneutika tanggal 13 Januari 2017
[24]  W.Poepoprodjo, Hermeneutika, Bandung: Pustaka Setia, 2004, hlm. 122-123.
[25]  Ilyas Supena, Bersahabat…., Op.Cit, hlm. 155
[26]  I b I d, hlm. 156.
[27] Ahmad Norma Permata “Apendiks Hermenuetika Fenomenologis Paul Ricoeur” dalam Paul Ricoeur, Teori Interpretasi Memahami Teks, Penafsiran, dan Metodologinya (terj) Musnur Hery, Yogyakarta : IRCiSoD, 2004, hlm. 236: Paul Ricoeur, Hermeneutics  and the Human Sciences, New York: Cambridge, 1998, p.203 – 208.
[28]  Ilyas Supena, Bersahabat…, Op.Cit, hlm. 156 – 157.
[29] Teks menurut Paul Ricoeur adalah “setiap diskursus yang dibakukan lewat tulisan”, Lihat Paul Ricoeur, Hermeneutika Ilmu Sosial, terjemahan Muhammad Syukri, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2012, hlm. 196; Ilyas Supena, Bersahabat dengan Makna melalui Hermeneutika, Abu Rokhmad (Ed.), Semarang: Program Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang, 2012, hlm. 159.
[30] Aholiab Watloly, Sosio-Epistemologi Membangun Pengetahuan Berwatak Sosial, Yogyakarta: Kanisius, 2013, hlm. 345.
[31]  Paul Ricoeur, “The Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning”, dalam Musnur Hery (Terj.), Filsafat Wacana Membelah Makna dalam Anatomi Bahasa, Yogyakarta: IRCiSoD, 2002, hlm. 162-165.
[32] Ilyas Supena, Op.Cit, hlm. 162-163.
[33] I b I d,  hlm. 164-165.
[34] Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu…, Op.Cit, hlm. 83.
[35] I b I d, hlm. 85.
[36] I b I d, hlm. 86.
[37] I b I d, hlm. 89.
[38] I b I d, hlm. 27.
[39] I b I d, hlm. 29.
[40] I b I d, hlm. 32.
[41] I b I d, hlm. 34.
[42] I b I d, hlm. 38.
[43] I b I d, hlm. 12.
[44] I b I d, hlm. 91.
[45] Zaprulkhan, Filsafat Ilmu Sebuah Analisis Kontemporer, Nuran Hasanah (Ed.), Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2016, hlm. 48
[46] Jujun S.Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Sinar Harapan, 1998, hlm. 35
[47] Ilyas Supena, Filsafat Ilmu Dakwah: Perspektif Filsafat Ilmu Sosial, Semarang: Abshor, 2007, hlm. 11
[48] Zaprulkhan, Op.Cit, hlm. 52-53.
[49] Zaprulkhan, Op.Cit, hlm. 52-53.
[50] Lihat bagian ketiga level semantik.
[51] Zaprulkhan, Op.Cit, hlm. 173.
[52] Kajian epistemologi juga terdapat aliran empirisme (John Locke), aliran rasionalisme (Rene Descartes), aliran yang merupakan sistesis antara empirisme dan rasionalisme (Immanuel Kant), Baca Sholihan, Pengantar Filsafat Mengenal Filsafat melaui Sejarah dan Bidang Kajiannya, Semarang: Karya Abadi Jaya, 2015, hlm. 245-248.
[53] Aceng Rachmat, ET AL., Filsafat Ilmu Lanjutan, Jakarta: Kencana, 2011, hlm.9.
[54] Ilya Supena, Filsafat Ilmu Dakwah…, Op.Cit, hlm. 38-39.
[55] Bandingkan dengan etika profetik yang digagas Suparman Syukur meliputi: nilai kemaslahatan seluruh umat manusia dan aaaalam semesta, nilai amanah, nilai dakwah, nilai tabsyir, dan nilai ibadah. Lihat Suparman Syukur, Epistemologi Islam Skolastik Pengaruhnya pada Pemikiran Islam Modern, Yogyakarta: IAIN Walisongo dan Pustaka Pelajar, 2007, hlm.210-212.
[56] Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu…, Op.Cit, hlm. 55.
[57] I b I d, hlm. 53.
[58] Sholihan, “Paradigma Unity of Sciences dan Implementasinya dalam PengambanganIlmu di IAIN/UIN Walisongo”, Materi Workshop Review Kurikulum Pokja Akademik Projek IsDB IAIN Walisongo, Semarang 13 Nopember 2014, hlm. 8.
[59] Akmal Mundiri, “Ian G.Barbour: membedah Pola Hubungan Sains dan Agama”, dalam Hasan Baharus, Akmal Mundiri, dkk., Metodologi Studi Islam Percikan Pemikiran Tokoh dalam Membumikan Agama, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011, hlm. 92.
[60] Ian G.Barbour, When Science Meets religion Enemies, Strangers, or Partners, New York: Harperone, 2000; John Hedley Brooke and Ronald LN, Science and Religion Around the World, New York: Oxford University, 2011
[61] Lihat Mudjia Rahardjo, “Desain Kurikulum Universitas Islam Berbasis Integrasi: Pengalaman UIN Maulana Malik Ibrahim Malang”, Materi Workshop Kurikulum UIN Walisongo Seamarang,  21 Nopember 2014.
[62] Lihat M.Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.
[63] Lihat Sholihan, “Paradigma Unity of Sciences dan Implementasinya dalam Pengambangan Ilmu di IAIN/UIN Walisongo”, Materi Workshop Review Kurikulum Pokja Akademik Projek IsDB IAIN Walisongo, Semarang 13 Nopember 2014.
[64] I b I d, hlm. 13-15.
[65] I b I d,  hlm. 16.

Post a Comment

0 Comments