STUDI PEMIKIRAN ILMU SOSIAL
PROFETIK KUNTOWIJOYO
PERSPEKTIF
HERMENEUTIKA PAUL RICOEUR
Oleh Ahmad Faqih, S.Ag, M.Si
A. Latar
Belakang Masalah
Pada akhir abad ke-21 hingga saat ini, kondisi ilmu sosial
di negara-negara berkembang seperti Indonesia mengalami masa infertilitas.[1] Hal ini
ditandai belum lahirnya gagasan-gasan besar yang mampu memberikan jawaban
pemecahan masalah-masalah kemanusiaan dan peradaban yang semakin kompleks dan
cepat ditengah perubahan global. Para ilmuan sosial sebagaimana diakui Sunyoto
Usman, merasa gelisah dengan kemampuan pelbagai paradigm, teori, metoodologi
dan metode penelitian yang ada selama ini, semakin sukar digunakan untuk
membaca atau membuat analisis yang sistematis terhadap fenomena yang kian
kompleks.[2]
Perangkat-perangkat ilmiah tersebut seakan-akan stagnant, hampir tidak
menemukan urgensinya.
Kondisi ini semakin mendekati titik kritis, karena ilmuan
sosial juga terperangkap dengan “imported theory”[3] dari
Barat yang sarat dengan proses interaksi sosial yang terjadi dalam mengkaji
fakta-fakta empiris masyarakat Barat. Jika asumsi dan teori tersebut digunakan
secara “langsung” untuk meneliti fenomena sosial di negara-negara non Barat
dalam kuruan waktu waktu yang berbeda, maka yang akan terjadi adalah
irrelevansi dan ketidakterapan.[4]
Misalnya, cara pandang Barat tentang modern dan tradisional, modern adalah
“progress” dari fase masyarakat sebelumnya dinilai menggunakan nilai dan budaya
Barat sebagai titik tolak pemikiran. Berbeda dengan pemikiran yang berkembang
saat ini, bahwa “tradisional” yang selalu dikonotasikan Barat dengan suatu
kemunduran dan keterbelakangan, oleh ilmuan sosial Asia menemukan nilai-nilai
kearifan (local wisdom) dari masyarakat tradisional. Local wisdom
ini ada diantaranya mengandung nilai-nilai kemoderenan yang lebih baik daripada
modern versi Barat. Hasil akhir dari proses irrelevansi dan ketidakterapan
adalah kegagalan untuk menangkap dan menginterpretasikan realitas sosial. Lebih
dari itu, kegagalan dalam mencari penyelesaian masalah sosial yang historis.
Kuntowijowo juga mempunyai pendapat yang sama, bahwa ilmu
sosial juga sedang mengalami “kemandegan”[5], karena
ilmuan sosial terdominasi dari sisi metodologis atau paradigm tertentu.
Paradigma yang ada hanya mampu mendeskripsikan fenomena, itupun belum
sepenuhnya mampu mengungkap secara tuntas. Meminjam istilah Thomas S Kuhn,
paradigm lama sudah sampai fase anomalies, bahkan fase kritis,[6] sehingga
mendesak untuk lahir paradigm baru yang mampu menjawab permasalahan keilmuan
yang sedang dihadapi.
Kuntowijoyo melalui gagasan besarnya tentang ilmu sosial profetik menarik untuk dikaji, sebagai salah satu opsi pengembangan ilmu sosial di masa depan. Ilmu sosial yang dibangun menggunakan bahan dasar khazanah peradaban dunia, tidak terbatas peradaban Barat, dan peradaban Islam, juga seluruh warisan pedaban lainnya. Untuk membedah gagasan Kuntowijoyo tentang ilmu sosial profetik, akan digunakan perspektif hermeneutik fenomenologis Paul Ricoeur sebagai metode hermenuetik terbaru yang relevan untuk kepentingan kajian ini.
B. Biografi
Kuntowijoyo
Kuntowijoyo lahir di Yogyakarta 18 September 1943,
mempelajari ilmu sejarah mulai tingkat sarjana di UGM Yogyakarta tahun 1969,
tingkat magister di Connecticut University USA tahun 1974, tingkat doktoral
di Columbia University tahun 1980. Disertasi yang berhasil dipertahankan
berjudul “Social Change in an Agrarian Society: Madura 1850-1940.[7]
Keseriusan Kuntowijoyo dalam mendalami dan mengembangkan ilmu
sejarah terutama sejarah Islam dan problematika sosial umat Islam dapat dilihat
dari beberapa karya yang telah dihasilkan dalam bentuk buku antara lain:
Dinamika Sejarah Umat Islam (1985), Paradigma Islam:Interpretasi untuk Aksi
(1991), Identitas Politik Umat Islam (1997), Muslim Tanpa Masjid:Esai-Esai
Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transendental (2001),
Maklumat Sastra Profetik (2006), Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi,
dan Etika (2006).
Kuntowijoyo juga menunjukkan perhatiannya pada problem
sosial yang dihadapi manusia, dalam bentuk karya fiksi seperti puisi, cerpen,
novel, drama, dan fabel. Dari sejumlah karya dalam bentuk fiksi ini,
Kuntowijoyo menyisipkan kritik sosial dan pesan-pesan religius di dalamnya.
Diantara karya-karya itu antara lain: Suluk Awang-Awang (Puisi, 1975), Isyarat (Puisi,
1976), Makrifat dan Daun Makrifat (Puisi, 1995), Kereta Api yang Berangkat Pagi
(Novel, 1966), Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (Cerpen, 1992), Khotbah di Atas
Bukit (Novel, 1993), Pasar (Novel, 1972), Mengusir Matahari (Kumpulan Fabel,
1999), Hampir Sebuah Subversi (Kumpulan Cerpen, 1999), Impian Amerika (Novel,
1998), Mantra penjinak Ular (Novel, 2000), Topeng Kayu (drama, 2001).[8]
Bahkan melalui karya fiksi tersebut, Kuntowijoyo mendapat
beberapa penghargaan dari pemerintah dan lembaga swasta dari dalam dan luar
negeri. Diantara penghargaan yang diraih yaitu:
1)
Penghargaan Sastra Indonesia dari Pemda DIY
(1986)
2)
Penghargaan Penulisan Sastra dari Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1994)
3)
Penghargaan Kalyanakretya Utama untuk Teknologi
Sastra dari Menristek (1999)
4)
Penghargaan Satya Lencana Kebudayaan RI (1997)
5)
Pengharhaan Kebudayaan ICMI (1995)
6)
Penghargaan S.E.A Write Award dari Pemerintah
Thailand (1999)
7)
Penghargaan ASEAN Award on Culture (1997)[9]
Dunia seni bagi Kuntowijoyo sudah dikenali
sejak kecil, karena ia hidup di lingkungan dunia seni dari ayahnya yang
notabenenya seorang dalang. Ia diajarkan mendalang dan mendidiknya
untuk mendalami seni dan agama. Jiwa seninya semakin terasah ketika belajar di
sekolah, karena kebetulan gurunya juga seorang penyair (Sariamsi Arifin) dan
guru lainnya seorang pengarang (Yusmanam). Keduanya juga ikut membentuk seorang
Kuntowijoyo kecil gemar membaca dan menulis.[10] Ketika
kuliah di Fakultas Sastra UGM, ia juga aktif dalam kegiatan seni dan teater
kampus. Kematangan dalam bidang seni ini, menjadikan Kutowijoyo diakui
dikalangan seniman Yogyakarta, sehingga ia dipercaya menjabat sebagai Sekretaris
Lembaga Kebudayaan Islam (Leksi) dan Ketua Studi Grup Mantika sampai tahun
1971. Kuntowijoyo melalui lembaga seni ini, berkenalan dengan beberapa seniman
dan kebudayaan seperti Arifin C. Noer, Syu’ban Asa, Ikranegara, Chaerul Umam,
dan Salim Said.[11]
C. Gagasan
Pokok Ilmu Sosial Profetik Kuntowijoyo
a.
Ontologi Ilmu Sosial Profetik
1) Pengertian
Ilmu Sosial Profetik
Adalah
ilmu sosial yang berfungsi untuk menjelaskan
fenomena sosial, dan mengubah berdasarkan cita-cita profetik yang
diderivasi dari misi historis Islam yaitu humanisasi, liberasi dan
transendensi.[12]
2) Kebutuhan
Ilmu Sosial Profetik
Kuntowijoyo menyadari bahwa ilmu sosial yang ada sampai saat
ini mengalami kemandegan. Ilmu sosial hanya mampu menjelaskan fenomena
sosial, tetapi tidak dapat mengubah fenomena sesuai yang dicitakan masyarakat.
Dominasi pemikiran mengenai sistem di Amerika terasa antara Perang Dunia I dan
Perang Dunia II. Setelah dalam Perang Dunia I negeri ini keluar keluar sebagai
pemenang, Amerika menjadi sangat optimis akan sistemnya, maka timbullah
fungsionalisme dalam sosiologi. Rasa optimis itu sampai Perang Dunia II,
fungsionalisme dianggap sebagai satu-satunya ilmu sosial akademis, objektif dan
empiris.[13]
Fungsionalisme sangat menekankan sistem, ekuilibrium, adaptasi, maintenance,
dan latency, sehingga ia tampak konservatif. Kecenderungan sistem ini adalah
ideologi kaum borjuis. Fungsionalisme telah mengantarkan Amerika menuju welfare
strate.
Tetapi fungsionalisme
yang konservatif itu menuai kritik dari gerakan intelektual The New
Left pada akhir 1960-an yang banyak dipengaruhi oleh Critical Theory dari
Mazhab Frankfurt, suatu varian dari Marxisme Eropa. Sosiologi jenis ini juga
bersifat elitis, terjerat pada profesionalisme organisasi, terikat pada
lembaga-lembaga yang mapan, dan hanya menjalankan tugas yang sudah rutin.
Sosiologi akademis yang diklaim kaum fungsionalis value free, ternyata
tetap berpihak. Memilih teori, pengumpulan data, klasifikasi data, dan
intepretasi atas fakta, semuanya ternyata merupakan ketidakbebasan.
Laporan-laporan sosiologi di Amerika berpihak pada yang kuat. Misalnya berpihak
kepada mayoritas orang kulit putih, tidak pada kulit hitam. Ilmu sosial
empiris-analitis selalu menghasilkan ilmu-ilmu yang nomologis, menerangkan saja
tanpa mengandung nilai moral mengenai tujuan.
Michael Root
sebagaimana dikutip Kuntowijoyo, membagi ilmu sosial menjadi dua yaitu
ilmu sosial liberal dan ilmu sosial perfeksionis. Ilmu sosial liberal, tidak
mempromosikan satu cita-cita sosial, nilai kebajikan tertentu. Ia berusaha
netral terhadap objek penelitiannya. Tetapi hal ini mungkin terjadi pada
tingkat individual peneliti, tidak pada tingkat institusional. Sedangkan ilmu
sosial perfeksionis, berusaha menjadi wahana cita-cita kebajikan, bersifat
partisan (tidak value neutral). Contoh dari perfeksionisme dalam ilmu
sosial adalah Marxisme dan Feminisme. Marxisme mencita-citakan masyarakat tanpa
kelas, dan Feminisme mencitakan masyarakat tanpa ekploitasi seksual.
Michael Root
mengusulkan mengganti cita-cita liberal dengan perfeksionisme, yang communitarian,
ilmu pengetahuan yang memperhatikan nilai-nilai pada suatu objek penelitian,
komunitas. Jenis ilmu sosial yang cocok dengan communitarian adalah partisipatory
research, bukan empiris-analitis, dan terapan. Maka suatu ilmu yang
mengandung nilai-nilai Islam dan berpihak kepada umat adalah sah sebagai ilmu.
Ilmu sosial profetik memiliki prospek di masa datang, karena
didukung oleh maraknya peradaban postmodernisme. Peradaban yang menolak
pemisahan antara agama dengan ekonomi, agama dengan politik, dan agama dengan
ilmu. Peradaban postmodernisme menjadi sintesa dari peradaban abad pertengahan
dengan teosentrisme, dimana wahyu sebagai satu-satunya kebenaran. Juga peradaban modernism yang dimulai sejak renaissance
yang berwatak antroposentrisme. Semangat yang dibangun menghargai nilai-nilai
yang dibangunan manusia sendiri. Maka
ilmu yang tidak memisahkan antara agama dan ilmu tentu akan mendapat tempat
terhormat di masa yang akan datang.[14]
b. Epistemologi
Ilmu Sosial Profetik
1) Sumber
pengetahuan
Kuntowijoyo mengadopsi konsep epistemologi Islam,
memposisikan wahyu (al-Qur’an) sebagai sumber pengetahuan. “Wahyu” menempati
posisi sebagai pembentuk realitas, sebab wahyu diakui sebagai “ayat-ayat Tuhan”
yang memberikan pedoman dalam pikiran dan tindakan seorang muslim.[15] Ia
tidak secara tegas menolak rasionalisme dan empirisme sebagaimana epistemologi
yang dikembangkan epistemologi Barat. Sumber pengetahuan hanya berasal dari
akal saja, atau observasi saja. Dengan kata lain sumber pengetahuan. yang digunakan untuk membangun ilmu sosial
profetik mencakup wahyu, akal dan observasi.
2) Pendekatan
Pendekatan
yang digunakan adalah struktur transendental yang menempatkan wahyu sebagai
salah satu sumber pengetahuan. Pendekatan ini mengakui adanya ide murni, yang
sumbernya berasal diri manusia, suatu struktur nilai-nilai yang berdiri sendiri
dan bersifat transendental. Al -Qur’an dipahami memiliki bangunan ide yang
transendental, suatu orde, atau sistem gagasan yang otonom dan sempurna.[16]
Konstruksi pengetahuan yang dimaksud tidak hanya berdasar warisan historis
sebagai referensi untuk membangun pemahaman terhadap wahyu. Tetapi pendekatan
ini juga perlu mentransendensikan al- Qur’an yang berarti melepaskan diri dari
bias-bias penafsiran yang terbatas karena keterbatasan situasi historis.
Pengembangan eksperimen-eksperimen ilmu pengetahuan yang berdasarkan pada
paradigm al-Qur’an akan memperkaya khazanah ilmu pengetahuan umat manusia.
Kegiatan ini akan memjadi rambahan baru munculnya ilmu-ilmu pengetahuan
alternatif. Premis-premis normatif al-Qur’an dapat dirumuskan menjadi
teori-teori yang empiris dan rasional. Hal ini juga ditempuh oleh ilmu-ilmu
empiris dan rasional yang dikembangkan peradaban Barat yang berasal dari
paham-paham etik, dan filosofis yang bersifat normatif. Dari ide-ide normatif,
perumusan ilmu-ilmu dibentuk sampai pada tingkat yang empiris, dan sering
dipakai sebagai basis untuk kebijakan-kebijakan aktual.
3) Analisis
Kuntowijoyo menawarkan dua pendekatan untuk menganalisis
secara komprehensip terhadap al-Qur’an. Pendekatan sintetik - analitik membagi
kandungan al-Qur’an menjadi dua bagian yaitu berisi konsep-konsep, dan bagian
kedua berisi kisah-kisah sejarah dan amtsal.[17]Pada
bagian pertama berisi konsep-konsep yang merujuk kepada pengertian-pengertian
normatif khusus, doktrin-doktrin etik, aturan-aturan legal, dan ajaran-ajaran
keagamaan pada umumnya. Terdapat konsep-konsep yang abstrak dan yang konkrit.
Konsep yang abstrak seperti tentang Allah, tentang malaikat, tentang akhirat,
tentang ma’ruf, dan munkar. Sementara konsep yang konkrit merujuk kepada
fenomena konkrit dan dapat diamati (observable), misalnya konsep tentang
fuqara, dhu’afa, mustadh’afin, zhalimun, aghniya’, mustakbirun, dan mufsidun.
Kesemua konsep ini memiliki makna semantic dan kaitannya dengan matriks
struktur normatif dan etik tertentu yang melaluinya al-Qur’an dipahami. Dalam
kaitan ini konsep al-Qur’an bertujuan memberikan gambaran utuh tentang doktrin
Islam dan lebih jauh lagi tentang weltanschauung (pandangan dunia) nya.[18] Bagian
kedua dari al-Qur’an berisi kisah-kisah historis dan amtsal (perumpamaan).
Al-Qur’an ingin mengajak dilakukannya perenungan untuk memperleh wisdom
(hikmah). Melalui kontemplasi terhadap peristiwa-peristiwa historis, dan juga
melalui metamor-metamor yang berisi hikmah tersembunyi, manusia diajak untuk
merenungkan hakikat dan makna kehidupan. Misalnya rapuhnya rumah laba-laba,
luruhnya sehelai daun yang tidak lepas dari pengamatan Tuhan, keganasan samudra
yang membuat orang-orang kafir berdo’a.
c. Aksiologi
Ilmu Sosial Profetik
1) Etika
Etika
ilmu sosial profetik dirumuskan dari kandungan al-Qur’an surat ali ‘Imran ayat
110:
“Kuntum khaira ummah
ukhrijat linnasi ta’muruna bil-ma’rufi wa tanhauna ‘anal-munkar wa tu’minuna
billahi”
(Kamu adalah umat terbaik
yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari
yang munkar, dan beriman kepada Allah)[19]
Berdasarkan ayat ini tersirat empat hal yaitu konsep umat
terbaik, aktivisme sejarah, pentingnya kesadaran, dan etika profetik. Pertama,
konsep umat terbaik dengan syarat mengerjakan tiga hal sebagaimana disebut
dalam ayat itu. Kedua, aktivisme sejarah adalah suatu bentuk
keterlibatan umat Islam dalam sejarah di
tengah-tengah manusia merupakan sesuatu yang ideal bagi Islam. Ketiga, pentingnya kesadaran,
nilai-nilai ilahiah (ma’ruf, munkar, iman) menjadi tumpuan aktivisme Islam.
Peranan kesadaran ini membedakan etika islam dengan etika materiaisme,
individualism, eksistensialisme, liberalism, sekularisme, dan kapitalisme.
Semua etika itu bertentangan dengan Islam, karena yang menentukan kesadaran
bukan individu, tetapi Tuhan. Keempat, etika profetik. Ayat ini berlaku
umum, untuk siapa saja, baik individu, lembaga, maupun kolektivitas. Ilmu
sebagai pelembagaan dari pengalaman, penelitian, dan pengetahuan, diharuskan
melaksanakan ayat ini yaitu amar ma’ruf, nahi munkar, dan tu’minuna
billah. Ketiganya merupakan unsur yang tidak terpisahkan dari ilmu sosial
profetik. Ilmu ini harus merupakan gerakan sadar, yang buahnya akan dipetik
dalam waktu lama.
2) Tujuan
Kuntowijoyo merumuskan cita-cita profetik berdasarkan misi
historis Islam dalam QS. Ali ‘Imran 110. Ada tiga muatan yang dapat diderivasi
dari ayat tersebut, sebagai ciri ilmu sosial profetik yaitu nilai humanisasi,
liberasi, dan amar ma’ruf untuk diarahkan merekayasa masyarakat menuju
cita-cita sosio-etiknya di masa depan.
a)
Humanisasi (amar ma’ruf)
Tujuan humanisasi adalah memanusiakan manusia. Masyarakat
dalam alam industri telah menjadikan mereka masyarakat abtrak tanpa wajah kemanusiaan. Masyarakat mengalami
objektivikasi ketika berada di tengah-tengah mesin-mesin politik dan pasar.
Ilmu dan teknologi juga membantu kecenderungan reduksionistik yang melihat
manusia dengan cara parsial.
b)
Liberasi (nahi munkar)
Tujuan liberasi adalah pembebasan dari kekejaman kemiskinan
struktural, keangkuhan teknologi, dan pemerasan kelimpahan. Kita menyatu rasa
dengan mereka yang miskin, mereka yang terperangkap dalam kesadaran
teknokratis, mereka yang tergusur oleh ekonomi raksasa. Kita ingin membebaskan
diri dari belenggu yang kita bangun sendiri.
c)
Transendensi (transendensi)
Tujuan transendensi adalah menambahkan dimensi transendental
dalam kebudayaan. Kita sudah banyak menyerah kepada arus hedonism, materialisme,
dan budaya yang dekaden. Kita percaya bahwa sesuatu harus dilakukan yaitu
membersihkan diri dengan mengingat kembali dimensi transendental yang menjadi
bagian sah dari fitrah kemanusiaan. Kita ingin merasakan kembali dunia ini
sebagai rahmat Tuhan. Kita ingin hidup kembai dalam suasana yang lepas dari
ruang dan waktu, ketika kita bersentuhan dengan kebesahan Tuhan.[20]
D. Konsep Hermenuetika Paul Ricoeur
Paul Ricoeur[21]
dikalangan pemikir hermenuetika mempunyai pemikiran yang khas, memiliki sisi
perbedaan dengan para pemikir sebelumnya. Bleicher menganggapnya sebagai
mediator tradisi hermenuetika romantik dari F.D.E. Schleiermacher dan Wilhelm Dilthey
dengan tradisi hermeneutika filosofi dari Martin Heidegger.[22] Ricoeur
juga dianggap sebagai mediator antara teori hermenuetika Emilio Betti dengan
teori hermenuetika Hans George Gadamer ---. Pendek kata Ricoeur mencoba
mengembangkan hermenuetika yang telah eksis sebelumnya, dengan membuat sintesa
dari kecenderungan hermeneutika yang menekankan analisis teks dari sisi pengarang
(pembuat teks), sehingga output kajian hermenuetika sebatas melakukan
reproduksi teks. Dengan kecenderungan hermenuetika yang menekankan analisis
teks dari sisi penafsir yang dipengaruhi oleh kepentingan ideologi tertentu.
Sehingga hasil kajian hermeneutika bersifat subyektif sesuai dengan kepentingan
yang menafsirkan.[23]
Ricoeur membuat sintesa baru bahwa kajian hermeneutika berawal
dari sisi teks yang diposisikan sebagai sesuatu yang bersifat otonom. Sifat
otonom teks yang dimaksudkan untuk melakukan “dekontektualisasi” dan
“rekontekstualisasi”.[24] “Dekontekstualisasi”
adalah materi suatu teks melepaskan diri dari cakrawala intensi yang terbatas
dari pengarangnya, sedangkan “rekontekstualisasi” yaitu suatu teks membuka diri
untuk ditafsirkan secara lebih luas dan berbeda-beda. Otonomi dan totalitas
suatu teks dapat dilihat dari empat hal: Pertama, makna teks yang
terdapat pada pa yang dikatakan terlepas dari proses pengungkapannya, sedangkan
dalam bahasa lisan kedua proses itu dapat dipisahkan. Kedua, makna teks
tidak lagi terikat kepada pembicara, sebagaimana bahasa lisan. Ketiga,
teks tidak terikat lagi dengan konteks semula (otensive reference), ia
tidak terikat pada konteks asli pembicaraan. Keempat, teks ditulis bukan
untuk pembaca tertentu, melainkan kepada siapapun yang bisa membaca dan tidak
terbatas ruang dan waktu.[25]
Konsep teks menurut Ricoeur tidak sebatas bahasa tulisan,
tetapi juga setiap tindakan manusia yang memiliki makna yaitu setiap tindakan
yang disengaja untuk mencapai tujuan tertentu. Pandangan ini dimaksudkan
Ricoeur untuk membangun sebuah epistemologi baru bagi ilmu-ilmu sosial dan
humaniora. Bagi Ricoeur objek kajian kedua ilmu yang disebutkan terakhir ini
memiliki karakter sebuah teks, sehingga metodologi kajiannya harus menyerupai
kajian interpretasi yang ada pada hermeneutika.[26] Ada
empat karakter realitas sosial memiliki persamaan dengan teks: Pertama,
fixation of action yaitu realitas sosial dapat dijadikan objek kajian
ilmiah, jika telah dibakukan dalam mekanisme dan strukturnya, seperti
terbakukannya discourse dalam tulisan. Kedua, the outomatization of
action yaitu tindakan sosial memiliki makna objektif yang tidak bergantung
pada maksud pengarang, sebagaimana makna teks yang terlepas dari intensitas
psikologis pengarang. Ketiga, relevance and importance yaitu teks tidak
lagi dipahami sesuai konteks awalnya, nilai penting suatu tindakan sosial tidak
lagi terikat nilai pentingnya. Keempat, Human action as an “open work”,
yaitu sebuah teks tidak terikat lagi dengan audience awal dalam proses
dialogis bahasa lisan, demikian juga suatu perbuatan tidak hanya dapat dinilai
oleh orang-orang yang menjadi saksi mata. Tindakan sosial menjadi terbuka untuk
selamanya, bagi penanggap baru yang datang dari ruang dan waktu yang berbeda.[27]
Pandangan Paul Ricoeur tentang teks tersebut, ia berusaha
untuk mengubah arah hermeneutika sebagai seni interpretasi menuju epistemologi
pemahaman dan ontology of understanding.[28] Untuk
memperoleh hasil yang lebih baik dari kajian hermeneutika, Ricoeur menggunakan
analisis struktural dan analisis fenomenologis sekaligus yang tercermin dari
tiga tahap langkah pemahaman sebagai berikut:
1.
Level semantik
Tugas
hermeneutika adalah mencari di dalam teks itu sendiri dinamika yang diarahkan
oleh strukturasi karya dan mencari di dalam teks untuk memproyeksikan diri
keluar dari dirinya dan melahirkan suatu dunia yang merupakan pesan dari teks
itu.[29] Menurut
Ricoeur, peran utama makna teks tidak dipegang oleh pengarang, melainkan oleh
teks tertulis. Berbeda dengan bahasa
lisan, pembicara menjadi unsur penting yang menentukan makna objektivitas
pembicaraan.[30]
Ricoeur menentukan beberapa hal untuk menganalisis teks tahap yaitu: Pertama,
untuk mengartikan makna verbal teks adalah dengan mengartikannya secara utuh.
Kedua, memaknai teks adalah memaknainya sebagai sebuah individu. Ketiga, teks
literer melibatkan horizon potensial makna, yang dapat diaktualisasikan dalam
cara-cara yang berbeda.[31]
2.
Level refleksi
Analisis
level refleksi dalam perspektif hermenuetik Ricoeur memasuki tahap yang lebih
tinggi untuk memperoleh posisi sebagai sebuah filsafat. Tujuan hermeneutik
adalah memahami diri sendiri melalui pemahaman orang lain dengan mengatasi
jarak waktu yang memisahkan antara hermeneut dengan teks. Dialektika pemahaman
teks dengan pemahaman diri ini menandai pertemuan antara dunia yang disarankan
teks dengan dunia konkrit pembaca.[32]
3.
Level eksistensial
Level
eksistensial merupakan tahapan paling kompleks yaitu tahap ontologi atau
menjelaskan hakekat pemahaman melalui metode interpretasi. Menurut Ricoeur,
ontologi pemahaman bisa ditarik kepada arah awal dan ke dalam. Karena manusia memiliki akar pada
kesadarannya terhadap realitas yang lebih tinggi dari kesadarannya sendiri.[33] Melakukan
interpretasi atau proses pemaknaan sebuah teks menurut Ricoeur bukanlah
berupaya mengungkapkan sesuatu yang tersembunyi di balik teks tersebut atau
memahami apa maksud aslinya dalam konteks sosial historis yang tepat dan akurat.
Bukan pula sebuah usaha untuk mengetahui apa yang dimaksudkan oleh pengarangnya
dengan cara berempati dan masuk ke dalam pemahaman kehidupan psikologisnya.
Memaknai sebuah teks adalah sebuah proses panjang dan berliku dalam memahami
diri sendiri di hadapan teks dalam konteks yang aktual.
E.
Analisis Pemikiran Ilmu Sosial Profetik
Perspektif Hermenuetika Paul Ricoeur
1.
Level Semantik
Analisis
hermeneutika Paul Ricoeur terhadap pemikiran ilmu sosial profetik Kuntowijoyo,
dimulai tahap semantik. Teks yang akan dianalisis terkait ilmu sosial profetik Kuntowijoyo
terdapat dalam bukunya yang berjudul “Islam Sebagai Ilmu Epistemologi,
Metodologi, dan Etika” diterbitkan Tiara Wacana Yogyakarta tahun 2006 pada bab
satu, bab dua, dan bab tiga. Buku ini merupakan kumpulan dari beberapa tulisan
pengarang dalam buku berjudul “Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi” tahun
1991, dan “Muslim Tanpa Masjid” tahun 2001. Beberapa bagian yang terkait dengan
gagasan ilmu sosial profetik akan diuraikan sebagai berikut:
Pertama, Istilah
ilmu sosial profetik secara jelas dituangkan dalam sub bab empat “Perlunya Ilmu
Sosial Profetik”. [34]Bagian
ini menjelaskan latar belakang perlunya penggunaan istilah ilmu sosial profetik,
sebagai tawaran aternatif di tengah perdebatan istilah sebelumnya dengan maksud
dan tujuan yang sama yaitu “teologi transformatif”. Penggunaan istilah teologi dikalangan umat
Islam dipahami dengan persepsi yang berbeda-beda. Sebagian mengartikan sebagai
suatu cabang khazanah ilmu pengetahuan keislaman yang membahas tentang doktrin
ketuhanan, tentang tauhid. Sehingga gagasan pembaharuan teologi sebagai hal
yang aneh dan membingungkan, karena hal itu berarti mengubah doktrin sentral
Islam mengenai keesaan Tuhan.
Kedua, “Ilmu
Sosial Transformatif”.[35] Bagian
ini menjelaskan alasan perdebatan dan salah paham yang terus terjadi dari
istilah “Teologi Transformatif”, kemudian mengenalkan istilah baru “Ilmu Sosial
Transformatif”. Istilah ilmu sosial lebih sesuai dengan lingkup yang menjadi
sasaran dari gagasan rekayasa untuk transformasi sosial. Pemilihan istilah
“ilmu sosial” akan membuka kemungkinan perumusan ulang, revisi, dan
rekonstruksi terus-menerus baik melalui refleksi empiris maupun normatif.
Sesuatu yang jauh sulit dilakukan jika menggunakan istilah “teologi”.
Ketiga, “Ilmu
Sosial Profetik”.[36] Sub bab
ini menjelaskan maksud dan tujuan ilmu sosial profetik, dan karakteritiknya.
Ilmu sosial profetik, suatu ilmu yang tidak hanya untuk menjelaskan dan
mengubah fenomena sosial, tetapi juga memberi petunjuk ke arah mana transformasi
dilakukan, untuk apa, dan oleh siapa. Karakteristik ilmu sosial profetik
diantaranya ilmu yang memuat nilai-nilai profetik sebagai nilai dasar dan
tujuannya yaitu nilai humanisasi, nilai liberasi, dan nilai transendensi.
Karakteristik yang lain, sumber ilmu sosial profetik tidak hanya rasio, empiri,
tetapi juga dari wahyu. Ilmu sosial profetik dibangun, tidak perlu khawatir
dengan dominasi sains Barat. Karena dalam proses globalisasi dan universalisasi
ilmu pengetahuan dan teknologi, harus membuka diri terhadap seluruh warisan
peradaban.
Keempat,
“Islam:
Suatu Paradigma yang Terbuka”.[37] Bagian
ini memperkuat argumentasi pentingnya bersikap optimis dan terbuka terhadap
seluruh warisan peradaban manusia. Semua peradaban dan semua agama mengalami
proses meminjam dan memberi dalam interaksi diantara mereka sepanjang sejarah.
Sikap eksklusif adalah sikap yang ahistoris dan tidak realistis. Sikap ini juga
dibutuhkan dalam dalam membangun ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kelima,
“Epistemologi
Paradigma Islam”.[38] Bagian
ini memberikan informasi tentang Islam yang ontentik mempunyai kapasitas structuring,
baik sebagai agama maupun sebagai ilmu. “Strukturalisme transendental”
merupakan metode yang cocok untuk menerapkan ajaran-ajaran sosial yang
terkandung dalam teks lama pada konteks sosial masa kini tanpa mengubah
strukturnya. Selanjutnya teks ini menjelaskan secara berkesinambungan, konsep
struktur, konsep strukturalisme, konsep transendental, dan konsep
strukturalisme transendental.
Keenam,
“Struktur”[39]
merupakan bagian yang menjelaskan asal kata struktur dan ciri-cirinya. Struktur
berasal dari bahasa Latin Structure yang artinya bangunan, dari kata structus
atau stuere yang berarti menyusun. Lima arti dalam kamus itu semuanya
merujuk pada bangunan dalam arti konkrit (misalnya gedung) atau bangunan dalam
arti abstrak (misalnya social structure, bangunan sosial). Ada tiga ciri
struktur yang dikutip dari Jean Piaget yaitu wholeness (keseluruhan), transformation
(perubahan bentuk), dan self-regulation (mengatur diri sendiri).
Ketujuh,
“Strukturalisme”[40] bagian
yang menunjukkan asal-usul istilah strukturalisme dari Ferdinand de Saussure,
dan Claude Levi-Strauss. Ada empat ciri strukturalisme: (1) strukturalisme
analitis mempelajari unsur selalu diletakkan di bawah suatu jaringan yang
menyatukan unsur-unsurnya. (2) Strukturalisme tidak mencari struktur di
permukaan pada peringkat pengamatan, tetapi di bawah atau dibalik realitas
empiris. (3) Dalam peringkat empiris keterkaitan antar unsur bisa berupa binary
opposition (pertentangan antara dua hal). (4) Strukturalisme memperhatikan
unsur-unsur sinkronis, bukan diakronis.
Kedelapan,
“Transendental”[41] bagian
ini menjelaskan asal usul kata transendental berasal dari bahasa Latin transcendere
yang artinya memanjat di/ke atas. Dari kelima arti dalam kamus yang paling
dekat dengan keperluan ini dengan makna “abstrak, metafisis”, dan “melampaui”.
Transendental dalam arti spiritual akan membantu kemanusiaan menyelesaikan
masalah-masalah modern. Teknologi, ilmu, dan manajemen telah membawa kemajuan,
tetapi gagal membawa kebahagiaan.
Kesembilan,
“Strukturalisme
Transendental”[42]
akan berguna bagi ilmu alam, kemanusiaan, dan agama untuk menyadari totalitas
Islam dan adanya perubahan-perubahan. Dalam Islam terdapat sejumlah agenda
supaya agama “sesuai” dengan perubahan-perubahan, yaitu unsur-unsur muamalahnya
tidak ketinggalan zaman. Saat ini diperlukan perluasan-perluasan supaya muamalah
Islam lebih efektif, yaitu kesadaran adanya perubahan, kesadaran kolektif,
kesadaran sejarah, kesadaran adanya fakta sosial, kesadaran adanya masyarakat
abstrak, dan kesadaran perlunya objektifikasi.
Kesepuluh,
“Pendekatan
Sintetik Analitik”[43] bagian
yang terkait langsung dengan ilmu sosial profetik terdapat pada sub ini.
Pendekatan ini untuk menganalisis secara komprehensip terhadap al-Qur’an.
Pendekatan sintetik - analitik membagi kandungan al-Qur’an menjadi dua bagian
yaitu berisi konsep-konsep, dan bagian kedua berisi kisah-kisah sejarah dan amtsal.
Teks ini memberikan penjelasan cara-cara menerapkan pendekatan sintetik
analitik, dengan contoh-contoh yang konkrit.
Kesebelas,
“Ilmu
Sosial Profetik: Etika Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial”.[44] Bagian
ini memberikan informasi tentang etika ilmu sosial profetik dirumuskan dari
kandungan al-Qur’an surat ali ‘Imran ayat 110. Ada empat hal penting yang
terkandung dalam ayat ini: konsep umat terbaik, aktivisme sejarah, pentingnya
kesadaran, dan etika profetik. Pada bagian selanjutnya, teks menjelaskan
rumusan cita-cita profetik berdasarkan misi historis Islam dalam QS. Ali ‘Imran
110. Ada tiga muatan yang dapat diderivasi dari ayat tersebut, sebagai ciri
ilmu sosial profetik yaitu nilai humanisasi, liberasi, dan amar ma’ruf untuk
diarahkan merekayasa masyarakat menuju cita-cita sosio-etiknya di masa depan.
2.
Level Refleksi
Dari
perspektif ini, apa yang dikemukakan oleh teks tentang ilmu sosial profetik akan
ditelusuri dimensi rujukannya pada sebuah realitas riil yang ada di luar teks
tersebut. Untuk memudahkan analisis pada level ini, pada setiap bagian akan
ditelusuri dimensi rujukannya sesuai dengan pesan teks yang ada dalam level
semantik.
Semua
informasi teks yang telah diidentifikasi pada level semantik yang berjumlah 11
bagian, secara substansi mengusung gagasan Kuntowijoyo sebagai pengarang
tentang bangunan ilmu sosial profetik. Dari sisi filsafat ilmu, pesan teks yang
diinginkan mengacu pada struktur fundamental sebuah ilmu pengetahuan, yang
mencakup ontologis, epistemologis, dan aksiologis.[45] Jujun S.Suriasumantri memasukkan ketiganya
sebagai objek formal dari sebuah ilmu pengetahuan[46]. Sedangkan
objek materialnya adalah ilmu
pengetahuan itu sendiri.[47]
Substansi
teks yang dijelaskan pada level semantik mulai bagian pertama sampai keempat, mengacu pada gagasan pokok ontologi ilmu
sosial profetik. Suatu jenis ontologi beraliran dualisme Rene Descartes, yang
mengakui dua macam substansi yaitu jiwa dan materi (tubuh jasmaniah). Selain
dua substansi, terdapat substansi absolute yang keduanya bergantung
padanya, yaitu Tuhan sebagai satu-satunya substansi mutlak.[48] Substansi
materi dapat mengekspresikan dalam berbagai macam bentuk di alam semesta,
demikian juga substansi jiwa dalam diri manusia dimana karakter utamanya adalah
berpikir. Jiwa manusia mampu mengekspresikan pemikiran secara konseptual. Kedua
substansi bisa bersifat independen dan dependen.[49] Itu
sebabnya sumber ilmu sosial profetik mencakup rasio, empiri, dan wahyu.[50]
Substansi
pesan teks pada level semantik mulai bagian kelima sampai kesepuluh,
merujuk kepada gagasan pokok epistemologi ilmu sosial profetik. Bagian kelima
sampai kesembilan, teks merujuk pada jenis pendekatan yang digunakan dalam ilmu
sosial profetik yaitu pendekatan strukturalisme transendental. Hakekat dari
pendekatan strukturalis, ia tidak menyoroti mekanisme sebab-akibat dari suatu
fenomena, melainkan tertarik pada konsep bahwa suatu totalitas dapat dipahami
sebagai suatu rangkaian unsur-unsur yang saling berkaitan. Sebuah unsur hanya
bisa dipahami dalam kaitannya dengan rangkaian total. Jadi yang ditekankan
strukturalisme bukan hakekat dari unsur itu sendiri, melainkan relasi diantara
unsur-unsur.[51]Diantara
tokoh yang menaruh perhatian pada epistemologi strukturalisme adalah Ferdinand
de Saussure, dan Claude Levi-Strauss, sebagai paradigm yang dominan di Prancis.[52]
Pada bagian
kesepuluh, substansi teks merujuk pada jenis pendekatan dalam ilmu sosial
profetik yaitu pendekatan sintetik-analitik. Pendekatan ini dalam
implementasinya menggunakan metode deduktif dan induktif yang bersifat saing
melengkapi. Cara kerjanya mula-mula menggunakan metode analitis (deduktif),
kemudian mendukung simpulannya dengan penalaran sintetik (induktif). [53]
Pada bagian
kesebelas, substansi teks merujuk pada gagasan aksiologi ilmu sosial
profetik yang diderivasi dari al-Qur’an surat ali ‘Imran ayat 110. Jenis
aksiologi ini sesuai dengan pandangan Max Weber bahwa ilmu sosial harus bebas
nilai dan menjaga nilai yang relevan (value relevant). Weber tidak yakin
dengan aktivitas ilmuan yang tidak terpengaruh dengan kepentingan tertentu.
Ilmuan secara subyektif akan memilih pokok masalah dan persoalan analisis yang
diajukan berdasarkan kepentingan ilmiah yang bersifat khusus. Hal ini juga
sesuai dengan klasifikasi ilmu dari Jurgen Habermas, yaitu kelompok ilmu-ilmu
emansipatoris-kritis yang membantu manusia dalam bertindak bersama.[54]
3.
Level Eksistensial
Berdasarkan
analisis tahap semantik dan tahap refleksif terhadap pemikiran Kuntowijoyo
tentang ilmu sosial profetik, dapat disarikan ide-ide pokoknya dalam tiga
bagian penting dalam ranah filsafat ilmu pengetahuan yaitu ontologism, epistemologis,
dan aksiologis. Ketiganya merupakan inti bangunan keilmuan ilmu sosial
profetiknya. Ontologi yang dipilih adalah jenis ontologi dualism, jenis
epistemologinya strukturalisme transendental, dan jenis aksiologinya bebas dan
sarat nilai.[55]
Penentuan
landasan filosofis itu mengandung makna, bahwa ilmu sosial profetik berkarakter
sebagai ilmu yang menyatukan antara wahyu Tuhan dengan temuan pikiran manusia
(integralistik).[56]
Agama (al-Qur’an) merupakan wahyu Tuhan, yang mengatur hubungan manusia dengan
Tuhan, diri sendiri, dan lingkungan (fisik, sosial, budaya). Kitab ini
merupakan petunjuk etika, kebijaksanaan, dan dapat menjadi “grand theory” ilmu
pengetahuan. Tetapi ilmu dibangun tidak hanya berdasarkan wahyu Tuhan saja,
ilmu juga bisa lahir dari pikiran manusia tanpa melupakan Tuhan. Jadi sumber
pengetahuan itu berasal dari dua sumber yaitu Tuhan dan yang berasal dari
manusia, dengan kata lain teoantroposentrisme. Agama dan ilmu harus
disatukan kembali, untuk membangun paradigm baru menuju peradaban yang
melahirkan kemajuan dan kebahagiaan bagi umat manusia. Alur pertumbuhan
ilmu-ilmu integralistik dapat digambarkan sebagai berikut:[57]
Ilmu
sosial profetik menjadi prototype ilmu pengetahuan yang berangkat dari
ide integrasi antara agama dan ilmu. Pola hubungan integrasi antara ilmu dan
agama, menurut Ian G.Barbour sebagaimana dikutip Sholihan bertumpu pada
keyakinan bahwa kawasan telaah, rancangan penghampiran, dan tujuan keduanya
adalah sama atau satu.[58] Kesemuanya
bersumber dari ayat-ayat Alloh baik yang diperoleh melalui para nabi,
eksplorasi akal, maupun eksplorasi alam.
Pola
hubungan antara agama dan sains yang terintegrasi, akan berdampak pada
bertambahnya wawasan yang lebih mencakup, sehingga keduanya bisa berkerja sama
secara aktif. Sains dapat memberikan bukti ilmiah atas wahyu atau pengalaman
mistis, sehingga menambah keyakinan dan keimanan umat beragama. Kesejajaran
deskripsi ilmiah modern tentang alam dengan deskripsi tentang hal yang sama.
Posisi yang sejajar ini yang dianggap memberikan dukungan obyektif ilmiah pada
pengalaman subyektif keagamaan.[59]
Penggunaan
pola integrasi ini berangkat dari dua pendekatan: pertama pecarian data
ilmiah untuk menawarkan bukti konklusif bagi keyakinan agama, untuk memperoleh
suatu kesepakatan dan kesadaran akan eksistensi Tuhan. Kedua, suatu
pendekatan untuk menelaah ulang doktrin-doktrin agama dalam relevansinya dengan
teori-teori ilmiah. Pendekatan kedua ini, dimaksudkan untuk menguji keyakinan
agama dengan kriteria-kriteria tertentu dan dirimuskan sesuai dengan penentuan
sains terkini dan selanjutnya pemikiran sains keagamaan ditafsirkan dengan
filsafat proses dalam kerangka konseptual yang sama.
Pola
integrasi antara agama dan sains sebagaimana ditemukan oleh Ian G.Barbour[60], dalam
konteks studi Islam di Indonesia telah menjadi trend yang melahirkan
berbagai macam varian integrasi, sebagai dasar akademik lahirnya sejumlah UIN
seperti: UIN Maulana Malik Ibrahim Malang[61], UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta[62], UIN
Walisongo Semarang[63].
UIN
Walisongo Semarang dengan basis integrasi, mengusung paradigm Unity of
Sciences dengan pendekatan teo-antroposentrisme
pada pandangan Islam tentang ilmu, yang tercermin dalam dimensi ontologism,
epistemologis, dan aksiologis. Secara ringkas Sholihan menjelaskan:
“Pertama: dimensi
ontologism (whatness) ilmu adalah keseluruhan realitas, baik yang
metafisik maupun fisik; baik teks Qur’aniyyah maupun teks Kauniyyah.
Implikasi dari pandangan demikian adalah tidak adanya dikotomi objek ilmu
antara yang metafisik dan yang fisik, dan juga tidak adanya dikotomi jenis ilmu
antara ilmu mengenai teks Qur’aniyyah dan ilmu mengenai teks Kauniyyah.
Kedua, dimensi epistemologis (howness) ilmu, yang mengakui dua
sumber ilmu, yakni dari Tuhan dan dari manusia sekaigus, baik melaui potensi
indera, akal, maupun intuisinya. Implikasi dari pandangan demikian adalah tidak
adanya dikotomi metodologis dalam memahami realitas. Ada pluralitas metodologis
dalam mendapatkan ilmu, sejalan dengan pluralitas realitas yang menjadi objek
ilmu. Ketiga, dimensi aksiologis (whyness) ilmu, yang memiliki
dua dimensi nilai, yakni ketuhanan dan nilai kemanusiaan sekaligus. Dengan
demikian, pengembangan ilmu secara aksiologis menolak pandangan dikotomis
antara orientasi pada nilai ketuhanan atau nilai kemanusiaan semata, lebih-lebih
pandangan yang menyatakan bahwa ilmu bebas nilai.”[64]
Untuk
mewujudkan gagasan paradigm Unity of Sciences atau disebut juga Wahdah
al-‘ulum diperlukan strategi khusus di tengah masih dominannya sains Barat.
Kondisi dunia saat ini, yang didesain dengan sains Barat yang sekuler telah
menimbulkan kerusakan di berbagai belahan dunia dalam berbagai bidang
kehidupan, atau meminjam istilah Thomas S. Khun sudah sampai tahap “krisis”.
Tetapi kalangan intelektual (termasuk intelektual muslim) sulit melepaskan dari
dominasi itu. UIN Walisongo sebagai pengusung paradigm menetapkan tiga startegi
yaitu humanisasi ilmu-ilmu keislaman, spiritualisasi ilmu-ilmu modern, dan
revitalisasi local wisdom.[65]
F. Kesimpulan
Setelah
mengkaji pemikiran ilmu sosial profetik dengan pedekatan hermeneutika Paul
Rocoeur, ada dua poin penting sebagai kesimpulan akhir antara lain:
- Pemikiran
ilmu sosial profetik Kuntowijoyo, merupakan bentuk nyata respons
intelektual yang perlu dihargai. Karakteristik ilmu sosial yang
dibangun--- merefleksikan kedalaman ilmu dan pengalaman yang dimiliki
khususnya ilmu sejarah, ilmu sastra,ilmu seni, dan ilmu agama. Meskipun
basis yang disebutkan terakhir, tidak sekuat dengan ilmu-ilmu yang
sebelumnya, tetapi persentuhan dengan kalangan intelektual muslim dan
aktivitas pada lembaga sosial agama Islam, melahirkan sebuah semangat
untuk memberikan konstribusi bagi pengembangan ilmu-ilmu Islam di masa
yang datang.
- Perspektif
hermeneutika Paul Ricoeur yang digunakan dalam mengkaji pemikiran ilmu
sosial profetik Kuntowijoyo, dengan tiga langkah kerja semantik,
relefleksi, dan eksistensial mampu menempatkan ide-ide teks dengan
diskursus aktual yang berkembang di dunia keilmuan yang lebih luas. Sehingga
ide-ide teks mempunyai kesempatan untuk berkontribusi dalam hal
melengkapi, mengkritik,dan
menyempurnakan suatu diskursus. Jika usaha ini dilakukan secara
terus-menerus, sangat mungkin suatu diskursus akan mengalami “kematangan”,
yang pada saatnya generasi penerus akan memetik hasilnya bagi pengembangan
keilmuan yang lebih sempurna. Ilmu yang mampu mendatangkan kemajuan dan
kebahagiaan hidup seluruh umat manusia dan alam.
Demikian
paper yang dapat saya susun, menyadari keterbatasan mengakses sumber-sumber
yang relevan dengan kajian ini, tentunya masih terdapat beberapa kekurangan
yang membutuhkan kritik dan saran dari para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M.Amin, Islamic
Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.
Achwan, Rochman, “Ilmu
Sosial di Indonesia: Peluang, Persoalan dan Tantangan” dalam Jurnal
masyarakat dan Budaya, Edisi Khusus Tahun 2010.
Barbour, Ian G., When
Science Meets religion Enemies, Strangers, or Partners, New York:
Harperone, 2000.
Bleicher, Josef, Contemporary
Hermeneutic, London: Routledge and Kegan Paul, 1980.Brooke, John Hedley and
Ronald LN, Science and Religion Around the World, New York: Oxford
University, 2011.
E. Sumaryono, Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta : Kanisius, 1999.
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah,
Jakarta: Bentang, 1995.
Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu:
Epistemologi, Metodologi, dan Etika, Yogyakarta, 2006.
Mundiri, Akmal, “Ian
G.Barbour: membedah Pola Hubungan Sains dan Agama”, dalam Hasan Baharus, Akmal
Mundiri, dkk., Metodologi Studi Islam Percikan Pemikiran Tokoh dalam
Membumikan Agama, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.
Permata, Ahmad Norma
“Apendiks Hermenuetika Fenomenologis Paul Ricoeur” dalam Paul Ricoeur, Teori
Interpretasi Memahami Teks, Penafsiran, dan Metodologinya (terj) Musnur Hery,
Yogyakarta : IRCiSoD, 2004.
Rachmat,
Aceng, ET AL., Filsafat Ilmu Lanjutan, Jakarta: Kencana, 2011.
Rahardjo, Mudjia,
“Desain Kurikulum Universitas Islam Berbasis Integrasi: Pengalaman UIN Maulana
Malik Ibrahim Malang”, Materi Workshop Kurikulum UIN Walisongo Seamarang, 21 Nopember 2014.
Ricoeur, Paul, Hermeneutics and the Human Sciences, New York:
Cambridge, 1998
…………………. Hermeneutika
Ilmu Sosial, terjemahan Muhammad Syukri, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2012.
………………… “The
Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning”, dalam Musnur Hery
(Terj.), Filsafat Wacana Membelah Makna dalam Anatomi Bahasa, Yogyakarta:
IRCiSoD, 2002.
Rahardjo, Mudjia, Hermeneutika Gadamerian Kuasa Bahasa dalam
Wacana Politik Gus Dur, Malang: UIN Malang Press, 2007
Ritzer, George, Sociology: A Multiple
Paradigm Sience, terjemahan Alimandan, Jakarta: Rajawali Pers, 1985.
Rozoqin, Badiatul dkk., 101 Jejak
Tokoh Islam Indonesia, Yogyakarta: e-Nusantara, 2009.
Rusliwa Somantri,
Gumilar, “Membebaskan Ilmu Sosial dari Keterperangkapan Ganda”, dalam Jurnal
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol.9 Nomor 2 November 2005.
Sholihan,
Pengantar Filsafat Mengenal Filsafat melaui Sejarah dan Bidang Kajiannya,
Semarang: Karya Abadi Jaya, 2015.
Sholihan, “Paradigma
Unity of Sciences dan Implementasinya dalam PengambanganIlmu di IAIN/UIN
Walisongo”, Materi Workshop Review Kurikulum Pokja Akademik Projek IsDB IAIN
Walisongo, Semarang 13 Nopember 2014, hlm. 8.
Supena, Ilyas, Bersahabat
dengan Makna melalui Hermeneutika, Abu Rokhmad (Ed.), Semarang: Program
Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang, 2012.
Supena, Ilyas, Filsafat
Ilmu Dakwah: Perspektif Filsafat Ilmu Sosial, Semarang: Abshor, 2007.
S.Suriasumantri, Jujun, Filsafat
Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Sinar Harapan, 1998.
Syukur, Suparman, Epistemologi
Islam Skolastik Pengaruhnya pada Pemikiran Islam Modern, Yogyakarta: IAIN
Walisongo dan Pustaka Pelajar, 2007.
Usman, Sunyoto, “Ilmu
Sosial Moderen: Perkembangan dan Tantangan”, dalam Jurnal JSP Vo.1 No.3
Maret 1998.
Watloly, Aholiab, Sosio-Epistemologi
Membangun Pengetahuan Berwatak Sosial, Yogyakarta: Kanisius, 2013.
W.Poepoprodjo, Hermeneutika,
Bandung: Pustaka Setia, 2004.
Zaprulkhan, Filsafat
Ilmu Sebuah Analisis Kontemporer, Nuran Hasanah (Ed.), Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2016.
Catatan Perkuliahan Hermeneutika yang diampu Dr.H.Sholihan,
M.Ag tanggal 13 Januari 2017
[1] Gumilar Rusliwa
Somantri, “Membebaskan Ilmu Sosial dari Keterperangkapan Ganda”, dalam Jurnal
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol.9 Nomor 2 November 2005, hlm. 159.
[2] Sunyoto Usman, “Ilmu
Sosial Moderen: Perkembangan dan Tantangan”, dalam Jurnal JSP Vo.1 No.3
Maret 1998, hlm. 1
[3] Gejala ini juga sama
dengan istilah “monocropping”, lihat Rochman Achwan “Ilmu Sosial di Indonesia:
Peluang, Persoalan dan Tantangan” dalam Jurnal masyarakat dan Budaya, Edisi
Khusus Tahun 2010, hlm. 190.
[6] George
Ritzer, Sociology: A Multiple Paradigm Sience, terjemahan Alimandan(
Jakarta: Rajawali Pers,1985), hal. 4.
[8] Kuntowijoyo, Islam
Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika, Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2006,
hlm.136.
[11] Badiatul Rozoqin, dkk., 101 Jejak
Tokoh Islam Indonesia, Yogyakarta: e-Nusantara, 2009, hlm. 180.
[21] Paul Ricoeur adalah seorang
filosof Perancis, dilahirkan di Valence, Paris Selatan pada tanggal 27 Febuari
1913. Selengkapnya lihat E. Sumaryono, Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta : Kanisius, 1999,
hlm. 103.
[22] Josef Bleicher, Contemporary
Hermeneutic, London: Routledge and Kegan Paul, 1980, p. 218. Baca juga
Mudjia Rahardjo, Hermeneutika Gadamerian Kuasa Bahasa dalam Wacana Politik
Gus Dur, Malang: UIN Malang Press, 2007, hlm. 103-104.
[27] Ahmad Norma Permata “Apendiks Hermenuetika Fenomenologis Paul Ricoeur” dalam Paul Ricoeur, Teori Interpretasi Memahami Teks,
Penafsiran, dan Metodologinya (terj) Musnur Hery, Yogyakarta : IRCiSoD, 2004, hlm. 236:
Paul Ricoeur, Hermeneutics and the
Human Sciences, New York: Cambridge, 1998, p.203 – 208.
[29] Teks menurut Paul
Ricoeur adalah “setiap diskursus yang dibakukan lewat tulisan”, Lihat Paul
Ricoeur, Hermeneutika Ilmu Sosial, terjemahan Muhammad Syukri,
Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2012, hlm. 196; Ilyas Supena, Bersahabat dengan
Makna melalui Hermeneutika, Abu Rokhmad (Ed.), Semarang: Program
Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang, 2012, hlm. 159.
[30] Aholiab Watloly, Sosio-Epistemologi
Membangun Pengetahuan Berwatak Sosial, Yogyakarta: Kanisius, 2013, hlm.
345.
[31] Paul Ricoeur, “The Interpretation
Theory: Discourse and the Surplus of Meaning”, dalam Musnur Hery (Terj.), Filsafat
Wacana Membelah Makna dalam Anatomi Bahasa, Yogyakarta: IRCiSoD, 2002, hlm.
162-165.
[45] Zaprulkhan, Filsafat
Ilmu Sebuah Analisis Kontemporer, Nuran Hasanah (Ed.), Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2016, hlm. 48
[46] Jujun
S.Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Sinar
Harapan, 1998, hlm. 35
[47] Ilyas Supena, Filsafat
Ilmu Dakwah: Perspektif Filsafat Ilmu Sosial, Semarang: Abshor, 2007, hlm.
11
[52] Kajian
epistemologi juga terdapat aliran empirisme (John Locke), aliran rasionalisme
(Rene Descartes), aliran yang merupakan sistesis antara empirisme dan
rasionalisme (Immanuel Kant), Baca Sholihan, Pengantar Filsafat Mengenal
Filsafat melaui Sejarah dan Bidang Kajiannya, Semarang: Karya Abadi Jaya,
2015, hlm. 245-248.
[55] Bandingkan dengan
etika profetik yang digagas Suparman Syukur meliputi: nilai kemaslahatan
seluruh umat manusia dan aaaalam semesta, nilai amanah, nilai dakwah, nilai
tabsyir, dan nilai ibadah. Lihat Suparman Syukur, Epistemologi Islam
Skolastik Pengaruhnya pada Pemikiran Islam Modern, Yogyakarta: IAIN
Walisongo dan Pustaka Pelajar, 2007, hlm.210-212.
[58] Sholihan,
“Paradigma Unity of Sciences dan Implementasinya dalam PengambanganIlmu di
IAIN/UIN Walisongo”, Materi Workshop Review Kurikulum Pokja Akademik Projek
IsDB IAIN Walisongo, Semarang 13 Nopember 2014, hlm. 8.
[59] Akmal Mundiri,
“Ian G.Barbour: membedah Pola Hubungan Sains dan Agama”, dalam Hasan Baharus,
Akmal Mundiri, dkk., Metodologi Studi Islam Percikan Pemikiran Tokoh dalam
Membumikan Agama, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011, hlm. 92.
[60] Ian G.Barbour, When
Science Meets religion Enemies, Strangers, or Partners, New York: Harperone,
2000; John Hedley Brooke and Ronald LN, Science and Religion Around the
World, New York: Oxford University, 2011
[61] Lihat Mudjia
Rahardjo, “Desain Kurikulum Universitas Islam Berbasis Integrasi: Pengalaman
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang”, Materi Workshop Kurikulum UIN Walisongo
Seamarang, 21 Nopember 2014.
[62] Lihat M.Amin Abdullah,
Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.
[63] Lihat Sholihan,
“Paradigma Unity of Sciences dan Implementasinya dalam Pengambangan Ilmu di
IAIN/UIN Walisongo”, Materi Workshop Review Kurikulum Pokja Akademik Projek
IsDB IAIN Walisongo, Semarang 13 Nopember 2014.
0 Comments