Pendekatan Sosiologi dalam Studi Islam

 

PENDEKATAN SOSIOLOGI DALAM STUDI ISLAM

Oleh : Ahmad Faqih, S.Ag, M.Si

 

A.     LATAR BELAKANG MASALAH

Sosiologi adalah kajian ilmiah tentang kehidupan sosial manusia. Apa hakekat dan sebab-sebab dari berbagai pola pikiran dan tindakan manusia yang teratur dan dapat berulang. Berbeda dengan psikologi yang memusatkan perhatiannya pada karakteristik pikiran dan tindakan orang perorangan, sosiologi fokus pada pikiran dan tindakan seseorang sebagai anggota suatu kelompok atau masyarakat. Oleh karenanya sosiologi merupakan disiplin ilmu yang luas, mencakup banyak hal, dan banyak jenis sosiolog yang mempelajari sesuatu yang berbeda dengan tujuan yang berbeda-beda.[1]

Secara konvensional terdapat dua tipe penting sosiologi; Pertama, sosiologi mikro. Sosiologi jenis ini menyelidiki berbagai pola pikiran dan perilaku yang muncul dalam kelompok-kelompok berskala kecil. Misalnya gaya komunikasi verbal dan non-verbal dalam hubungan sosial face to face, proses pengambilan para hakim, formasi dan integrasi kelompok perkawanan, dan pengaruh keanggotaan seseorang dalam suatu kelompok terhadap pandangan dunianya. Kedua, sosiologi makro. Sosiologi ini mengkaji berbagai pola sosial berskala besar. Ia memusatkan perhatiannya pada masyarakat sebagai keseluruhan dan berbagai unsur pentingnya, seperti ekonomi, sistem politik, pola kehidupan keluarga, dan bentuk sistem keagamaannya, serta jaringan kerja dunia dari berbagai masyarakat yang saling berinteraksi.

Berkaitan dengan agama, sosiologi sejak kelahirannya sudah menaruh perhatian pada masalah ini. Sejumlah karya tokoh sosiologi klasik seperti Comte, Durkheim, Karl Marx, dan Max Weber sering mengacu pada wacana-wacana teologis.[2] The Protestant Ethic and Spirit of Capitalism sebagai karya Max Weber yang ambisius dan monumental terbit pertama kali tahun 1904[3]. Tesis utama Weber bahwa aspek-aspek tertentu dalam etika Protestan merupakan perangsang yang kuat dalam meningkatkan pertumbuhan sistem ekonomi kapitalis dalam tahap-tahap pembentukannya. Pengaruh yang merangsang ini dapat dilihat sebagai elective affinity antara tuntutan etis tertentu yang berasal dari kepercayaan Protestan dan pola-pola motivasi ekonomi yang perlu untuk pertumbuhan sistem kapitalisme.[4] Baik Protestanisme maupun kapitalisme menyangkut pandangan hidup yang rasional dan sistematis. Etika Protestan memberi tekanan pada usaha menghindari kemalasan atau kenikmatan semaunya, dan menekankan kedisiplinan dalam melaksanakan tugas dalam semua segi kehidupan, khususnya dalam pekerjaan dan kegiatan ekonomi pada umumnya. Juga perkembangan kapitalisme menuntut untuk membatasi konsumsi supaya uang yang ada itu diinvestasikan kembali dan untuk pertumbuhan modal, menuntut kesediaan untuk disiplin dalam perencanaan sistematis untuk tujuan-tujuan di masa mendatang.  Tetapi  pengaruh ini lanjut Weber tidak harus tetap selama-lamanya. Dia mengakui setelah kapitalisme berdiri, dia akan menjadi otonom dan berdikari, tanpa membutuhkan dukungan agama. Ini berarti kritik yang menekankan sifat kapitalisme masa kini murni sekuler, dimana motivasi yang harus ada untuk mempertahankannya bersifat materialistik, atau yang memperlihatkan bahwa agama Protestan dan Katolik sekarang ini tidak memperlihatkan perbedaan dalam aspirasi atau prestasinya, merupakan tanggapan yang salah terhadap tesis Weber.

Para ilmuan sosial menghadapi banyak kesulitan dalam merumuskan agama yang tepat. Masalah pokok dalam membuat definisi yang tepat adalah menentukan dimana batas-batas gejala itu harus ditempatkan, seperti dikemukakan Roland Robertson (1970) ada dua jenis agama yang diusulkan oleh ilmuan sosial yaitu definisi inklusif dan definisi eksklusif.[5] Definisi inklusif merumuskan agama dalam arti seluas-luasnya, sebagai sistem kepercayaan dan ritual yang diresapi dengan “kesucian” atau yang diorientasikan kepada “penderitaan manusia yang abadi”. Agama bukan saja sistem-sistem yang teistik yang diorganisasi sekitar konsep tentang kekuatan-kekuatan supernatural. Juga berbagai sistem kepercayaan nonteistik seperti komunisme, nasionalisme, atau humanism. Sebaiknya denifisi eksklusif membatasi istilah agama itu hanya sistem-sistem kepercayaan yang mempostulatkan eksistensi makhluk, kekuasaan, atau kekuatan supernatural.

Definisi eksklusif agama seperti rumusan Emile Durkhiem, Robert Bellah, dan Yinger. Agama menurut Durkheim adalah suatu sistem kepercayaan yang disatukan oleh praktik-praktik yang bertalian dengan hal-hal yang suci yaitu hal-hal yang dibolehkan dan dilarang---kepercayaan yang mempersatukan suatu komunitas moral yang disebut Gereja, semua mereka terpaut satu sama lain. Sementara Robert Bellah merumuskan agama sebagai seperangkat bentuk dan tindakan simbolik yang menghubungkan manusia dengan kondisi akhir eksistensinya. Hampir sama dengan Bellah, Yinger mendefinisakan agama sebagai suatu sistem kepercayaan dan parktik-praktik dimana suatu kelompok manusia berjuang menghadapi masalah-masalah akhir kehidupan manusia.[6]

Jika Durkheim dan ilmuan sosial lain mengkaji agama dari sisi belief dan practices, Jalaludin Rakhmat membaginya menjadi dua hal yaitu ajaran dan keberagamaan. Ajaran adalah teks-lisan atau tulisan yang sakral yang menjadi sumber rujukan bagi pemeluk agama, sedangkan keberagamaan adalah perilaku yang bersumber langsung atau tidak langsung kepada kitab suci.[7]Dengan meminjam “religion commitment” Glock dan Stark (1965) keberagamaan muncul dalam lima dimensi:

Pertama, dimensi ideologis yaitu berkenaan dengan perangkat kepercayaan yang memberi “premis eksistensial” untuk menjelaskan Tuhan, alam, manusia dan hubungan antar mereka. Kepercayaan ini dapat berupa makna yang menjelaskan tujuan Tuhan dan peranan manusia dalam mencapai tujuan itu. Kepercayaan, yang terakhir, dapat berupa pengetahuan tentang perangkat tingkah laku yang baik, yang dikehendaki agama. Kepercayaan jenis ini yang didasari struktur etis agama.

Kedua, dimensi intelektual mengacu pada pengetahuan agama yang harus diketahui orang tentang ajaran agamanya. Pengetahuan ini mencakup kita suci, sejarah agama, dan sejarah utusan----.

Ketiga, dimensi eksperimental adalah bagian keagamaan yang bersifat afektif yaitu keterlibatan emosional pada pelaksanaan ajaran agama. Emosi keagamaan ini dapat bergerak dalam empat tingkatan: konfirmatif (merasakan kehadiran Tuhan atau segala sesuatu yang diamatinya), responsif (merasakan bahwa Tuhan menjawab kehendak atau keluhannya), eskatif (merasakan hubungan yang akrab penuh cinta dengan Tuhan), dan partisipatif (merasa menjadi kawan setia, kekasih, atau wali Tuhan dengan menyertai Tuhan dalam melakukan karya ilahiyah).

Keempat, dimensi ritualistik merujuk pada ritus-ritus yang dianjurkan oleh agama dan atau dilaksanakan oleh para pemeluknya. Dimensi ini meliputi pedoman-pedoman pokok pelaksanaan ritus dan pelaksanaan ritus dalam kehidupan sehari-hari.

Kelima, dimensi konsekuensial atau dimensi sosial, meliputi segala implikasi sosial dari pelaksanaan ajaran agama. Dimensi ini yang menjelaskan efek ajaran agama terhadap etos kerja, hubungan interpersonal, kepedulian kepada penderitaan orang lain, dan sebagainya.

 

B.      ISLAM SEBAGAI OBJEK STUDI

Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan termasuk perkembangan ilmu-ilmu sosial kemanusiaan yang begitu pesat secara relatif mendekatkan jarak perbedaan budaya antara suatu wilayah dengan wilayah yang lain. Hal demikian juga pada gilirannya mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap kesadaran manusia tentang fenomena agama. Agama untuk era sekarang, tidak lagi dapat didekati dan difahami hanya lewat pendekatan teologis-normatif. Mulai akhir abad ke-19, terjadi pergeseran paradigm pemahaman tentang agama dari “idealis” ke  arah “historis”, dari kajian seputar “doktrin” ke arah entitas “sosiologis”, dari diskursus “esensi” ke arah “eksistensi”.[8]

Dalam pergaulan dunia yang semakin terbuka, orang tidak disalahkan untuk melihat fenomena agama secara aspectual, dimensional, dan multidimensional approachs. Selain agama mempunyai doktrin teologis-normatif, orang dapat melihat pula sebagai “tradisi”. Sedang tradisi sulit dipisahkan dengan faktor human contruction yang semula dipengaruhi oleh perjalanan sejarah sosial, ekonomi, politik, dan budaya dalam kurun waktu yang relatif lama. Disamping itu ekspresi keberagamaan yang semula bersifat batiniah, mendalam, esoteris, secara eksternal dapat berubah menjadi kelembagaan agama dimana terlihat pranata-pranata sosial yang terkadang bersifat birokratis. Keberagamaan manusia yang terekspresikan dalam bentuk kelembagaan eksternal mengalami proses evolutif yang erat kaitannya dengan faktor ekonomi, sosial-kemasyarakatan, militer, bahasa, dan berbagai kecenderungan manusiawi lain yang kompleks.

Dalam kajian mendialogkan ilmu sosial dan humaniora  dengan ilmu agama,  Amin Abdullah  membedakan antara studi agama dari segi normativitas dan studi agama dari segi historisitas. Kedua pendekatan ini dikembangkan dengan tiga tipe, pertama  yaitu pendekatan doktrinal-normatif , yaitu pendekatan klasik yang masih dipakai dalam kebanyakan institusi studi agama, yaitu pelajaran tentang teks kitab suci yang dianggap mutlak, universal dan sempurna. Kedua, pendekatan  kultural- historis yaitu mempelajari agama dari segi prakteknya dalam konteks budaya  dan sejarah tertentu, khususnya dengan memakai ilmu-ilmu sosial. Pendekatan ketiga adalah  kritis-filosifis yaitu pendekatan dengan menggunakan pendekatan tradisi filosofi untuk merenungkan hubugan diantara agama normative dan agama historis . Ia menegaskan bahwa ketiga-tiganya adalah hasil karya  manusia, dimana hubungan ketiga pendekatan ini tidak selalu harmonis. Kesemuanya memiliki kelemahan yang tidak bisa dipungkiri, apalagi masing-masing berdiri sendiri. Sehingga ia menganjurkan ketiga-tiganya jangan dipakai secara terpisah satu sama lain (pararel atau linier) tetapi ketiganya seharusnya didialogkan untuk saling melengkapi satu sama lain.  

Orang  mungkin tergoda memandang pendekatan normatif (‘ilmu agama’), sebagai pendekatan seorang subyek ,yaitu seorang beriman yang taat kepada Allah dan kebenaran yang mutlak. Agama normatif bukan obyek yang diteliti secara kritis melainkan perintah Tuhan yang harus ditaati. Sedangkan pendekatan ilmu sosial meneliti agama sebagai fenomena sosial, politik, psikologi, dan sejarah yang diteliti secara obyektif dan empiris. Menurut Bernard Adney Risakotta[9], dikotomi subyek obyek sangat popular di Indonesia. Ilmu pengetahuan modern dipandang sebagai metode obyektif untuk meneliti dan mengetahui obyek tertentu. Subyek yang meneliti adalah seorang manusia yang harus dipisahkan dari obyek yang diteliti supaya tidak mempengaruhi hasil penelitian.

Dualisme obyek dan subyek ini mengandung dikotomi lain yaitu; subyektif dan obyektif, rasional dan irrasional penafsiran dan fakta, emosi dan obyektifitas dan lain sebagainya. Dualisme seperti ini menjadi dasar metode empiris ilmu pegetahuan modern yang sangat berguna. Hasilnya dalam mentransformasikan dunia tidak dapat disangkal. Tetapi epistimologi  post-modern sudah membuktikan bahwa dikotomi yang jelas antara subyek dan obyek tidak ada. Semua ilmu pengetahuan adalah berdasarkan asumsi-asumsi dan titik pandang tertentu. Semua ‘fakta’ ditentukan oleh seorang pribadi yang dipengaruhi oleh kepentingan dan tujuan tertentu, tidak ada obyek yang tidak ditentukan dari pandangan  subyek.

Dikotomi subyek dan obyek melahirkan dikotomi antara  paradigma ilmu modern yang obyektif dan paradigm agama yang subyektif. Menurut pandangan ini, modernitas dibangun oleh metodologi ilmu pengetahuan obyektif berdasarkan paradigm tentang kenyataan tentang empiris dan nyata. Agama dan budaya dipandang sebagai hal-hal  subyektif yang mengungkap perasaan emosional dan penilaian moral. Oleh karena itu, masing-masing mempunyai peran yang penting, tetapi tidak boleh dicampurkan. Kenyataan obyektif harus dilihat dengan ilmu pengetahuan, sedangkan tasawuf, emosi, imajinasi nilai moral dan hal-hal yang subyektif menjadi bidang budaya dan agama. Disatu pihak perasaan dan ketaatan, dilain pihak rasionalitas, sikap kritis dan obyektifitas.

Islam adalah banyak aspek (multiface); bukan semata representasi murni ajaran kitab suci al-Qur’an, melainkan ketika “diterjemahkan”(dipahami, dijabarkan, dimaknai) sebagai proses kesejarahan serta diterapkan oleh penganutnya dalam kehidupan pribadi dan masyarakat menjadi fenomena sosial kesejarahan yang beragam. Atas dasar ini, beberapa pengkaji Islam berupaya melakukan pembedaan “wajah-wajah”Islam tersebut. Pertama, Islam sebagai wahyu (ajaran yang bersumber dari al-Qur’an dan as-sunnah) dan produk sejarah (pemahaman atas wahyu, konsep-konsep, dan aliran-aliran). Kedua, Islam normative (sebagai ajaran yang berisi norma-norma, preskripsi-preskripsi, atau aturan-aturan yang mengikat) dan Islam historis (kesejarahan; pemahaman), sebuah titik-tolak yang harus dipahami, tegas Fazlur Rahman dalam Islam and Modernity, jika kita sepakat untuk melakukan “rekonstruksi sistematis” ilmu-ilmu keislaman, seperti teologi dan hukum. Ketiga, Islam sebagai doktrin (substansi keyakinan religius), Islam sebagai struktur dan dinamika masyarakat, dan keberagamaan (sikap anggota masyarakat dalam memaknai agamanya).[10] Di samping itu, Islam juga memiliki dimensi yang partikular dan yang universal. Pembedaan ini tidak hanya dipahami dari segi kandungannya dalam pengertian bahwa Islam memiliki artikularitas keyakinan teologis dan kekhususan ritual yang berbeda dengan agama lain dan memiliki ajaran- jaran moral yang universal seperti halnya dalam agama lain, melainkan juga dipahami sebagai obyek studi.

C.         PENDEKATAN SOSIOLOGI UNTUK STUDI ISLAM

Ada beberapa pendekatan yang digunakan sosiolog untuk mengkaji fenomena sosial agama yaitu:[11]

1.      Pendekatan Evolusionisme

Pendekatan evolusionisme ini memusatkan perhatiannya untuk mencari pola perubahan dan perkembangan yang muncul dalam masyarakat yang berbeda. Ibnu Khaldun (1332-1406) adalah perintis kajian agama dalam perspektif perubahan sosial di kalangan dunia Islam, jauh sebelum kajian agama di belahan bumi Eropa. Khaldun membangun teorinya atas premis yang menyatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Sifat sosial manusia berasa dari kenyataan bahwa untuk menolong dirinya sendiri dalam aktivitasnya untuk mempertahankan hidupnya, manusia harus menyadarkan diri kepada orang lain. Tidak ada orang secara mutlak mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Kebutuhan manusia hanya akan dapat dipenuhi melalui kerjasama dengan manusia lain.[12]  Dalam teori perubahan sosial, Khladun mengajukan pemikiran yang mendalam diantaranya:

a.    Metode historis menawarkan pendekatan terbaik untuk memahami perubahan sosial.

b.   Faktor yang menyebabkan perubahan sosial banyak dan beraneka macam; faktor tunggal (seperti kepribadian atau teknologi) tidak mampu menerangkan perubahan sosial secara memadai.

c.    Bentuk-bentuk organisasi sosial yang berbeda, menciptakan tipe kepribadian yang berbeda pula.

d.   Konflik adalah mekanisme mendasar dari perubahan sosial.

e.    Berbagai faktor sosial: kepemimpinan, kepribadian, kekompakan kelompok membantu dalam memahami penyebab dan akibat konflik antar kelompok.

f.     Perubahan cenderung ‘merembes’, terjadi di semua institusi sosial: agama, keluarga, pemerintah, dan ekonomi semuanya terlibat dalam proses perubahan itu.

 

Kajian sistematis atas agama baru dimulai pada pertengahan kedua abad 19. Ada dua alasan yang melatarbelakangi munculnya kajian-kajian tersebut, yaitu pertama, menjelang masa itu konsepsi agama Hegel telah menjadi objek spekulasi filosofis yang menyeluruh. Kedua, menjelang masa itu pula kajian sejarah Henry Thomas Buckle telah diperluas sehingga mencakup pula sejarah peradaban dan kebudayaan pada umumnya. Pada tahap-tahap awal, sebagian di bawah pengaruh Darwinisme, ilmu agama didominasi oleh kecenderungan evolusioner yang tersirat dalam filsafat Hegelian dan historiografi awal abad 19. Para perintis sosiologi modern, Auguste Comte dan Herbert Spencer, memberi sumbangan besar bagi tumbuhnya pendekatan-pendekatan yang benar-benar evolusioner terhadap kajian-kajian agama, sebagaimana beberapa catatan juga diberikan oleh Emile Durkheim dan Max Weber.[13] Tetapi menjelang dekade ketiga abad ke-20, gelombang evolusi benar-benar surut, baik dalam bidang ilmu agama pada umumnya maupun sosiologi agama pada khususnya.

Menurut Bellah, evolusi adalah proses yang menyebabkan organism, sistem sosial atau satu apa pun yang ada di dalamnya memiliki kemampuan yang lebih besar untuk beradaptasi dengan lingkungannya, dibandingkan dengan organisasi-organisasi sebelumnya yang kurang kompleks. Evolusi tidak bersifat metafisik, melainkan generalisasi empiris yang sederhana, bahwa bentuk-bentuk yang lebih kompleks berkembang dari bentuk-bentuk yang kurang kompleks dan sifat dan bentuk yang lebih kompleks berbeda dari sifat dan bentuk yang kurang kompleks.[14] Bellah mengidentifikasi serangkaian evolusi agama, ia mencatat lima tahap dalam evolusi agama: primitif, purbakala, historis, modern awal, dan modern.[15] Setiap tahap memiliki karakteristik sendiri-sendiri, yang mungkin berbeda dengan tahap yang sebelumnya. Misalnya sifat agama primitif yang semula diisi dengan mitos dan makhluk halus, pada tahap agama purbakala  mitos-mitos itu ditransformasikan menjadi dewa-dewa, makhluk-makhluk yang diobyektifkan yang menguasai dunia yang patut disembah dan dihormati. Demikian juga agama historis yang semula menekankan jalan keselamatan dengan cara mengabaikan urusan dunia, ketika tahap modern awal cara itu berubah melalui keterlibatan langsung dalam masalah-masalah dunia.

Pada jaman modern, agama mengalami the work of art meminjam istilah George Simmel (1990), ia menjadi private business.[16] Privatisasi agama ini tampak dalam pengambilan keputusan berkaitan dengan masalah-masalah agama yang relatif bebas dari pengaruh “definisi” umum dan fatwa pemimpin agama. Individu sebagai pemeluk agama lebih otonom dalam mempraktikkan agama, tidak hanya berdasar logikanya sendiri, tetapi kebutuhan agama menjadi sangat bervariasi dan membutuhkan perlakuan yang berbeda. Gejala privatisasi agama merupakan tanda menjauhnya agama dari kepentingan public, juga memperlihatkan kecenderungan masyarakat dalam mempertanyakan kredibilitas agama, menyangkut apa yang dilakukan agama untuk kepentingan umatnya.

 

2.      Pendekatan Fungsionalisme

Dalam pendekatan ini, masyarakat dipandang sebagai satu jaringan kerjasama kelompok yang saling membutuhkan satu sama lain dalam sebuah sistem yang harmonis. Masyarakat dianalogikan sebagai organism biologis yang terdiri beberapa sub sistem yang dibutuhkan untuk menjaga keteraturan sosial (social order). Ada beberapa prinsip pokok masyarakat menurut pendekatan fungsionalisme yaitu: Pertama, setiap masyarakat merupakan suatu struktur yang relatif gigih dan stabil. Kedua, masyarakat mempunyai struktur unsur yang terintegrasi dengan baik. Ketiga, setiap unsur dalam mempunyai fungsi, memberikan sumbangan pada terpeliharanya masyarakat sebagai suatu sistem. Keempat, setiap struktur sosial yang berfungsi didasarkan pada konsensus mengenai nilai di kalangan para anggotanya.[17] Beberapa sosiolog yang masuk dalam pendekatan ini yaitu Emile Durkheim, Auguste Comte, A.R Radcliffe Brown, Talcott Parsons, dan Robert K.Merton. Dalam kajian agama, Durkheim merupakan sosiolog dari Barat yang menaruh perhatian pada fungsi-fungsi agama sebagaimana tertuang karya yang terkenal “The Elementary Forms of The religious Life” tahun 1966. Masyarakat melalui para individu menciptakan agama dengan mendefinisikan fenomena tertentu sebagai hal yang sakral dan yang lainnya sebagai duniawi (profan). Aspek-aspek realitas yang sakral ---terpisah dari kehidupan sehari-hari—membentuk esensi agama. Sedangkan yang duniawi merupakan hal yang biasa, utilitarian, aspek-aspek biasa dalam kehidupan. Di satu sisi, yang sakral menghasilkan suatu sikap takzim, khikmat dan kewajiban. Disisi lain, sikap yang sesuai dengan fenomena itu yang mengubah mereka dari duniawi menjadi sakral. Durkheim berargumen bahwa agama adalah sistem simbol-simbol yang menjadikan masyarakat sadar atas dirinya. Masyarakat mempunyai kepercayaan-kepercayaan yang agamis, tetapi masing-masing mempunyai kepercayaan yang berbeda-beda.[18]

Basis pendekatan fungsionalisme yang tidak lain adalah teori fungsionalisme struktural mencapai jaman keemasannya, di tangan penerus Durkheim yaitu Talcott Parsons. Oleh Robert Nisbet, teori ini tanpa keraguan apapun, himpunan teori satu-satunya yang paing signifikan di dalam ilmu sosial pada abad ke-20.[19]Di Indonesia sendiri menurut Kuntowijoyo, fungsionaisme sangat popular pasca 1965 terutama setelah orde baru dikukuhkan, nama Talcott Parsons sangat dikenal dikalangan akademisi Indonesia. Fungsionaisme sangat menekankan sistem, ekuilibrium, adaptasi,  maintenance, dan latency, sehingga ia tampak konservatif.[20]

3.      Pendekatan Konflik

Pendekatan ini melihat masyarakat terikat kerjasama yang erat karena kekuatan kelompok atau kelas yang dominan. Ia mewariskan sebuah ketegangan yang terus-menerus dalam sebuah fenomena setiap kelompok mempertahankan dominasinya. Beberapa asumsi pokok teori konflik yaitu: Pertama, setiap masyarakat tunduk pada proses perubahan. Kedua, disensus dan konflik terdapat dimana-mana. Ketiga, setiap unsur masyarakat memberikan sumbangan pada disintegrasi dan perubahan masyarakat. Keempat, setiap masyarakat didasarkan pada paksaan beberapa orang anggota terhadap anggota lain.[21] Tokoh sosiologi yang termasuk dalam pendekatan ini antara lain Karl Max, Max Weber, Ralf Dahrendorf, dan Lewis Coser. Marx menganggap agama sebagai ekspresi penindasan, penderitaan, dan rasionalisasi, serta pembenaran orde sosial yang ada. Agama dinilai sebagai “candu masyarakat”, karena agama meringankan penderitaan, tetapi tidak menghilangkan kondisi-kondisi yang menimbulkan penderitaan itu. Agama semata-mata menenangkan orang, memungkinkan orang untuk menerima kondisi-kondisi sosial dimana mereka hidup dengan harapan akan adanya suatu kehidupan di kemudian hari dimana semua penderitaan dan kesengasaraan akan lenyap untuk selamanya. Jadi Marx melihat agama sebagai suatu kekuatan konservatif yang inheren karena agama meredam kemungkinan orang memperoleh kesadaran revolusioner dimana dunia itu sendiri dapat diubah.[22] Pandangan Karl Marx ini senada dengan Max Weber, menyangkut soal fungsi-fungsi politik dan sosial dari agama. Weber menilai fungsi-fungsi agama sangat berbeda untuk berbagai strata sosial di masyarakat. Bagi strata yang mempunyai hak-hak istimewa, agama terutama berfungsi sebagai alat untuk meligitimasi posisi sosial mereka yang berkuasa dan memiliki hak-hak istimewa di kelas. Bagi strata yang tidak mempunyai hak-hak istimewa, agama terutama penting sebagai alat kompensasi dalam kegagalan dan ketidakcukupan dalam hidup yang sekarang. Akibatnya peranan agama dalam orde sosial sangat cenderung ke arah konservatif. Sebagai suatu ligitimator posisi sosial kelompok-kelompok yang dominan. Agama memberitahukan bahwa orde sosial, ekonomi, dan politik yang telah ditetapkan itu sebagai penjelmaan kehendak supernatural, dan karena itu hendaknya diterima sebagaimana adanya. Walaupun banyak orang yang menderita dalam pengaturan sosial yang ada, namun penderitaan itu hanya bersifat sementara dan akan dihapuskan dalam dunia yang lebih baik yang akan tiba.

4.      Pendekatan Interaksionisme

Pendekatan ini memusatkan perhatiannya pada interaksi antara individu dan kelompok. Interaksi itu terjadi bisa dengan menggunakan simbol-simbol atau isyarat, kemudian diperhatikan reaksi orang terhadap makna dari simbol-simbol itu dan dihubungkan dengan benda-benda atau kejadian-kejadian yang berlangsung.

Objek-objek, pengetahuan, praktik-praktik dan institusi-institusi dalam dunia sosial oleh para sosiolog dipandang sebagai produk interaksi manusia dan konstruksi sosial. Agama merupakan salah satu bentuk konstruksi sosial. Sosiolog mengkaji praktik-praktik keagamaan untuk membuktikan hubungan dengan institusi, struktur, ideologi, kelas, dan perbedaan kelompok yang dengan membentuk masyarakat.[23] Penggagas perspektif interaksionis dalam studi sosial agama adalah Max Weber. Agama bukan semata-mata produk sosial atau sekedar wujud kemampuan manusia untuk menciptakan masyarakat, melainkan lebih merupakan ide dan praktik yang mentransendenkan dunia sosial yang imanen. Oleh karena itu dapat menimbulkan akibat terhadap dunia sosial dengan cara independen dan tidak dapat diramakan. Menurut perspektif Weberian, dalam konteks yang berbeda-beda, agama dapat menjadi sumber perubahan dan tantangan sosial, dan adakalanya juga sebagai sumber keteraturan sosial dan legitimasi status quo.

 

D.        KRITIK TERHADAP PENDEKATAN SOSIOLOGI DALAM STUDI ISLAM

Pendekatan sosiologi dalam studi Islam termasuk kajian agama yang bersifat empiris, disamping terdapat kajian agama yang bersifat normatif. Pendekatan sosiologi ini sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, mempunyai ragam pilihan pendekatan mulai dari evolusionisme, fungsionalisme, konflik, maupun interaksionisme. Meskipun kajian empiris terhadap realitas kehidupan beragama melalui pendekatan sosiologis telah banyak memberikan sumbangan yang menarik dan “mengejutkan”, tetapi dimata intelektual muslim seperti Mohammed Arkoun, M.Amin Abdullah dan Kuntowijoyo memiliki beberapa catatan.

Arkoun mencoba menggugat kemapanan studi keislaman (klasik), dan menawarkan paradigm kajian agama yang lebih bercorak empiris. Menurutnya perlu pengembangan metode studi keislaman dengan menggunakan pendekatan empiris-historis, dalam arti pendekatan sosiologi, antropologi, dan sosiologi terhadap teks-teks dan naskah-naskah keagamaan pada abad lampau. Hampir semua teks-teks studi keislaman, baik yang ditulis oleh kalangan orientalis maupun oksidentalis mengikuti begitu saja pola dan cara berfikir abad tengah yang sudah berbeda jauh dari cara dan pola berpikir era sekarang. Jadi kajian agama yang bersifat empiris memerlukan bantuan ilmu-ilmu sosial sebagai alat analisis. Namun ilmu-ilmu sosial semata rupanya tidak cukup mampu menjelaskan realitas sosial keagamaan secara holistic. Satu unsure penting dari berbagai paradigm ilmu sosial khususnya dalam kaitannya dengan studi Islam, adalah pandangannya terhadap dunia lain (baca:non-Barat) asal si ilmuan. Dari segi ini ilmu-ilmu sosial mempunyai sejarah yang perlu diperhatikan, seringkali mereka bias dalam memahami masyarakat muslim dengan paradigm modernisasi. Salah satu kelemahan studi Geertz tentang varian Islam di Mojokuto, adalah ketidakmampuannya untuk membedakan hal-hal yang Islami dan Indigenous. Kekeliruan seperti ini dibutuhkan pendekatan non-Barat—sebuah pendekatan yang lebih empati dari fenomenologis—untuk meneliti kehidupan sosial keagamaan di Indonesia.[24]

Amin Abdullah menganggap penting model Islamic Social Sciences untuk membedah kehidupan masyarakat muslim senyatanya, yang beraneka ragam coraknya di seluruh dunia. Ortopraksi---sebagai pelengkap dari Ortodoksi—lebih memfokuskan studi dan telaahnya terhadap apa yang senyatanya dipraktikkan dan digumuli oleh sekelompok musim tertentu dan pada masa tertentu pula.[25] Studi kritis-historis-empiris dalam wilayah Islamic Studies hanya dapat dimungkinkan jika metodologi yang dikembangkan ilmu-ilmu sosial disertai dalam bangunan struktur Islamic Studies in the new style itu sendiri.

Jika metodologi ilmu-ilmu sosial tidak mungkin dimanfaatkan untuk memperluas dan mengembangkan wilayah Islamic Studies, maka Islamis Studies agaknya tidak akan bergeser dari wilayah tradisionalnya yang telah mapan, yakni wilayah High Tradition. Islamic Studies lewat pintu masuk ilmu-ilmu sosial yang bersifat empiris (Low Tradition), bukannya sama sekali akan menghilangkan kajian dalam wilayah High Tradition. Keduanya dapat berjalan bersama-sama, saling menyempurnakan kekurangan yang melekat pada masing-masing, jika masing-masing berdiri- sendiri. Hanya saja kajian High Tradition lebih menekankan unitas, teori, homogenitas, dan formaitas, sedangkan kajian lewat Low Tradition bersifat pluralis, penghayatan, praxishistoris, heterogenitas, dan kekayaan masyarakat muslim di seluruh dunia.

Pendekatan dan pemahaman fenomena keberagamaan manusia hanya lewat pintu masuk Low Tradition, seringkali pendekatan tersebut terasa dangkal dan amat periferial, karena belum menyentuh esensi religiusitas manusia itu sendiri. Para teolog khususnya, merasa kurang ‘sreg’ ketika menerima uraian atau masukan yang disumbangkan oleh pendekatan ilmu sosial terhadap agama. Untuk tidak sampai terjadi distorsi atau reduksi yang berlebihan terhadap fenomena keberagamaan manusia, maka pendekatan model applied sciences baik dalam bentuk sosiologi, sejarah, maupun psikologi terhadap agama dirasa perlu untuk dilengkapi dengan jenis pendekatan lain yang bersifat fenomenologis, yatu suatu bentuk pendekatan keilmuan yang berusaha mencari hakekat atau esensi dari apa yang ada dibaik segala macam bentuk manisfestasi agama dalam kehidupan manusia di muka bumi.

Kuntowijoyo menyadari bahwa ilmu sosial yang ada sampai saat ini mengalami kemandegan. Ilmu sosial hanya mampu menjelaskan fenomena sosial, tetapi tidak dapat mengubah fenomena sesuai yang dicitakan masyarakat. Dominasi pemikiran mengenai sistem di Amerika terasa antara Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Setelah dalam Perang Dunia I negeri ini keluar keluar sebagai pemenang, Amerika menjadi sangat optimis akan sistemnya, maka timbullah fungsionaisme dalam sosiologi. Rasa optimis itu sampai Perang Dunia II, fungsionaisme dianggap sebagai satu-satunya ilmu sosial akademis, objektif dan empiris.[26] Fungsionalisme sangat menekankan sistem, ekuilibrium, adaptasi, maintenance, dan latency, sehingga ia tampak konservatif. Kecenderungan sistem ini adalah ideologi kaum borjuis. Fungsionaisme telah mengantarkan Amerika menuju Welfare Strate.

Tetapi fungsionalisme  yang konservatif itu menuai kritik dari gerakan intelektual The New Left pada akhir 1960-an yang banyak dipengaruhi oleh Critical Theory dari Mazhab Frankfurt, suatu varian dari Marxisme Eropa. Sosiologi jenis ini juga bersifat elitis, terjerat pada profesionalisme organisasi, terikat pada lembaga-lembaga yang mapan, dan hanya menjalankan tugas yang sudah rutin. Sosiologi akademis yang diklaim kaum fungsionalis value free, ternyata tetap berpihak. Memilih teori, pengumpulan data, klasifikasi data, dan intepretasi atas fakta, semuanya ternyata merupakan ketidakbebasan. Laporan-laporan sosiologi di Amerika berpihak pada yang kuat. Misalnya berpihak kepada mayoritas orang kulit putih, tidak pada kulit hitam. Ilmu sosial empiris-analitis selalu menghasilkan ilmu-ilmu yang nomologis, menerangka saja tanpa mengandung nilai moral mengenai tujuan.

Michael Root (1993) sebagaimana dikutip Kuntowijoyo, membagi ilmu sosial menjadi dua yaitu ilmu sosial liberal dan ilmu sosial perfeksionis. Ilmu sosial liberal, tidak mempromosikan satu cita-cita sosial, nilai kebajikan tertentu. Ia berusaha netral terhadap objek penelitiannya. Tetapi hal ini mungkin terjadi pada tingkat individual peneliti, tidak pada tingkat institusional. Sedangkan ilmu sosial perfeksionis, berusaha menjadi wahana cita-cita kebajikan, bersifat partisan (tidak value neutral). Contoh dari perfeksionisme dalam ilmu sosial adalah Marxisme dan Feminisme. Marxisme mencita-citakan masyarakat tanpa kelas, dan feminisme mencitakan masyarakat tanpa ekploitasi seksual.

Michael Root (1993) mengusulkan mengganti cita-cita liberal dengan perfeksionisme, yang communitarian, ilmu pengetahuan yang memperhatikan nilai-nilai pada suatu objek penelitian, komunitas. Jenis ilmu sosial yang cocok dengan communitarian adalah partisipatory research, bukan empiris-analitis, dan terapan. Maka suatu ilmu yang mengandung nilai-nilai Islam dan berpihak kepada umat adalah sah sebagai ilmu.

Ilmu sosial profetik memiliki prospek di masa datang, karena didukung oleh maraknya peradaban postmodernisme. Peradaban yang menolak pemisahan antara agama dengan ekonomi, agama dengan politik, dan agama dengan ilmu. Peradaban postmodernisme menjadi sintesa dari peradaban abad pertengahan dengan teosentrisme, dimana wahyu sebagai satu-satunya kebenaran.  Juga peradaban modernism yang dimulai sejak renaissance yang berwatak antroposentrisme. Semangat yang dibangun menghargai nilai-nilai yang dibangunan manusia sendiri.  Maka ilmu yang tidak memisahkan antara agama dan ilmu tentu akan mendapat tempat terhormat di masa yang akan datang.[27]

 

E.         KESIMPULAN

Islam sebagai objek studi selalu menarik untuk dikaji, mungkin juga tidak akan pernah ada akhirnya. Karena kehidupan pemeluknya selalu mengalami dinamika yang semakin kompleks, ada juga yang terkait dengan umat beragama di belahan dunia yang lain sebagai akibat dari globalisasi yang memberi dampak hampir seluruh sendi kehidupan masyarakat termasuk kehidupan beragama. Kondisi ini menjadikan fenomena agama tidak mudah untuk diketahui yang sebenarnya.

Perubahan sosial yang mendasar dalam sendi-sendi kehidupan beragama, tentunya menjadi tantangan bagi para ilmuan Islamic Studies untuk selalu meng-update berbagai macam pendekatan yang digunakan untuk menghasilkan pemahaman yang memuaskan semua pihak. Pada akhirnya informasi dari hasil temuan para ilmuan ini, dapat digunakan untuk menjawab dan mensolusi berbagai macam problem umat Islam baik dalam konteks lokal dan global.  

Ilmuan Islamic Studies perlu lebih terbuka dan tidak perlu merasa malu “meminjam” pendekatan-pendekatan dari keilmuan lain, dalam rangka menemukan dan mengembangkan pendekatan-pendekatan yang lebih baik dan futuristik. Selain itu ilmuan Islamic Studies perlu keberanian untuk menggunakan hasil ‘ijtihadnya”, sebagai bagian dari usaha untuk “mendominasi” wacana keilmuan dalam konteks global.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Doyle Paul Johnson, “Sociological Theory”, dalam Robert M.Z Lawang (penerjemah), Teori Sosiologi Klasik dan Modern Jilid 1, Jakarta: Gramedia, 1986

George Ritzer, Teori  Sosiologi dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014

Irwan Abdullah, Kontruksi dan Reproduksi Kebudayaan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010

Jalaludin Rakhmat, “Metodologi Penelitian Agama”, dalam M.Deden Ridwan (Ed.), Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan Antardisiplin Ilmu, Bandung: Yayasan Nuansa Cendikia, 2001

Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi, Jakarta: Lembaga Penerbitan FE UI, 2000

Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006

Michael S.Northcott, “Pendekatan Sosiologis”, dalam Peter Connolly (Ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama, Yogyakarta: LKiS

Max Weber, “The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism”, dalam Yusuf Priasudiarja (penerjemah), Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme , Surabaya: Pustaka Promethea, 2002

M.Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999

M. Atho Muzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998

Mastuhu, “Penelitian Agama Islam: Tinjauan Disiplin Sosiologi”, dalam M.Deden Ridwan (Ed.), Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan Antardisiplin Ilmu, Bandung: Yayasan Nuansa Cendikia, 2001

M.Deden Ridwan (Ed.), “Pengantar Editor: Tradisi Penelitian Agama dari Paradigma Normatif ke Empirisme”, dalam M.Deden Ridwan (Ed.), Tradisi Penelitian Agama Islam, Bandung:Yayasan Nuansa Cendikia, 2001

Robert H.Laur, Perspektif tentang Perubahan Sosial, Jakarta: Rineka Cipta, 1983

Robert N.Bellah, Beyond Belief Essays on Religion in a Post-Traditionalist Wold, California: University of California Press, 1991

Stephen K.Sanderson, Sosiologi Makro: Sebuah Pendekatan terhadap Realitas Sosial, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000

http://docs,google com /viewer, Bernard Adney Risakotta dalam “Mendialogkan Ilmu Sosial dan Humaniora dengan Ilmu Agama: Tantangan Pengembangan Kajian Islam”, Unduh pada tgl 6 Desember 2016 ,pukul 11.00 WIB.

 



[1] Stephen K.Sanderson, Sosiologi Makro: Sebuah Pendekatan terhadap Realitas Sosial, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000, hlm.2

[2] Michael S.Northcott, “Pendekatan Sosiologis”, dalam Peter Connolly (Ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama, Yogyakarta: LKiS, hlm. 273

[3] Max Weber, “The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism”, dalam Yusuf Priasudiarja (penerjemah), Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme , Surabaya: Pustaka Promethea, 2002, hlm. vii

[4] Doyle Paul Johnson, “Sociological Theory”, dalam Robert M.Z Lawang (penerjemah), Teori Sosiologi Klasik dan Modern Jilid 1, Jakarta: Gramedia, 1986

[5] Stephen K.Sanderson, Op.Cit, hlm. 518

[6] I b I d, hlm.518

[7] Jalaludin Rakhmat, “Metodologi Penelitian Agama”, dalam M.Deden Ridwan (Ed.), Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan Antardisiplin Ilmu, Bandung: Yayasan Nuansa Cendikia, 2001, hlm. 88

[8] M.Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, hlm. 9

[9] http://docs,google com /viewer.Bernard Adney Risakotta dalam mendialogkan Ilmu social dan Humaniora Dengan Ilmu Agama: Tantangan Pengembangan Kajian Islam. Unduh pada tgl 6 Desember 2016 ,pukul 11.00 WIB.

[10] M. Atho Muzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998, hlm.. 19-24.

 

[11] Mastuhu, “Penelitian Agama Islam: Tinjauan Disiplin Sosiologi”, dalam M.Deden Ridwan (Ed.), Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan Antardisiplin Ilmu, Bandung: Yayasan Nuansa Cendikia, 2001, hlm. 109-110

[12] Robert H.Laur, Perspektif tentang Perubahan Sosial, Jakarta: Rineka Cipta, 1983, hlm. 43

[13] Robert N.Bellah, Beyond Belief Essays on Religion in a Post-Traditionalist Wold, California: University of California Press, 1991, p. 20

[14] I b I d, p.

[15] Stephen K.Sanderson, Op.Cit, hlm. 521

[16] Irwan Abdullah, Kontruksi dan Reproduksi Kebudayaan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, hlm. 115

[17] Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi, Jakarta: Lembaga Penerbitan FE UI, 2000, hlm. 228

[18] George Ritzer, Teori  Sosiologi dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014, hlm. 168-169

[19] I b I d, hlm. 401

[20] Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006, hlm. 93

[21] Kamanto Sunarto, Op.Cit, hlm. 230

[22] Stephen K.Sanderson, Op.Cit, hlm. 528-529

[23] Peter Connolly (Ed.), Op.Cit, hlm. 280

[24] “Pengantar Editor: Tradisi Penelitian Agama dari Paradigma Normatif ke Empirisme”, dalam M.Deden Ridwan (Ed.), Tradisi Penelitian Agama Islam, Bandung:Yayasan Nuansa Cendikia, 2001, hlm. 16

[25] M.Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996, hlm. 110

[26] Kuntowijoyo, Op.Cit,  hlm. 92-93

[27] I b I d, 92-97

Post a Comment

0 Comments